Masih kental di ingatan bagaimana pesan orang tua saya dari kampung saat akan berangkat menuju Australia. Mereka takut anaknya akan dipengaruhi dengan ajaran sesat dan sebagainya. Masih teringat pula, dulu bagaimana orang tua melarang saya untuk tidak masuk ke tempat-tempat beribadah agama lain seperti Kristen, Buddha dan Hindhu. Namun, di Australia saya belajar melihat pemandangan yang berbeda. Ketika anak-anak disini diajarkan untuk belajar tentang semua agama supaya mereka dapat menghargai setiap agama yang ada dan hidup damai dengan orang-orang yang berbeda agama. Maka, sebagian masyarakat saya malah bersikap ekstrim dan tidak memberikan pengetahuan tentang agama lain kepada anak-anak mereka.
Di Australia, saya melihat anak-anak sekolah di bawa ke semua tempat peribadatan agama dan diperkenalkan cara beribadah dalam agama yang dianut oleh umat manusia serta diberikan pemahaman tentang pentingnya menghargai agama orang lain. Demikian, hasil wawancara yang saya lakukan dengan salah seorang pengurus masjid di Sydney, yakni Gallipoli Mosque. Pengurus yang bernama Aminah tersebut menjelaskan betapa masjid disana juga memberikan kesempatan untuk orang-orang yang datang belajar tentang agama Islam ataupun anak-anak sekolah yang mengunjungi masjid dan juga belajar beribadah cara Islam. Mereka yang datang dari agama yang berbeda-beda, ada Kristen Katolik, Protestan, Hindhu, Budha dan lainnya. Sebagaimana pengalaman saya tumbuh dan dibesarkan, saya menyaksikan banyak teman-teman saya memilih dalam berkawan dan hanya berkawan dengan orang-orang yang satu agama dan sukunya saja. Saya juga menyaksikan bagaimana teman-teman saya sering saling mengolok-olokkan teman yang berbeda agama dengannya. Saya tidak tau, apakah ini mungkin juga efek karena mereka tidak diberikan pengetahuan tentang agama lain jadi mereka tidak belajar cara menghargai sesama umat yang berbeda agama. Mungkin iya, sehingga mereka minim pengetahuan tentang agama lain. Padahal Nabi Muhammad sendiri justru menyuruh kita untuk hidup rukun dan damai dengan agama apapun di muka bumi sebagaimana dulu yang beliau praktekkan dalam masyarakat madani. Masyarakat Islam pada masa itu hidup dengan rukun dengan umat yang berbeda agama di Madinah. Kenapa justru banyak manusia saling bertumpah darah dan tidak menghargai perbedaan yang ada. Awalnya saya merasa khawatir juga ketika orang tua angkat saya mengajak saya untuk hadir pada perayaan ulang tahun sepupunya di New Castle. Dia menjelaskan kepada saya tentang keluarganya dan para bibinya yang sebagian besar adalah biarawati di gereja New Castle. Saya harap cemas karena mengingat pesan orang tua yang sudah diajarkan dari kecil untuk tidak dekat-dekat dengan orang Kristen dan lainnya. Namun, ternyata setelah saya hidup dan belajar di Australia, saya paham mereka begitu menghargai perbedaan agama. Apalagi saya tinggal dengan orang tua angkat yang bukan muslim, namun dia tetap memberikan kenyamanan bagi saya seperti dalam hal beribadah dan juga menjaga makanan saya untuk tetap mengkonsumsi yang halal. Hal ini sedikit mengurangi kegelisahan saya mengingat orang tua angkat saya selama ini tidak pernah mempermasalahkan hal-hal mengenai agama saya. Begitu tiba di New Castle, saya langsung disambut oleh sekelompok nenek-nenek yang umurnya sudah mencapai 60 sampai 70-an tahun. Mereka menyambut saya dengan pelukan dan ciuman. Oh Tuhan, benar-benar hangat sekali. Mereka sangat ramah dan berdiskusi banyak hal tentang agama dan juga hal lainnya. Tapi mereka sama sekali tidak merasa risih dengan jilbab yang saya kenakan. Bahkan mereka memuji jilbab saya, luar biasa perasaan bahagia ini saya rasakan. Ternyata mereka berbeda dengan apa yang saya pikirkan, mereka manusia yang super ramah dan memakai baju biasa di hari itu. Padahal mereka adalah biarawati di gereja. Namun, hari ini mereka menjadi teman-teman saya sambil menikmati pizza di Merewethe Bar Beach, New Castle. Betapa itu membuka mata saya untuk melihat, bahwa perlu waktu untuk belajar banyak hal. Ternyata tidak semua kekhawatiran itu terbukti, asal bisa membuka diri dan hati untuk berbagi dengan banyak orang. Maka akan ada banyak hal indah yang bisa ditemukan dalam kebersamaan. Pelukan para biarawati di hari itu akan selalu teringat. Terima kasih untuk cinta yang kalian berikan walau hanya beberapa jam saja, namun mampu menghadirkan sebuah kegembiraan bagi jiwa saya dan membuat saya mencoba mengerti dunia lain dari dunia yang saya hidupi selama ini. Agustina Peserta Youth Leadership Camp (YLC) 2012
0 Comments
It was still clear in my memory how my parents flooded my thoughts with advises when I was going to go to Australia. They were so terrified of the thought that their beloved daughter would get bad influence or misguided by different religion. And not to forget how they kept reminding me not to go to other religion house of praying, such as for Christian, Buddhist or Hindu. However, here in Australia, I’ve learnt to see things from different point a views. All the children here are taught about every religion so that they respect every religion and would be able to live peacefully with people withdifferent religion. While most of my people have extreme attitude towards different religion and do not give information about different religion to their children.
In Australia, I saw that school children were taken to all house of praying for different religion and being introduced to how they pray. They are also taught to understand how important it is to appreciate other religion. That is the conclusion that I’ve had, after having an interview with a mosque caretaker in Sydney, in Gallipoli Mosque. Aminah, the caretaker, said that the mosque always welcome everyone who wants to study about Islam, including school children who come to visit the mosque and learn how to pray as a Moslem. They come from different religions, Catholic, Christian, Hindi, Buddhist or even atheist. While I was growing up, I saw that a lot of my friends chose to be friends with those who had the same religion or the same ethnic group with them. I also witnessed how my friends made fun of others who had different religion with them. I wonder, if that was the impact of not knowing anything about different religions, so that they never learnt to respect other people with different religion. Probably yes, considering their lack of knowledge about differen religions. Whereas, Prophet Muhammad himself had taught us to live peacefully with people with different religions on earth as he practiced it in civil society in his time. Moslem at that time lived peacefully with people with different Religion in Madinah. Why is it now there are a lot of wars in the name of religion? And why can’t they appreciate the difference?. I felt really grateful and lucky to be able to attend Youth Leadership Camp 2012. The Let’sShare Movementthat was started by Forum Bangun Aceh has given me the opportunity to see and learn a wider world. I understand about the importance of open mind and open heart in the camp. At first, I was worried when my foster parents took me to their cousin’s birthday in New Castle. She once explained to me about his family and that most of his aunts were nuns in New Castle Churches. I was so worried, considering that since I was a kid, my parents had warned me not to be close to Christian or people with different religion. But, this has changed since I lived in Australia. I saw that they really appreciate people with different religion. Especially since I lived with my foster parents who were not Moslem, but they always put my comfort in doing my religious routine first and saw to it that I always had kosher food. This really helped diminish my worry that my foster parents have never made a fuss about my religion. As soon as I arrived in New Castle, I was greeted by a bunch of old ladies, aged around 60 – 70 years old. They greeted me with hugs and kisses. Oh, God, they really warmed my heart. They were very friendly. We had a discussion about religion and other things. They did not feel uncomfortable with the fact that I wore hijab. They even praised my hijab. It was a really a wonderful feeling. They were really different with I thought. They are ordinary-super-friendly human being dressed in ordinary clothes. Whereas, they were actually nuns in churches. But, that day they were my friends enjoying pizza in Merewethe Bar Beach, New Castle. That experience has opened my eyes that it takes time to learn about a lot of things. That I was too worried over nothing, as long as I keep my mind and heart opened to share with anyone. There are warmth and beauty in togetherness. I will always remember the nuns’ hugs. I am very thankful for the love you have given me, even though it was only for a couple of hours. It has given a joy to my soul. Now, I understand that there are different world from the one that I usually lived in. It was such a great opportunity to understand about pluralism. It was also a turning point that gave me positive energy to do something for the world and myself. I understand now that the world consisted of not only one color, that it was a colorful world, and I will be able to take part in creating harmony in Indonesia. Lakum dinukum wa liyadin (for me is my religion and for you is your religion). I really wish that this can be a lesson for everyone, especially those who sit as a leader, to understand about differences, not only by saying that they are understand, but by actually doing it in their daily activities to appreciate and respect people with different religion, ethnic, nationality and culture. Agustina Participant of Youth Leadership Camp (YLC) 2012 (Sebuah Perjanalan Singkat, Untuk Jalan Pengabdian Yang Panjang)
“…Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Pramoedya Ananta Toer) Di sudut kiri catatan harian tertulis bahwa hari ini adalah hari ke-16 saya berada di Canberra. Besok saya kembali ke Sydney dan berkumpul bersama seluruh para pemuka pemuda yang terpilih dari program ‘Gerakan Mari Berbagi’ Youth Leadership Camp (YLC) 2012. Begitu singkat rasanya waktu berjalan. Sebentar saja saya harus meninggalkan Canberra, meninggalkan hostfamily, dan meninggalkan semua pengalaman baru yang tak akan mungkin bisa dilupakan. Terngiang ditelinga lagu “YLC yang tidak kulupakan…”, ah, saya harus menarik nafas sejenak. Kenang-kenangan selama di camp Gerakan Mari Berbagi berputar kembali di ingatan. Saya coba mengingat-ingat kenapa saya bisa ada di sana. Sekitar akhir Maret saya dapat informasi lewat SMS dari Fathun yang ternyata ketua panitia mengenai kegiatan YLC 2012. Dari deskripsi SMS sepertinya menarik dan membuat saya tambah tertarik adalah hadirnya narasumber-narasumber yang luar biasa. Pas sekali! Saat itu saya merasa sedang‘kering ide dan gagasan’. Memimpin berbagai organisasi tapi sepertinya tidak ada terobosan baru. Mencari inspirasi dari berbagai narasumber adalah tujuan utama. Akhirnya saya putuskan untuk mendaftar. Itupun sudah hampir terlambat karena Saya mendaftar di gelombang kedua.Belakangan saya tahu bahwa ada rewardhomestay ke Australiabagi peserta terbaik. Ini makin menarik saja. Tapi yang paling surpriseadalah peserta yang lulus seleksi dari seluruh Indonesia. Bahkan ada yang kuliah di luar negeri. Luar biasa. Sangat kompetitif dan ini jarang dilakukan di Aceh. Seleksi tahap pertama penilaian profil pribadi dan penilaian essay. Saya tercampak ke 20 besar. Wah, bukan sembarang orang yang ikut kegiatan ini. Satu minggu sebelum acara saya simpan dulu bacaan politik yang biasa menemani sebelum tidur. Saya bongkar kembali map-map pelatihan motivasi yang pernah saya ikuti, termasuk membaca kembali materi-materi pelatihan yang pernah saya buat untuk Diklat OSIS SMA dan pelatihan kepemimpinan di kampus. Ini saya lakukan hanya untuk menyamakan “frekuensi”, ibarat sebelum bertempur maka harus ada latihan dahulu. Hari pelaksanaan kegiatan pun tiba dan yang membuat tambah semangat adalah ide besar Gerakan Mari Berbagi yang diluncurkan di pembukaan YLC 2012. Kata ‘gerakan’ seperti menjadi passworddalam hati dan pikiran saya. Kalau mendengar kata gerakan saya langsung bersemangat. Mungkin karena selama di kampus saya dicap sebagai “anak gerakan”,jadi apapun yang berbau “gerakan” tidak pas kalau saya belum ikutan. Saya merasa ini memang tempat yang cocok untuk saya. Mengenai kegiatan YLC 2012 sendiri, saya merasakan energi positif semenjak pembukaan sampai akhir jelang pengumuman. YLC 2012 menjadi pelatihan kepemudaan terbaik yang pernah saya ikuti. Alasannya? Karena panitia dan seluruh fasilitator telah mampu melejitkan seluruh potensi peserta. Itu tentu bukan pekerjaan mudah. Apresiasi paling tinggi saya berikan kepada seluruh narasumber, dewan juri terutama inisiator kegiatan. Karena baru kali ini saya tahu ada pelatihan dengan reward homestay keluar negeri dengan pertimbangan prestasi akademik dan kemampuan bahasa Inggris mumpuni tidak menjadi syarat mutlak. Tapi penilaian didasarkan pada kualitas kepemimpinan dan pengabdian bagi sesama. Cara penilaianout of the box, benar-benar keluar dari pakem yang ada.Inilah tempatnya bagi para penggerak sosial, pendamping anak jalanan, aktifis gerakan, dan relawan kemanusiaan, dimana usaha mereka didengar, dihargai dan diberikan apresiasi. Seluruh pengalaman usaha, upaya, manis atau getir, dibagi yang kemudian dapat menjadi inspirasi bagi yang lain untuk mengambil tindakan dan terus berbuat kebaikan bagi sesama. Itulah yang saya rasakan. Potensi melejit dan makin kaya dengan ide juga gagasan. Saya simpulkan bahwa Gerakan Mari Berbagi YLC 2012 adalah obat mujarab bagi pemuda dan pemudi yang sedang galau, kurang motivasi, sedang patah hati, atau yang sedang kering ide seperti yang saya alami.Terpilih menjadi 10 besar tentu ada rasa bangga yang sekaligus memikul tanggung jawab besar. Karena pemuka pemuda yang terpilih diberi penghargaan‘Pemuka Pemuda Berintegritas’. Sebuah kepercayaan yang harus dijawab dengan tindakan. Ini menjadi motivasi lebih bagi saya dan tentu saja para pemuka pemuda lainnya untuk makin bersemangat berbagi dan berbuat hal-hal baik. Sekarang adalah hari terakhir saya di Canberra. Saya ingat kembali bahwa perjalanan hingga sampai kemari tidak mudah. Butuh kekuatan tekad agar semangat dan motivasi tetap tinggi. Saya merasakan banyak hal yang luar biasa. Yang akan menjadi dusta apabila saya hanya menyimpannya sendiri. Maka dari itu saya menulis. Menulis untuk berbagi. Agar pengalaman-pengalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi yang lain. Agar catatan-catatan ini dapat menjadi kenang-kenangan terbaik selama 17 hari saya di Canberra dan agar saya tidak lupa, bahwa telah berjanji untuk tetap menjaga integritas, toleransi dan saling menghargai yang banyak saya dapat di Canberra, dimanapun nanti saya berada dan bekerja.Saya mengakhiri misi Gerakan Mari Berbagi di Canberra dengan rasa syukur yang luar biasa. Ini adalah sebuah perjalanan singkat, untuk jalan pengabdian yang panjang. Salam berbagi!Canberra, 21 November 2012 M. Fauzan Febriansyah Peserta Youth Leadership Camp 2012 “Jika Bersungguh-sunguh, Alam Pasti Membantu”
Selama tiga minggu di Canberra, saya tinggal bersama Dr Jerry Schwab. Dia adalah seorang peneliti di Centre for Aboriginal Economy Policy Research, Australian National University, Canberra. Usia Jerry sudah 57 tahun. Tapi sebagaimana umumnya warga Australia, berolahraga telah menjadi bagian dari gaya hidup yang menjadikan mereka tetap enerjik dan kelihatan lebih muda Pada satu akhir pekan cuaca di Canberra tampak cerah. Saya dan Jerry memutuskan untuk mendaki puncak Mountain Kosciuszko dengan bersepeda. Ini merupakan pengalaman pertama bagi saya mendaki gunung dengan sepeda dan tentu saja saya sangat penasaran. Mountain Kosciuszko yang berada di Kosciuszko National Park adalah gunung tertinggi di Australia dengan ketinggian 2.228 mdpl. Memang kalau dibandingkan dengan puncak Cartenzs (4.884m dpl) di Papua,Gunung Semeru (3.676m dpl) di Jawa, dan Gunung Leuser (3.404 mdpl) di Sumatera, ketinggianMontain Kosciuszko bukanlah apa-apa. Nama Kosciuszko diambil dari nama pahlawan perang yang berasal dari Polandia, Tadeusz Kosciuszko. Mountain Kosciuszko pada saat musim dingin menjadi tempat favorit warga Australia untuk bermain Ski. Berbagai perlombaan tahunan Ski digelar disana. Untuk menuju Kosciuszko National Park diperlukan waktu tiga jam dengan menggunakan mobil dari pusat kota Canberra. Setelah tiba di Kosciuszko National Park, kami menurunkan sepasang sepeda yang digandeng di belakang mobil. Suhu saat itu sekitar 8° Celcius. Jerry menjelaskan bahwa suhu dan cuaca di Mountain Kosciuszko sulit diprediksi, sehingga kami harus membawa jaket tebal tambahan di dalam ransel. Apalagi sebagai orang Indonesia, temperatur 8° Celcius sangatlah dingin. Kami mengawali perjalanan dengan santai. Jerry membuka obrolan tentang banyaknya pendaki yang tewas karena badai salju di Mountain Kosciuszko. Juga tentang pendaki yang terguling jatuh karena menderita serangan jantung dan diabetes. Jerry menanyakan apakah ada keluarga saya yang menderita diabetes? Saya kemudian menjawab singkat bahwa saya sehat, tidak menderita jantung atau diabetes dan sanggup melakukan pendakian ini. Saya juga sampaikan padanya mestinya ditanyakan sebelum kita pergi. Jerry pun kemudian meresponnya dengan tertawa. Pendakian ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Jarak tempuh dari start awal sampai ke puncak Mountain Kosciuszko mencapai 10 km, dengan tanjakan di awal sepanjang 3 km. Ini medan pendakian yang berat sekali, apalagi dengan bersepeda. Menurut Jerry, pilihan bersepeda akan memudahkan kita saat perjalanan pulang, karena yang dihadapi hanya turunan. Saya setuju tentang hal ini. Tapi tentu harus tetap waspada karena turunan sepanjang 3 km dengan lereng curam butuh konsentrasi dan harus hati-hati. Karena cuaca yang sangat dingin, di kilometer ke-2, saya merasa sudah kehabisan tenaga. Porsneling sepeda sudah saya geser ke posisi paling ringan untuk pendakian, tapi kaki saya seakan tak bertenaga untuk mengayuh. Kami pun memutuskan untuk beristirahat. Kondisi cuaca dingin menjadi tantangan paling berat di pendakian ini. Saya putuskan untuk mengenakan jaket kedua. Saya pun lupa entah berapa lapis pakaian yang saya kenakan. Tambahan jaket memang membantu, tapi suhu semakin turun ditambah angin yang makin menyulitkan pendakian. Oksigen yang menipis di dataran tinggi tentu menjadi tantangan semua pendaki. Begitu juga yang saya alami. Saya berusaha mengumpulkan semangat dan motivasi. Saya urungkan niat untuk mengatakan, “sorry Jerry, I’m give up!”. Saya coba membayangkan bagaimana kalau sampai di puncak nanti, tentu jadi pengalaman luar biasa dan tak terlupakan. Hal-hal baik itulah yang coba saya pikirkan. Tekad kuat telah saya kumpulkan,adrenalinesaya bekerja sepertinya. Setelah beristirahat saya putuskan melanjutkan pendakian. Saya merasa lebih sanggup jalan kaki untuk mendaki, akhirnya sepeda saya dorong. Jerry pun melakukan hal yang sama. Terlihat aneh memang tapi itulah yang kami lakukan. Tak berselang lama, angin tak lagi berhembus. Cuaca menjadi lebih hangat. Saya pernah dengar bahwa kalau suatu usaha kita lakukan dengan sungguh-sungguh, alam pasti akan membantu. Barangkali ini yang dimaksud. Saya merasa alam bekerja dan membantu saya. Di depan, saya melihat salju yang menghalangi jalan kami yang sedari tadi berbatu. Kami mengangkat sepeda melalui jalan bersalju. Disitu kami beristirahat kembali untuk makan. Persis di depan tempat peristirahatan para pendaki yang disebut Seaman’s Hut. Kami sudah mencapai 2030 meter. Tinggal sedikit lagi. Di lereng menuju puncak Mountain Kosciuszko, ada toilet dan tempat penitipan sepeda. Kami meletakkan sepeda disitu. Perjalanan berikutnya sekalipun masih 2 km lagi tidaklah sulit. Di jalan setapak menuju puncak telah diletakkan batu, kerikil, dan plat besi untuk membantu para pendaki. Hal ini untuk mencegah para pendaki tergelincir, karena lereng ini telah banyak makan korban sebelumnya. Akhirnya sampai juga saya dipuncak Mountain Kosciuszko. Luar biasa bahagia perasaan saya saat itu. Jerry menyambut dengan senyum lebar sambil mengatakan, “we made it!” Saya menyambutnya dengan pelukan dan teriakan kencang yang lazim dilakukan pendaki kala mencapai puncak. Jerry mengucapkan selamat dan mengatakan pasti sedikit orang Indonesia, apalagi dari Aceh, yang bisa kemari, tapi kamu bisa. Saya membalasnya dengan tertawa lebar. Di puncak Mountain Kosciuszko ada banyak pendaki, yang merayakan sukacita yang sama seperti saya. Salah satunya kelompok pendaki dari Malaysia mengibarkan bendera Malaysia. Saya menyapa mereka. Salah satunya bernama Thaha yang ternyata pernah melakukan pendakian bersama kelompok pencinta alam IAIN Ar-Raniry di Gunung Seulawah dan Gunung Burni Telong di Aceh. Pendakian ke Mountain Kosciuszko adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Saya sungguh tidak menyangka bahwa dari program Homestay Youth Leadership Camp 2012 saya bisa mencapai puncak Mountain Kosciuszko, puncak tertinggi di Australia. Pengalaman ini membuat saya percaya akan kekuatan tekad dan tujuan yang kuat, persis seperti yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer, “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya”. Fauzan Febriansyah Youth Leadership Camp (YLC) 2012 My daily routine every morning was to do some cleaning, preparing some bread for breakfast and have a shower. At night, We plan and write what to do the next morning and the day after that. Before we begin our activity, we always have our map with us, because it is a very important thing to have when we walk around the city of Sydney, Australia.
I went out of the house and step-by-step my friend and I headed to Evaline Street from Gould Street. We walked by the streets one by one to the train station in Campsie area. Out tour stopped in Sydney city center, the Town Hall, to see a keyboard exhibition there. We entered a beautiful and fascinated hall. While queuing, I saw the majority that entered the room are old people. I thought it was a seriosa performance with some gospel songs. In my mind, if the old people were here, it must have been some kind of performance as preparation to the death. The concert started with playing a piano. All the doors have been closed and everyone are focused only to the stage. There weren’t any noise, no one passed through or walked around the room. The pianist played the keys with passion and soulfully and finally three songs was completed and the audience gave a highly organized boisterous applause, sincere and commendable. I was so fascinated by the pianist and what most is by the most sincere applause I have ever heard in my life. It was so real in my ears. This is what I have been missing in life, sincerity. Sincerity as an art coming through the listeners’ soul. I really couldn’t put in word of what I felt. This was the first lesson I had when I was in Australia and watching the piano plays performance. We cannot deny that we cannot engineer our body language. However, that was what happened in the other part of the world, especially in developing countries. The people seemed so cheerful, but I cannot feel the sincerity. We can watch the football match, on TV or live, but we cannot feel the sincerity in the applause. The spontaneity is faked, as it was all planned.It will not leave a mark in the heart. It is meaningless. Kafrawi FBA staff I arrived in Sydney on November 3. My foster parents and their daughter picked me up at the airport. Husnul and I went straight home with Maree, the mother, while Jessica, the daughter and her father were still waiting for the others. Since she couldn’t sleep during the flight, Husnul went straight to bed as we arrived. She must have been very tired. I decided to have a shower. Maree explained to me that the shower door was broken and showed me how to use it.
I had my shower cheerfully. And, of course, I completely forgot about the broken door. I couldn’t open it after having the shower. It was so embarrassing considering that Maree has just explained that to me. She explained it to me with her perfect English. I was locked up in the shower for half an hour. I did not know what to do. I was to shy to call Maree and ask for her help. Husnul was asleep. Even if I could call them, they wouldn’t be able to help me open the door, because I locked it from the inside. Did not want to waste anymore time, I pushed myself out bit by bit. It was so hard to get my big body out, but I managed to do it. First lesson, I must listen carefully to what they say and ask question if I don’t understand. I clearly did not remember that Australian do not lock their bathroom door. If the door was closed, it meant that there is someone in it. On the third day, there were only Husnul, Muna and I at home. Jessica had to go to work. We were all confused because all the equipment in the kitchen using machine. But, we decided to try. We prepared all the ingredients needed. But, we did not know how to turn on the stove. We pressed all the buttons, none of them connected to the stove. Tired of trying, our eyes catched matches lying on the table. It turns out that the stove can only be turned on using matches. Oh my God, finally. We made a mess in the kitchen because none of us was good at cooking. We were just trying to cook and put the ingredients and spices together without knowing what was it for. We finished having a weird food with weird look and weird taste. There was no other choice besides eating what’s been cooked. Lesson learnt, we have to learn to cook well and try to find recipe on the internet. We made mistake everyday due to our communication problem and our lack of understanding regarding their culture. One day, we were in a rush because we were trying to catch a ferry. Ferry was one of the transportation that we used oftenly to go to the city. If we didn’t catch this ferry we must wait for at least an hour for the next one. We took a garbage bag to throw on our way to the ferry station. But, we could not open the door to enter the garbage disposal place. Finally we scuttle back to the house taking the garbage back because we must rushed to Warf Chiswicktoget to the ferry on time. Our next mistake was sitting on the seat that was especially for old people and disable people. We were so embarrassed to read the information on the wall. Slowly, we walked to the back of the ferry. We still managed to make another mistake. We did not know that in order to cross the street, we must push a traffic light button. We were just waited and waited for the cars to stop until someone came and pressed the button. We looked at each other and burst in laugh. All the mistakes that we made have become a beauty in our life. We learned how to behave and to understand different culture. We know that we have to ask if we did not understand something to eliminate the possibility of making a mistake. Agustina Alumni of YLC & Participant of Homestay Program in Australia |
|