Kepada Julie, Camilla, dan Samuel, terima kasih untuk cinta dan kasih sayang kalian. BUKAN gugup ketika presentasi di depan belasan orang asing di Human Rights Commission, atau bersepeda sendirian dan tersesat sendirian di Canberra, bukan pula berbaring tanpa baju di salju Gunung Kosciuszko yang menjadi pengalaman terindahku selama homestay di Australia. Tapi, merasakan cinta tanpa batas dari keluarga lesbian tak beragama dan punya anak hasil donor sperma. Ini adalah cerita yang mengubah pandanganku, mengukuhkan bahwa cinta memang tiada batas. Selama mengikuti homestay program Gerakan Mari Berbagi di Australia, aku tinggal di sebuah rumah indah di 118 Ellendon Street, Bungendore, New South Wales. Bungendore adalah kawasan di luar Canberra. Ini adalah pengalaman pertamaku di Australia, tepatnya pengalaman pertama tinggal di negeri orang-orang berkulit putih dan berambut pirang. Pengalaman pertama berada di tempat dengan suasana dan budaya yang benar-benar berbeda. Aku tinggal bersama keluarga kecil; Julie, Camilla, dan Samuel. Ada anggota keluarga keempat, namanya Honey, seekor anjing persilangan Labrador dan Pudel berusia 10 tahun. Aku menjadi anggota keluarga kelima di rumah ini. Kepala keluarga kami adalah Julie Whitmore, seorang psikolog, perempuan berusia 53 tahun. Ia lahir dan tumbuh besar di sebuah kampung kecil di Melbourne. Ia adalah ibu dari Samuel, satu-satunya anak dalam keluarga ini. Julie kini bekerja sebagai senior conciliator di Australian Capital Terrytory (ACT) Human Rights Commission. Sudah lebih sepuluh tahun ia bekerja di sana. Camilla Greville, adalah pasangan Julie. Ia seorang ahli seni kontemporer yang bekerja di National Gallery of Australia. Camilla lahir dan menghabis masa kecilnya, ikut bersama orang tua yang bekerja di di Papua New Guinea, lalu tumbuh besar di Brisbane, Australia. September lalu ia genap berusia 50 tahun. Samuel adalah remaja yang sedang tumbuh. Kini Sam, begitu ia disapa, berusia 15 tahun dan sekolah di Orana Steiner School di Weston Creek. Ia lahir Agustus 1999 di Downer, Canberra. Sam adalah remaja cerdas dengan wajah tampan. Posturnya tinggi menjuang. Ia sangat menyukai sepak bola, piawai bermain musik, menguasai fotografi dan akhir-akhir ini ia sibuk belajar mengoperasikan peralatan disc jockey (DJ). Ada juga Honey, anjing yang disayangi dan diperlakukan layaknya anak di keluarga ini. Aku bertemu Julie, Camilla dan Samuel di terminal kedatangan domestik Canberra International Airport pada 7 November 2014 malam. Mereka menjemputku ke bandar udara itu karena tidak ingin menyulitkanku pada kedatangan pertamaku di Australia. Pertemuan yang membuat aku gugup, karena sudah lama kunantikan. Aku mendengar nama mereka sejak tiga bulan lalu, tapi tidak mengenal mereka sama sekali. Julie yang pertama menghampiriku di ruang tunggu. Ia langsung menyapa. Camilla dan Samuel berjalan di belakangnya. “Hi Andi…, how are you?” Julie langsung mengenalku karena sebulan sebelum berangkat ke Australia aku mengirimkan foto dan profil video serta informasi singkat mengenai diriku. “Hi…. I’m fine.” Julie tersenyum padaku. Aku membalasnya dan mengulurkan tangan untuk menjabatnya. Kemudian aku menyalami Camilla, tapi tiba-tiba perempuan itu memelukku. Erat, seperti memeluk anggota keluarga yang sudah pergi lama dan baru kembali. Wow…! Aku terkejut dan salah tingkah. Ini belum berhenti, kini giliran Julie yang memelukku. Sungguh, aku jadi kikuk dan tersipu. Dag…, dig…, dug…, jantungku berdegup kencang. Aku dipeluk dua lesbian di depan umum di ruang tunggu bandar udara di Canberra. Samuel kemudian mendekat dan menjabat tanganku. Ia tersenyum ramah. Aku langsung bisa menangkap kesan bahwa ia seorang remaja yang ramah dan baik. Sambutan kedatanganku cukup singkat. Setelah perkenalan itu, Julie memintaku untuk langsung berjalan menuju area parkir, memasukkan ransel ke mobil, lalu pulang ke rumah. Mereka khawatir aku kelelahan setelah penerbangan panjang dari Jakarta - Kuala Lumpur - Gold Coast dan disambung penerbangan lokal Brisbane - Canberra. Di mobil, dalam perjalanan pulang ke rumah, tak banyak yang kami bicarakan. Kaku. Aku masih merasa gugup untuk memulai percapakan. Kusadari ini salah besar. Untungnya ada Samuel. Informasi yang kudapat soal kegilaannya pada sepak bola menjadi modal bagiku mencairkan suasana. Aku mulai bertanya pada Samuel soal klub favoritnya, idolanya dan perkembangan terkini Barclays Premier League, La Liga, Serie A, hingga Bundesliga. Terima kasih untuk Samuel, karena menyelamatkanku malam itu. Sisa momen pertamaku malam itu kuhabiskan untuk makan, berbincang sejenak dan istirahat. Ketika akan masuk ke kamarku, aku mengucapkan “good night” untuk Julie, Camilla, dan tentu Samuel. Ada kejutan lagi. Julie dan Camilla bergantian memelukku dan mencium pipiku, kiri dan kanan. Ini adalah ekspresi rasa sayang, ciuman pipi pertama setelah ibuku melakukannya terakhir kali sebelum ia meninggal dunia lima tahun silam. “Good night, Andi. Have a nice dream,” kata Julie. Ia melambaikan tangan dan tersenyum. Camilla dan Samuel juga. Aku tidur dengan menyisakan penasaran. Apa yang akan terjadi besok antara aku dan keluarga lesbian ini? Bisakah aku bertahan dengan mereka? Terus terang sejak awal aku bingung harus menganggap apa Julie dan Camilla. Soalnya mereka pasangan lesbian. Jika Julie kusebut sebagai kepala rumah tangga, tentu ia bertindak layaknya seorang ayah. Tapi, Julie melahirkan Samuel, memasak, mencuci pakaian, dan mengerjakan tugas-tugas ibu rumah tangga. Tentu ia seorang ibu. Aku memanggi Julie dengan panggilan mom. Sebagai kepala keluarga Julie lebih dominan dalam pengambilan keputusan, meski semuanya selalu dimusyawarahkan. Misalnya soal kegiatan keluarga ini di akhir pekan, pengaturan keuangan, hingga jadwal rutin antar-jemput Sam dari sekolah. Tapi, bukan berarti Camilla seorang perempuan manja dan tidak mandiri. Sehari-hari ia juga menyetir sendiri ke kantor. Keluarga ini punya dua mobil, jadi tidak saling merepotkan ketika pagi berangkat ke kantor. Camilla juga memasak, mencuci piring dan pakaian. Soal kemandirian, nyaris tidak ada perbedaan antara Julie dan Camilla. Aku ikut menyebut Camilla sebagai mom. Sam sangat beruntung punya dua ibu dengan cinta kasih yang sama besar didapat dari keduanya. Jika ibunya yang satu menolak memenuhi permintaannya, misalnya membeli baju baru, Sam akan meminta kepada ibunya yang satu lagi. Terkadang, salah satu ibu setuju dan keinginan Sam tercapai. Tapi, ada kalanya kedua ibu sepakat menolak memenuhi permintaan anaknya. Sam diajarkan untuk mandiri dan tidak manja, meski ia anak tunggal. Aku jadi iri pada Sam. Ia mendapatkan cinta yang sangat besar. Dengan dua ibu, Sam bahkan tidak butuh ayah. Tapi, tetap saja, bagiku ini adalah keluarga yang aneh. Julie dan Camilla berteman sejak mereka kuliah di Australian National University (ANU), lalu memutuskan untuk hidup berpacaran pada tahun 1994. Sebelumnya, mereka adalah dua perempuan patah hati. Julie ditinggal menikah oleh lelaki yang dicintainya setelah beberapa tahun berpacaran. Camilla juga pernah berpacaran dan hubungannya kandas di tengah jalan. Keduanya saling mencurahkan isi hati. Mereka saling mengerti, saling memahami. Lalu rasa cinta itu tumbuh. Julie menyukai Camilla. Ia mencintainya. Dari awal Julie memahami bahwa cintanya pada Camilla adalah hal terlarang. Maka ia menyimpan perasaan itu sendirian, menunggu saat yang tepat untuk menyampaikannya pada Camilla. Julie tidak ingin terburu-buru karena saat itu Camilla sedang menjalin hubungan dengan seorang lelaki, teman kuliah Julie. Ia takut merusak suasana dan Camilla berbalik memusuhinya. Maka ketika Camilla kemudian ditinggalkan oleh kekasihnya, Julie merasa menemukan saat yang tepat. Ia menyatakan cinta, dan Camilla menerima. Mereka berpacaran, tapi harus menyembunyikan kisah mereka dari teman-teman, saudara dan keluarga. Di masa itu, awal tahun 90-an, pasangan homoseksual adalah hal lumrah dan masyarakat di sana menghormati ekspresi itu sebagai hak azasi dan kemerdekaan seseorang. Tapi, Julie dan Camilla masih canggung untuk mengumumkan hubungan mereka, terutama kepada keluarga dan orang-orang terdekat. Baru pada tahun 1995 mereka berani buka-bukaan mengenai hubungan itu. Hal yang paling dikhawatirkan Julie kemudian terjadi. Ibunya sangat marah. Julie kemudian berkomitmen untuk sehidup semati dengan Camilla. Ia mengambil resiko, dengan meninggalkan rumah dan merantau sendirian di Canberra. Ia tidak pulang ke rumah bertahun-tahun. Sekali-kali ia menjenguk ayahnya. Ayah Julie berpikiran lebih terbuka dan bisa menerima keputusan anaknya. Berbeda dengan Julie, Camilla lebih aman. Ayah, ibu dan tiga saudaranya bisa menerima keputusan Camilla untuk hidup bersama Julie sebagai pasangan sesama jenis. Keluarga ini sangat toleran dan plural. Julie dan Camilla kemudian membuat rencana untuk melahirkan anak. Masing-masing satu. Mereka sepakat memutuskan Julie akan hamil lebih dulu, dengan mengandung bayi tabung. Seorang teman, bersedia mendonorkan sperma agar Julie bisa hamil. Dan, berhasil. Setelah perjuangan panjang, pada Agustus 1999 pasangan ini dikaruniai anak laki-laki. Ia adalah Samuel Whitmore. Dua tahun kemudian Camilla yang mencoba untuk hamil dengan donor sperma, seperti yang dilakukan Julie. Ia mencoba beberapa kali, tapi gagal karena keguguran. Keluarga ini tidak berhasil mendapatkan seorang adik untuk Samuel. Kehadiran Sam membawa berkah bagi keluarga ini. Ibu Julie akhirnya memaafkan dan bisa menerima kembali anaknya setelah empat tahun tidak saling bicara. Orang tua Julie akhirnya punya seorang cucu. Di awal-awal perkembangan Sam sebagai bocah, Julie dan Camilla sempat khawatir anaknya kelak akan sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya adalah lesbian, terutama karena keluarga ini tinggal berdampingan dengan para tetangga yang semuanya memiliki ayah dan ibu. Khawatir Sam akan minder dan sulit bersosialisasi. Tapi, kekhawatiran itu tidak terbukti. Kepada teman-teman sepermainannya, Sam dengan bangga mengatakan ayahnya sedang bekerja di Indonesia. Dan memang benar, ayah biologis Sam kini tinggal di Indonesia. Dan tentu, ia sangat bahagia mengaku punya dua ibu yang sangat mencintainya. Teman-teman Sam umumnya sejak awal memahami bahwa Sam adalah anak dari pasangan lesbian, dan itu tidak menjadi masalah bagi mereka. Para orang tua di Australia umumnya membekali anak mereka dengan pemahaman norma-norma sosial yang cukup sejak dini, sehingga toleransi atas perbedaan bisa sangat mudah diterima di masyarakat. Berbeda dengan situasi di Indonesia, di mana pembicaraan orientasi seksual sesama jenis atau memiliki anak dengan donor sperma masih sangat tabu untuk dibicarakan. “Teman Sam, semasa kecil dulu, sering menangis dan mengeluh kepada orang tua mereka. Mereka berharap bisa seperti Sam, hidup dengan dua ibu. Ini berarti ibu-ibu harus merelakan suaminya menikah lagi,” kata Julie, bercerita tentang masa kecil Sam. Mereka Tidak Beragama Bukan hanya aneh karena Julie dan Camilla pasangan lesbian, lalu Samuel adalah anak lahir dari hasil donor sperma, tapi keluarga ini tidak beragama. Ini bukan masalah bagiku, karena aku sendiri memposisikan diri sebagai muslim yang cukup toleran dan menghormati agama dan keyakinan orang lain. Tetap saja, ini adalah hal baru bagiku. Aku harus tinggal bersama mereka. Tapi, aku kemudian sepenuhnya sadar. Bahwa meski keluarga ini tidak beragama, mereka sangat menghormati aku sebagai muslim. Tiga bulan sebelum aku datang, mereka sudah menanyakan apakah aku akan baik-baik saja tinggal di rumah yang memelihara anjing. Sebelum aku tiba, Julie bahkan sudah mengumpulkan informasi tentang ibadah seorang muslim. Ia mencetak jadwal shalat yang didapatnya dari internet, berikut informasi tentang alamat mesjid dan komunitas mahasiswa muslim di Canberra. Aku sangat senang karena mereka peduli dan mau menanyakan itu. Di rumah, aku disediakan kamar khusus. Ini sebenarnya kamar Samuel, yang disiapkan untukku selama aku tinggal bersama mereka. Sebelum aku datang, mereka membersihkan kamar ini, merapikannya. Sprei dan sarung bantal diganti. Karpet diganti, agar tidak ada bekas najis anjing yang tertinggal dan aku bisa shalat tanpa ragu soal kesucian. Padahal sebelumnya aku sudah mengabari, agar mereka tidak terlalu memusingkan soal tempat, apalagi sampai menyediakan ruang khusus shalat. Soal anjing, memang aku kemudian tidak bisa berkutik dan berkomentar banyak. Aku harus beradaptasi dengan Honey, anjing persilangan Labrador dan Pudel kesayangan keluarga ini. Menunjukkan sikap jijik atau keberatan justru akan membuat mereka tersinggung. Maka aku mencoba untuk tak bereaksi belerbihan. Beberapa kali aku sengaja memakai baju lusuh yang sengaja kusiapkan, agar bisa bermain dengan Honey, melatihnya berguling dan menyentuhnya. Aku membiarkan Honey menjilat celana atau bajuku. Jika ia menjilat tanganku, aku akan menyucikannya sebelum mandi dan shalat. Sehari-hari, misalnya sedang dalam perjalanan jauh dan tidak menemukan tempat untuk beribadah, Julie atau Camilla akan menanyakan apakah aku boleh menunda shalat atau menggantikannya ketika di rumah. Mereka menjelaskan padaku bahwa akan sulit menemukan tempat beribadah di luar rumah, dan tidak semua orang di Australia bersikap toleran pada muslim selaku minoritas. Tentu aku tidak keberatan. Begitu juga di hari Jumat, ia menanyakan apakah aku boleh meninggalkan jamaah shalat Jumat. Mesjid berada cukup jauh di luar kota, orang tua angkatku sedang bekerja dan tidak bisa meninggalkan kantor, dan aku tidak tahu jalan menuju mesjid. Aku juga tidak keberatan. Aku meminta mereka tidak khawatir soal itu. Ada yang menarik. Keluarga ini tidak beragama, namun ada beberapa patung dewa Hindu di rumah. Di tengah kolam kecil di halaman dekat kamarku ada Ganesha, dewa ilmu pengetahuan. Tapi, Camilla justru tertarik pada ajaran Budha. Ia tidak menganut, tapi mempelajarinya. Menurut Camilla, ia menemukan kedamaian di sana. Sepintas aku pernah berharap suatu saat Camilla akan mempelajari Islam juga. Hidup Penuh Cinta Selama berada di keluarga ini, khususnya di antara dua ibu angkatku yang lesbian, aku melihat banyak hal menarik. Aku terus berinteraksi dengan mereka dan melihat tingkah laku mereka sebagai pasangan abadi. Sering aku bertanya dalam hati, mengapa mereka bisa saling mencintai? Akankan mereka bersama sampai mati? Mereka sudah tinggal bersama 20 tahun. Aku melihat bagaimana cara mereka saling menyayangi. Setiap pukul 7.30 pagi, Senin hingga Jumat, aku akan berangkat bersama Julie ke kota. Pertama menjemput Yannick (teman sekelas Samuel), mengantarkan ke sekolah, lalu ke kantor. Setiap kali mobil sudah melaju setengah perjalanan, Camilla yang selalu berangkat belakangan sendirian ke kantor akan menelepon Julie. Atau sebaliknya, Julie menelepon Camilla sambil menyetir dan percakapan itu melalui speaker phone. Mereka saling memanggil sayang; honey, darling, sweetie. Lalu menanyakan kabar masing-masing. Padahal, baru setengah jam mereka berpisah. Saat waktu istirahat di kantor, Julie beberapa kali mengajakku makan siang. Tetap saja, mereka melakukan percakapan telepon untuk memastikan semuanya baik-baik saja dan bisa melewati hari yang menyenangkan. Ada kalanya mereka bertingkah seperti pasangan kekasih berusia muda. Misalnya ketika makan malam di rumah, mereka tiba-tiba saling tatap dan saling membuat bentuk wajah aneh; mata juling, bibir monyong. Aku sering tertawa melihat kelakuan mereka. Sering mereka berdua tertawa terbahak-bahak hanya karena kelucuan kecil. Cinta mereka sepertinya akan bertahan sampai mati, karena mereka memiliki dua hal yang belum tentu dimiliki pasangan “nomal”; pertama, mereka saling memahami, mengisi dan memperlakukan pasangan dengan sangat baik. Memperlakukan kekasih selayaknya kekasih. Kedua, pasangan ini bisa menemukan bahagia dari hal sekecil apapun. “Pernah suatu hari kami ribut, cek cok, karena ada kesalahan atau kelalaian saat menjaga Samuel ketika ia masih bayi. Tapi, tidak pernah lebih dari itu. Kami tak pernah bias jauh,” kata Camilla, bercerita tentang satu-satunya masalah rumah tangga yang terjadi antara ia dan Julie. Aku juga merasakan bagaimana pasangan ini menyayangiku. Setiap pagi, Julie atau Camilla akan mengetuk pintuku dan mengucapkan selamat pagi, menanyakan apakah tidurku cukup nyenyak, atau menanyakan apakah aku akan menyiapkan sarapanku sendiri atau mereka yang akan menyajikannya untukku. Mereka sering menelpon untuk menanyakan aku sedang berada di mana dan melakukan apa, untuk memastikan aku baik-baik saja dan tidak tersesat saat bersepeda di jalanan Canberra sendirian. Setiap sore mereka juga menelponku, biasanya menawarkan untuk bertemu di suatu tempat di pusat kota Canberra untuk duduk mengobrol dan minum secangkir hot chocolatte sebelum pulang, atau menanyakan apakah ada sesuatu yang ingin aku beli dan mereka akan membelinya. Ketika aku pulang, anggota keluarga yang lebih dulu tiba di rumah akan menanyakan bagaimana kabarku sepanjang hari, untuk memastikan aku senang dengan kegiatanku. Julie akan menanyakan menu makan malam apa yang aku inginkan. Camilla akan mengajakku berdiskusi. Samuel, jika tidak sedang menyelesaikan pekerjaan rumah, akan mengajakku bermain X-Box, eksperimen fotografi, atau menonton pertandingan sepak bola di televisi. Pada akhir pekan, rutinitas yang kusukai adalah ikut belanja ke farmers market di pinggiran kota Canberra. Pasar ini adalah tempat para petani menjual hasil pertanian organik. Beberapa teman Julie atau Camilla berjualan di sana. Aku sangat senang ikut belanja bersama mereka, karena akan mendapat teman baru. Apalagi, Julie dan Camilla dengan bangga menceritakan ke teman-teman bahwa aku anak angkat mereka. Di akhir pekan lainnya, Camilla mengajak aku ke Kosciuszko, puncak tertinggi di benua Australia. Aku pernah bercerita padanya tentang cintaku pada gunung, juga tentang seumur hidupku aku belum pernah bertemu salju. Juga, tentang keinginanku untuk berbaring di atas hamparan salju tanpa memakai baju setidaknya sekali sebelum aku mati. Ibu angkatku ini menyusun rencana. Ia mengajakku melakukan dua hal sekaligus, ke gunung dan mencari salju. Aku dibuat sangat senang. Satu bucket list telah tercapai. “Satu keinginanmu sudah tercapai, Andi. Soal Amsterdam, aku yakin kamu akan ke sana suatu hari. Berada di Australia hanyalah batu loncatan untuk mencapai Belanda,” kata Camilla, setelah ia memotretku di hamparan salju Kosciuszko. Saat malam tiba, Camilla dan Julie akan memelukku dan mencium pipiku sebelum mengucapkan selamat tidur. Mereka sangat menyayangiku. Aku merasa menjadi bocah lagi. Sayangnya, cerita indah bersama keluarga ini berakhir begitu cepat. Ada rasa sedih dan haru ketika Julie dan Camilla mengatur rencana makan malam untuk perpisahanku pada Selasa malam 18 November 2014. Dalam hati, aku ingin perpisahan ini tidak terjadi. Apalagi sampai ada farewell dinner. Aku merasa ingin tinggal lebih lama, hidup dalam kasih sayang yang menghangatkanku di setiap hari yang dingin di pinggiran Ellendon Street. Tapi, aku harus pulang ke Indonesia. Contemporary Art Gallery di Commonwealth Park adalah tempat terakhir kali aku bertemu Camilla, Rabu 19 November 2014 siang. Ia memelukku erat dan mencium pipiku ketika aku bersiap-siap pergi dan mengucapkan selamat tinggal. Mataku berkaca-kaca. Aku melihat ia sedih saat memelukku dan mengucapkan kata perpisahan. Aku tidak ingin berada lebih lama di sana dan telihat cengeng karena menangis. Aku akan sangat merindukannya. Dan bagian terberat dari perpisahan terjadi lagi. Aku masih harus mengucapkan selamat tinggal dan memeluk Julie serta Sam. Aku menyambangi mereka di 12 Moree Street sore itu, tidak lama setelah perpisahanku dengan Camilla. Ibu dan anak ini memelukku sangat erat, seperti tidak akan membiarkanku pergi. “Don’t leave…!” Samuel memelukku erat. Aku membalasnya, memeluknya lebih erat. Mungkin ia akan kesepian setelah aku pergi, karena tidak ada lagi teman yang bisa diajak untuk bermain X-Box sepulang sekolah, atau bersepeda sepanjang hari, bermain sepak bola, mencoba trik fotografi menjelang tengah malam. Julie adalah orang yang paling banyak menghabiskan waktu bersamaku selama aku di Australia. Aku akan selalu merindukan kenangan ketika setiap pagi ia menyetir dan aku duduk kedinginan di sampingnya. Atau, kenangan ketika kami berdua ke farmers market setiap Sabtu pagi, melatih Honey duduk dan berguling, makan ice cream di tepi Danau Burley Griffin, tertawa terbahak-bahak saat dinner di restoran oriental di Dickson, dan perang bola salju di Kosciuszko. Akan ada banyak ingatan tentangnya. Sulit melepaskan pelukannya. Ia begitu tulus. Sejak pertama bertemu di Canberra Airport hingga berpisah di Moore Street, ia selalu mencoba membuatku bersemangat. Tidak ada hal yang lebih baik yang kudapat selama tinggal di Australia, selain kasih sayang dari perempuan luar biasa ini. Dan akhirnya kami berpisah. Bahkan hanya beberapa menit setelah aku pergi, aku mulai khawatir akan merindukannya esok pagi. Andi Irawan Sydney, 20 November 2014
0 Comments
Leave a Reply. |
|