Sejak November lalu, hampir 5 sekolah Australia bersubjek bahasa Indonesia menolak dan merespon keinginanku yang sekedar untuk berkunjung. Salah satu sekolah akhirnya memberikanku kabar baik, Machartur Anglican School dengan senang hati memberikanku kesempatan untuk belajar di sana. Tapi tidak dengan Cuma-Cuma, Working With Children Check menjadi salah satu persyaratannya. Diberikannya aku sebuah website untuk mendaftar sebagai volunteer agar tidak perlu mengeluarkan biaya yang ternyata surat keterangan tersebut perlu diambil saat sudah di Australia dengan kartu identitas pendukung. Satu hal yang ingin kubagikan, “rule is a rule” in Australia, sejauh ini negosiasi terhadap peraturan tidak berlaku. Jadi, berhati-hati dan persiapkanlah segala sesuatu dengan teliti dan sempurna. Untuk mendapat Working with Children Check, setidaknya kita perlu 2 identitas yang asl, salah satunya adalah visa dan beberapa pilihan identitas lain seperti bukti tagihan listrik, buku tabungan, kartu ATM, dll. Kelar sudah, gagal aku melanjutkan proses pembuatan WwCC meski berkali-kali kutunjukkan beragam dokumen yang kupunya. Yang mereka butuhkan 2 dokumen asli sebagai bukti kejelasan identitas kita, bukan yang lain. Kuputar otak, segera kukirim email ke sekolah dan menceritakan keadaan terbaruku dengan harapan mereka tetap bersedia memberiku kesempatan. Sembari menunggu, kuingat bahwa aku sudah menjadi bagian dari salah satu group guru Bahasa di Australia di Facebook bernama Indonesian Language Teacher in Australia, curhat lah aku di sana dengan harapan ada manusia-manusia baik yang mau menampungku di sekolah mereka. Ajaib, aku akan bertemu dengan Lucia, guru cantik pada hari Kamis di Monte Sant Angello Mercy College di Herbert Street, North Sydney. Ditegaskannya padaku bahwa aku tidak bisa melakukan banyak hal tanpa WwCC tersebut. Yes, Mam, understood! 2 kali naik bis dan kulangkahkan kaki sesuai petunjuk map yang memaksaku berhenti di seberang kumpulan bangunan besar bergaya entah apa. Dan lagi, aku memang tak mudah percaya pada peta, dalam hati, Loh kok malah gereja?“ kulanjutkan perjalanan dan menjauh dari peta. Halte bus berikutnya dengan lampu merah menyala, Seorang wanita yang sedang berdiri kutanya lalu menjelaskan bahwa sekolah yang kumaksud ada di seberang jalan, persis di mana pertama kali kumeragukan peta. Masih agak ragu setengah norak, kupaksakan diri memasuki gerbang. Dan, yes, right, that’s the school! And yeah, ini bukan sekolah kecil dan ecek-ecek sepertinya, karena bahkan untuk menuju sekolah aku ditunjukkan beberapa plang sebagai petunjuk, kemana aku harus ke resepsionis, perpustkaan, gereja, dll. sebelum sempat melihat resepsionis, seorang pria menunjukkan kemana dan siapa yang harus kutemui. 5 menit akhinya aku bertemu Lucia setelah sempat bertukar sapa, mengisi registrasi (yang jelas secara online, bahkan sempat dipoto juga) dan sedikit bertanya tentang sekolah kepada petugas frontliner. Darinya aku tahu bahwa siswa di sini hanya perempuan dan untuk SMP - SMA. Menarik! Keberuntungan berikutnya, diperkenalkannya aku di hadapan seluruh guru dalam Morning Tea. Tidak hanya teh, ada banyak sekali makanan enak. Morning Tea adalah salah satu aktifitas rutin untuk mengumumkan sesuatu seperti ulang tahun guru, keberhasilan murid-murid, atau bahkan berita kehamilan yang dihadiri oleh semua guru pukul 10.30 setiap harinya. Dari diskusi kecil dengan Lucia dan Ibu Benvil, Monte St Angello College adalah salah satu sekolah Katolik tertua juga terbesar khusus perempuan di Sydney. Tidak heran jika bangunan juga fasilitasnya membuatku agak jiper saat memasukinya. Sejak 17 tahun yang lalu, sekolah ini memiliki bahasa Indonesia sebagai satu dari 4 pelajaran bahasa tambahan (saingannya nih ya: bahasa Spanyol, bahasa Prancis, dan bahasa Italia, nahloh kurang keren apa coba Indonesia bersanding dengan bahasa-bahasa yang lain!). Pada tahun 70-an, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang hits dan paling diminati di Australia termasuk Sydney, jumlah pengguna bahasa Indonesia semakin berkurang seiring dengan bagaimana Indonesia menarik minat wisatawan itu sendiri. Di Monte sendiri, peminat bahasa Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Prancis dan Italia. Dalam satu kelas, ada sekitar 5-8 siswa yang tertarik mempelajari bahasa Indonesia, salah satu alasannya adalah Indonesia merupakan negara tetangga terdekat Australia dan juga terlihat lebih mudah untuk dipelajari. Lucia dan Ibu Benvil mengaku mulai belajar bahasa Indonesia saat sekolah dulu, sehingga tertarik untuk mengajar karena sekolah pun sulit mendapat guru bahasa Indonesia dari Indonesia karena keterbatasan bahasa Inggrisnya. Bersama Ibu Benvil, aku memasuki kelas yang terdiri dari 5 gadis bertubuh jauh lebih tinggi dariku. Aku mulai mengenalkan diri yang disambut muka cengo dari mereka, merasa tidak dipahami, akupun memelankan kecepatan suaraku. Sesi tanya jawab dimulai dan mereka masih terlihat malu-malu. Satu anak bersuara, “Ibu, saya melihat pakaian anda bagus sekali, saya suka!” dengan bangga aku lalu berdiri dan menjelaskan bahwa memang dengan sengaja aku memakai baju yang penuh warna untuk menarik perhatian dan ternyata berhasil. Batik jumputan hasil karya ibu-ibu Wahid Foundation yang diberikan secara Cuma-Cuma saat bekerja menjadi kasir sengaja kupilih karena memang khas Indonesia juga berwarna sangat cerah (ini saran dari Bang Az anyway. Makasih, Bang, ternyata memang ampuh!). Sebelum kelas berakhir, Survy tiba-tiba nyeletuk, “Ibu, kemarin Kate sakit, sakit is sick, tapi kami selalu bilang bahwa kata sakit itu keren, sakiiiiitttt, kereeenn (dengan nada bicara seolah-olah berkata amazing tapi diubah sakit). Aku paham konotasi kata sakit yang dimaksud. Aku pun memberikan kata baru untuk mengganti sakit, kupilih kata “kece” dan kububuhi dengan kata “badai” agar terlihat sangat keren. Merekapun menyambut dengan tawa dan mempraktikannya berkali-kali bahkan mengganti nama mereka menjadi kece, badai, keren, sakit dan banget saat bermain Kahoot. Kelas kedua dan ketiga pun tidak jauh berbeda, aku menyempilkan kosakata gaul yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Mengajar anak dewasa rupanya menyenangkan. Monte memiliki 2 kurikulum yang diterapkan yaitu IB dan IGCSE. Ndelalahnya, aku di sana ketika mereka merayakan kelulusan ujian IB MYP mereka yang setelah ini mereka bisa melanjutkan ke Diploma Program milik IB atau berpaling ke IGCSE. Beberapa orangtua hadir untuk menyaksikan bagaimana nama anak-anak mereka disebut dan diberi ucapan selamat. Kehebohan orangtua juga sekolah yang biasa dilakukan di Indonesia ketika anak mereka berhasil melewati ujian dan kelulusan tidak nampak di sini, mereka merayakannya dengan sangat sederhana. Orang tua pun datang dengan pakaian kasual yang sangat santai tapi tetap sopan. Sekolah berakhir pukul 3.20, tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah di Jakarta. Setelah berpamitan dengan beberapa guru di sekolah aku menuju halte bus yang sebelumnya disambut dengan salah satu murid di kelas kedua, “Ibuuuu, look, saya mau latihan sepak bola hari ini. Bye-byee!” hmm ternyata mereka g boong ketika bilang, “hobi favorit saya adalah bermain sepak bola.” Seperti biasa, semangat saya selalu menggebu seusai bertemu dengan anak-anak. “Mumu, do you know what you exactly wanna do now?” batinku dalam hati lalu melanjutkan perjalanan dengan peperangan atas jawaban yang kulontarkan untuk diriku sendiri. Monte Sant Angello Mercy College, North Sydney 1 March 2018 #GMBhomestayprogram2018🇦🇺 #GerakanMariBerbagi #IamGMBer
0 Comments
|