Awal saya melihat gerakan ini, ini hanya sebuah gerakan biasa. Saya kesini hanya untuk coba-coba. Bahkan sejujurnya tidak sepenuh hati saya setuju dengan gerakan ini. Bukankah gerakan ini akan melahirkan penderma-penderma baru yang pada akhirnya menghasilkan juga pengemis-pengemis baru? Untuk apa kita berbagi… itu adalah sebuah “kebenaran”. Kebenaran yang saya ciptakan sendiri. Dan Kebenaran itu menjadi salah setelah 10 hari bersejarah dalam hidup saya.
oleh Airlangga Wiragalih (GMB Angkatan 2014) Salam Rindu untuk Gerakan Mari Berbagi Untuk saudara-saudari seperjuanganku Pemuka pemuda di seluruh penjuru nusantara “Teringat saat bersama-sama kita menyanyikan lagu selamat datang dan terimakasih kakak, teringat wajah kantuk namun penuh semangat dan antusias, teringat malam-malam latihan dan medley nusantara yang kita nyanyikan bersama” Nama saya Airlangga. Usia saya 20 tahun. Tujuan hidup saya adalah untuk mengubah nasib Indonesia, suatu saat nanti ketika orang menyebutkn Negara-negara besar, tidak hanya Amerika, Jepang, Jerman, China, tetapi juga INDONESIA. Untuk itulah hari ini saya berada di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. Tidak boleh ada orang yang mengemis dan tidak boleh ada orang yang kelaparan di Negeri ini. Berbagi… untuk apa kita berbagi… Awal saya melihat gerakan ini, ini hanya sebuah gerakan biasa. Saya kesini hanya untuk coba-coba. Bahkan sejujurnya tidak sepenuh hati saya setuju dengan gerakan ini. Berbagi…. Saya cinta Indonesia. Oleh karena itu saya tidak ingin ada yang kelaparan atau pun mengemis di negeri ini, karena mengemis, menjatuhkan harga diri bangsa. Setiap orang harus berusaha, tidak boleh mengharapkan uluran tangan orang lain. Sebagai mahasiswa ekonomi, saya menyadari bahwa adanya suatu aktivitas bisnis adalah karena adanya pasar. Adanya tukang bakso karena adanya orang yang mau membeli bakso. Adanya tukang es krim, karna ada orang yang mau membeli eskrim. Saya pun berbisnis budidaya jamur, karena ada yang mau membeli jamur. Maka ada nya pengemis, karena adanya orang-orang yang mau berbagi. Bukankah gerakan ini akan melahirkan penderma-penderma baru yang pada akhirnya menghasilkan juga pengemis-pengemis baru? Untuk apa kita berbagi… itu adalah sebuah “kebenaran”. Kebenaran yang saya ciptakan sendiri. Dan Kebenaran itu menjadi salah setelah 10 hari bersejarah dalam hidup saya. 3 hari saya berjalan bersama 2 orang saudari saya, Auliya dan Aprida. Kami terpaksa menjadi “pengemis”. Kami meminta belas kasihan, kami dijauhi orang. Saya marah, mengapa semua orang jahat, tidak mau menolong, dan baru saya sadari saya lah orang jahat itu. Disaat harapan pupus, disaat saya merasa tidak berdaya, kami dipertemukan dengan malaikat-malaikat berwujud manusia. Para penderma yang bukan dari golongan saya. Tidak banyak yang kami dapatkan dari mereka, hanya Rp50rb, tumpangan beserta makan malam dan sarapan, 5 buah naga, 3 bungkus nasi kucing, dan potongan harga tiket untuk pulang sebesar 60rb per orang. Setelah berjam-jam kami berjalan, setelah saya mengemis kesana-kemari, setelah saya dianggap hina oleh orang-orang, apakah uang, buah naga, dan nasi kucing itu cukup untuk membuat kami kenyang dan puas?! Tidak, bukan barang itu yang saya rasakan. Disaat semua orang menjauhi saya, disaat semua orang merasa curiga kepada saya, disaat orang-orang merendahkan saya, mereka hadir dan memberikan kepedulian mereka. Maka esensi yang mereka berikan bukan lah uang, buah naga, atau pun nasi kucing, tetapi “Cinta”….. Cinta yang telah ditransformasikan menjadi barang –barang yang kami butuhkan. Inilah salah satu makna berbagi yang saya dapatkan. Ketika seseorang berbagi dengan tulus, apa pun bentuknya, baik itu buku, gunting kuku, sepeda, inspirasi, sayuran, dll, pada dasarnya yang mereka berikan adalah “Cinta”. Maka, jika ada orang yang mengatakan tentang kebenaran yang saya ciptakan, dengan tegas saya menentangnya! Saya katakan bahwa kami berbagi bukan untuk menciptakan pengemis baru. Saya tidak menemukan ada Giving-Back Program yang berjudul “GMB-Berbagi duit kepada pengemis”, bahkan dalam ziarah penderma pun kami dilarang berbagi dalam bentuk uang. Kami berbagi “Cinta”. Cinta yang kami transformasikan menjadi kekuatan. Kekuatan yang akan menguatkan sehingga mereka tidak perlu lagi mengemis. Pemberdayaan. Empowering. Ini lah gerakan Pembangunan Bangsa dengan “Cinta” Giving-Back Program adalah implementasi Cinta dari GMB. Kekhawatiran akan GBP melanda ketika Bang Az membicarakan tentang program-program yang realistis. Saya akan berhutang banyak dan bersalah yang mendalam terhadap GMB jika GBP saya tidak berhasil. Inti GBP saya adalah penyejahteraan masyarakat pedesaan dari sisi ekonomi, memunculkan produk-poduk unggulan di setiap daerah dimulai dari Jawa Tengah. Hal yang tidak mudah dan tidak singkat. Bahkan sampai saat ini, pemerintah saja belum berhasil melaksanakan itu bukan? Bagaimana dengan saya yang mahasiswa? Ini bukan program jangka pendek. Bukan program yang mudah. Yang akan saya hadapi tidak hanya masyarakat, tetapi juga kekuatan pasar. Ini lah awal dari sebuah program yang tidak akan ada akhirnya. Saya tidak akan menyerah. Saya akan betahan dan tidak akan mengganti GBP saya. Ini sejalan dengan tujuan hidup saya. Jika saya tidak berhasil disini, bagaimana saya dapat menyejahterakan Indonesia? Saya tidak sendiri. Strategi-strategi baru sudah saya siapkan bersama volunteer-volunteer disini. Inti dari startegi baru kami adalah “start from small social-business”. Hari ini kami mahasiswa, kami akan lakukan program ini dengan sebaik-baiknya, esok hari saat kami sudah menjadi inspiring-inspiring leader, kami dapat lakukan gerakan yang lebih besar dan lebih hebat. Terimakasih kepada inspiring-inspiring leader untuk menguatkan tekad kami disini. 6 hari bersama inspiring leader, 46 pemuka pemuda dari penjuru nusantara, beserta para volunteers adalah hari-hari terindah dalam hidup saya. Sampai hari ini masih terngiang dalam kenangan saya lagu hymne GMB dan medley yang kita nyanyikan bersama-sama. Bersama kalian, saya melihat orang-orang yang memiliki visi yang sama dengan saya, walaupun dalam peran yang berbeda-beda. Terimakasih pemuka pemuda dan Volunteers. Besar rasa rindu saya untuk bertemu kalian agar kita bisa bersama-sama mamajukan lingkungan kita. Saya yang sebelumnya sudah merasa nyaman disini, ingin rasanya kembali ke Jakarta. Namun, pada akhirnya saya menyadari, Semakin saya mencintai GMB, Semakin saya merindukan kebersamaan kita, maka Semakin saya harus tetap tinggal disini, untuk menyejahterakan desa binaan dan untuk menyukseskan GMB disini. -Salam Rindu dari Semarang untuk GMB-
0 Comments
Hujan turun sangat deras di sumberboyong, Yogyakarta. Seakan menantang keberanianku, apakah aku bisa melewatinya atau tidak. Ujian yang akan aku mulai bersama Fatin dan Tari dalam sebuah kegiatan yang dinamakan Youth Adventure, yang diinisiasi oleh Gerakan Mari Berbagi sebelum acara Youth Leaders Forum di Jakarta nantinya. Dengan modal uang Rp. 300 ribu yang akan kami gunakan selama 3 hari 2 malam, dimana kami diharuskan melewati kota Purworejo dan Brebes sebagai sebuah tantangan.
Aku akan ziarah diri, melakukan ziarah pengemis di kota persinggahan pertama dan ziarah penderma di kota yang kedua. Begitulah aku yang memaksa batinku untuk tetap bisa melakukan perjalanan dengan dua perempuan yang baru saja ku kenal. Pasti bisa! Dengan menggunakan bus, kami menuju Purworejo dari Yogyakarta. Karena ziarah diri kali ini adalah ziarah pengemis, dengan segala penjelasan, maka kami pun mendapat potongan harga dari sang supir. Makasih pak supir! Di Purworejo, kami makan malam dengan harga 3000 rupiah. ini begitu lezat saat kau benar-benar merasa kelaparan walau dengan lauk sederhana. Pagi harinya, seorang ibu yang baru saja menyelesaikan sholat subuh mengajak kami ke rumahnya setelah kami diceramahin panjang lebar. Hahahaha! Layaknya seorang ibu yang khawatir akan anaknya. Pikiranku pun berteriak gembira. Aku haus dan lapar. Sepertinya Tuhan mengirmkan malaikatnya pagi ini. Aku tak peduli siapa dan bagaimana latar belakang ibu itu. Bagiku, perbedaan agama bukanlah suatu hambatan dan masalah yang harus dibesar-besarkan. Toh aku juga nyaman diberi tumpangan tidur di mesjid oleh sang kiai. "Tidak penting apa pun agamamu atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu” ini benar! pikirku yang teringat ucapan Pak Gusdur. Di rumah ibu itu, kami diberi teh manis hangat dan sarapan pagi dan diberi uang. Ada satu hal yang harus kalian tahu. Itu adalah salah satu teh manis yang paling nikmat yang pernah ku minum. Hahahaha!! Perjalanan dari Purworejo ke Brebes tidak bisa dengan sekali jalan. Setidaknya kami harus melewati beberapa kota seperti Purwokerto – Tegal dan Brebes. Beruntung, kami mendapat tumpangan truk dari purworejo menuju Aji Barang (dekat purwokerto) dan tumpangan mobil pick up (bak terbuka) menuju tegal dan sebuah truk sayur dari tegal menuju brebes. Panjang sekali perjalanan ini. Perjalanan dari Aji Barang ke tegal memberiku pelajaran hidup. Dalam perjalanan kami singgah di sebuah warung makan. Sudah diberi tumpangan, dikasih lagi makan gratis. Indahnya hidup jika kita saling menolong! “Kalian kan lagi butuh. Kebetulan saya bisa membantu, ya, saya bantu kalian. Bisa saja suatu hari nanti kalian yang bantu kami atau anak-anak kami. Hidup kan gak selalu diatas” ujar si bapak sambil membuka percakapan. ersyukur! ini sangat sederhana, tapi kepingan ini yang menurutku sudah hilang dan jarang di jumpai dalam diri kita masing-masing. Ini sangat sederhana, tapi ketiadaan hal ini yang membuat kita dan negara ini hancur lebur. Seakan tidak ada harapan lagi. Ketiadaan inilah yang (mungkin) menyebabkan korupsi merajalela dan tumbuh secara sporadis di negeri ini. Tidak pernah puas akan harta, haus akan kekuasaan adalah ciri-ciri orang yang kehilangan rasa syukur atas hidupnya. Ini benar-benar ziarah diri buat diriku yang terkadang protes kalau kiriman uang bulanan terlambat atau uang bulanan dikurangi karena ada kebutuhan keluarga yang lain yang mungkin mendesak. Yang jarang berpikir pasti ada hikmah dibalik sebuah peristiwa. Perjalanan menuju Brebes memberiku banyak arti. Di brebes kami melakukan ziarah penderma, melakukan kegiatan sosial dengan kapasitas yang kami punya. Tari dan fatin mengajari anak-anak mengaji, sementara aku menemani petugas rel kereta api. Hari sudah gelap. Fatin dan Tari akan sholat maghrib. Aku menuju pos petugas rel kereta api berniat membantu menemani pak petugas yang bekerja sendirian malam itu. Aku diajari bagaimana dan apa yang harus dilakukan seorang petugas rel jika kereta mau melintas. Pak Roni pun sholat dan kemudian sedang bersih-bersih halaman di sekitar pos rel kerata api. “Paaaaaakkkk, alarmnya bunyi!!!” Teriakku keras karena alarm pertanda kereta mau melintas berbunyi. “Oke dek!” sahut pak Roni sambil berlari menuju pos dan menekan tombol-tombol yang belum ku mengerti sepenuhnya. Aku dan Pak Roni tertawa. Tindakan yang tepat pada waktunya. Perjalanan kami lanjutkan dengan menumpang sebuah truk besar menuju Jakarta. Menuju Youth Leaders Forum, menanti dan bertemu dengan pembicara-pembicara yang benar-benar menginspirasi 47 pemuda. Pembicara yang mau berbagi waktunya kepada kami. Dan mengajarkan kami untuk terus hidup berbagi dengan sekitar kami. Yang akan kami mulai dengan sebuah program sebagai langkah awal untuk berbagi. “Berjalan dan berbagilah dalam langkah-langkah menuju harapanmu.” Frinsoni Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 Participant of GMB Homestay Program 2014 Catatan Perjalanan Youth Adventure!
Yogyakarta-Purwokerto-Tasikmalaya-Nagrek-Garut-Jakarta Halo! Saya ingin membagikan catatan perjalanan saya dan kelompok saya saat Youth Adventure: Ketika berjalan, maka aku ada. Sedikit detil, karena banyak kejadian-kejadian lucu yang terjadi, yang sayang kalau tidak ditulis. Petualangan saya dimulai 30 menit sebelum penutupan pendaftaran peserta YA! YLF 2014 pada tanggal 1 Febuari 2014. Saat itu, saya, Novi, Kholisa, Airlangga dan Aris menjadi ‘keluarga’ yang bertanggung jawab untuk menghabiskan uang sejumlah 75 ribu yang harus dibelanjakan untuk makan malam tujuh orang dalam waktu 10 menit. Awalnya kami pergi ke supermarket dekat lokasi berkumpul untuk membeli tempe, tahu dan sayur. Supermarket memang mahal, dan saya sedikit berpikir: “Hey, it’s too easy!”. Namun pada akhirnya kami mencari beras dan air minum di tempat yang agak jauh dan harus berlari kencang sampai tempat berkumpul untuk mengejar bis agar tidak tertinggal. Malamnya, kami dapat tempat memasak yang cukup gelap, dengan api yang agak susah membara karena dapat kayu basah. Namun, kami tidak menyerah dengan sedikit ‘oportunis’ menggunakan tungku tetangga yang tidak terpakai (yang akhirnya wajan kami diusir paksa, haha). Terima kasih untuk Mustika karena mengajari saya untuk meniup api agar tidak padam. Satu catatan, saya membuat kesalahan bodoh dengan memasukkan tahu asin ke air garam yang menjadikan tumis sayur tahu kami luar biasa asinnya. Namun, malam itu, kami bisa makan dengan bahagia dan dengan kecepatan yang luar biasa cepatnya karena dalam 15 menit harus segera berkumpul dengan peserta yang lain. Pada hari Minggu, kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang berjumlah tiga orang. Saya bersama Yessi dan Rezki memiliki misi untuk ziarah pengemis ke Purwokerto dan ziarah penderma di Garut, lalu ke Jakarta dalam waktu 48 jam dengan uang 300 ribu rupiah. Baiklah, kesan pertama saya, Yessi yang berasal dari Lampung tampak menakutkan dengan perencanaan perjalanan yang strict, logis, dan tingkat koleris tinggi. Di sisi lain, Rezki yang berasal dari Sulawesi Tenggara tampak tidak bisa diandalkan dengan plegmatis tinggi sehingga tidak banyak mencampuri diskusi saya dan Yessi (maaf ya Rez, hahaha). Hmm, pikir saya dalam hati, mampu kah saya melakukan perjalanan yang menyenangkan dengan mereka berdua? Kita lihat jawabannya nanti. Catatan lucu pada saat di bis menuju Purwokerto, saya mencoba mengajak bicara bapak-bapak yang duduk di sebelah saya dengan menggunakan bahasa jawa krama alus. Namun karena bahasa jawa saya masih belum benar dan patah-patah, saya malah ditertawakan. Sebagai orang asli Jawa, saya merasa malu. Obrolan akhirnya dilanjutkan dengan bahasa Indonesia. Sesampainya di terminal Purwokerto, kami harus menunggu host kami, Pak Okto yang sedang perjalanan dari Semarang ke Purwokerto hingga pukul 2 pagi. Ada sebuah kejadian bodoh yang saya lakukan di Mushola tempat kami menunggu. Awalnya, saya mau sholat dan wudhu seperti biasa dengan meletakkan kaca mata di atas tempat wudhu. Ketika saya ingin mengambil kacamata, ternyata benda yang selalu melekat di kepala saya tersebut tidak ada! Dan ternyata masuk ke tadah air di atas tempat wudhu. Sebagai manusia yang memiliki minus 6.5 di kedua mata, kontan saja saya panik. Saya memanjat keran air untuk mengambil kacamata saya, dan dengan sukses mematahkan keran air tersebut. Untung Mas Slamet, penjaga mushola yang baik hati mau memperbaikinya, sehingga kami tidak perlu mengganti rugi. Setelah kami dijemput, kami langsung diajak makan malam gudeg dengan nikmatnya. Pak Okto merupakan sosok ayah yang sangat baik. Beliau banyak memberikan motivasi dan nasehat sepanjang obrolan malam. Besok paginya, di rumah Pak Okto, kami bangun sepagi mungkin untuk bersama sama membersihkan rumah beliau. Dan pagi itu juga, kami bertemu dengan Pak Yogo, partner kerja Pak Okto yang juga tinggal serumah dengan beliau. Sepanjang sarapan, kami bercerita banyak tentang berita terkini, serta pengalaman-pengalaman dari Pak Yogo dan Pak Okto. Satu perkataan Pak Okto yang membuat saya terharu adalah, “Saya adalah orang yang hidup dengan bebas. Tidak pernah merasa berhutang budi kepada orang lain dan tidak mau orang lain merasa hutang budi pada saya.” Mengingat kebaikan beliau pada kami yang belum pernah dikenalnya, saya langsung menitikkan air mata. Sebelum pulang, kami diberi amplop yang berisi uang sebesar 500 ribu rupiah. Semakin kaget dan terharulah saya terhadap kedua bapak ini. Pak Okto dan Pak Yogo merupakan pejabat di RRI Purwokerto. Sebelumnya, mereka pernah bekerja di RRI Semarang, yang merupakan kolega dari ibu saya, karena itu kami dapat diterima dengan tangan terbuka oleh mereka. Sebelum di lepas ke kota, kami diajak untuk mampir di RRI dan berkenalan dengan mahasiswa yang sedang magang disana. It such a nice pleasure to make friends with locals! Sebelum pamit, kami sempat rekaman radio untuk memotivasi anak muda supaya tidak golput dalam pemilu kali ini, sambil kami sisipi kata-kata Gerakan Mari Berbagi serta Youth Adventure and Yout Leader Forum yang sedang kami ikuti. Selain itu, kami juga ‘mengemis’ kalender untuk dibagikan di kota penderma. Setelah dari RRI, kami berjalan-jalan untuk mencari pisang. Yessi dan Rezki bukan orang dari Jawa, sehingga kami sempat menjadi turis yang berfoto didepan bangunan khas jawa. Saat melintasi pos polisi, kami menitipkan backpack kami yang berat untuk pergi sebentar ke pasar terdekat untuk mencari pisang. Dan syukurlah bapak polisi mengijinkannya. Di pasar, kami mendapatkan pisang merah seharga 2000 untuk 4 pisang. Selain itu, ada ibu-ibu baik hati yang memberikan 3 butir jeruk pada kami secara gratis. Sebagai imbalan, saya menggambar kedua ibu-ibu tersebut, dan mereka terlihat bahagia. Setelah itu, kami terburu buru lari ke pos polisi karena langit tampak mau hujan (yang akhirnya ternyata berubah menjadi cerah sekali setelah kami tiba di pos polisi). Disana, kami menceritakan pada polisi tentang program GMB yang sedang kami ikuti. Kemudian, tak disangka, polisi yang baik hati itu mentraktir kami mie ayam! Nikmat sekali makan mie ayam di dalam pos polisi. Padahal diluar ada anak SMA yang sepertinya kena tilang. Setelah itu, kami pergi ke terminal untuk naik bis menuju garut. Sayangnya, tidak ada bis langsung, jadi kami harus ke Tasikmalaya, baru dilanjutkan ke garut. Kami sampai di Tasikmalaya pukul 9 malam, dan diarahkan untuk naik mobil kecil menuju garut. Melihat pos polisi di dekat kami turun, Yessi mengajak kami untuk bertanya pada polisi terlebih dahulu. Disana, kami diberitahu kalau mobil kecil ke garut sudah tidak ada pada jam segini, sehingga harus naik bis menuju Nagrek selama 2 jam, di lanjutkan naik bis menuju Garut selama 1 jam. Polisi tersebut menawari kami untuk menginap disana dan melanjutkan perjalanan besok pagi. Dengan halus, kami menolaknya karena dikejar waktu, dan memilih menginap di pos polisi Garut saja. Kemudian tak disangka, kami ditraktir nasi goreng. Ditraktir dua kali di pos polisi, dobel nikmatnya. Pada saat kami meninggalkan pos polisi, kami sama-sama setuju kalau kami harus mengapresiasi keindahan Tuhan yang ada: polisinya ganteng! Kami tiba di Garut pukul 1 dini hari, dan memutuskan untuk menginap di ruang tunggu terminal yang terlihat bersih dan aman. Paginya, kami menukar susu sachet yang dibawa Yessi dengan gorengan untuk sarapan. Setelah itu, kami berkeliling terminal untuk mencari orang-orang yang akan kami ‘bantu’. Namun sayangnya, setelah berkeliling cukup lama, kami tidak menemukan apa-apa. Orang yang ingin kami bantu malah menolak dengan sedikit ‘parno’, sedih sekali rasanya. Akhirnya, kami mendermakan kalender pada pedagang asongan di depan terminal. Setelah itu, kami berniat untuk langsung ke Jakarta jam 9 agar tidak terlambat sampai disana. Pengalaman menarik terjadi pada saat kami sedang menunggu tim dokumentasi sebelum naik bis ke Jakarta. Kami bertemu dengan seseorang yang bernama Ipang Septiawan yang meminta kami untuk membagi makanan. Well, kesempatan menderma, kenapa tidak? Lagi pula uang kami dari Pak Okto masih banyak. Kami mentraktir Ipang makan tahu kupat, dan ia makan dengan lahap sambil menangis akan kebaikan kami. Pada saat itu, Rezki berkata padanya, “Jangan nangis, nanti asin!”. Kata-kata yang membuat kami tidak bisa menahan tawa, bahkan sampai selesai acara. Yessi dan Rezki curiga bahwa kita masuk ke program ‘Tolong’ seperti di televisi, sedangkan saya sama sekali tidak curiga. Tim dokumentasi berkata bahwa ban mobil mereka pecah dan tidak jadi datang ke kami. Well, sayang sekali. Kami pun memutuskan untuk pergi ke rumah Ipang. Sepanjang perjalanan, ia bercerita bahwa ia adalah seorang pemulung, begitu pula dengan kedua orang tuanya. Ia putus sekolah saat SMP karena tidak ada biaya, dan sekarang adiknya ada di puskesmas. Ia ingin menjadi seorang penulis, dan selama ini ia banyak menulis di sak semen dengan kapur. Sampai disini, Yessi dan Rezki semakin curiga, ditambah ‘rumah’ yang di maksud Ipang adalah tempat pemecah batu, dan semakin lama kata-katanya tidak sinkron dengan kata-kata sebelumnya. Sebelum berpisah, saya memberikan sketchbookA5 kesayangan saya pada Ipang, agar ia tidak patah semangat menulis. Selain itu, kami menuliskan kata-kata motivasi, serta alamat dan nomor telepon masing-masing agar dapat dihubungi Ipang jika ingin mengirim tulisannya. Catatan kecil, Rezki sempat membantu mendorong gerobak bapak-bapak ketika kami ngobrol di jalan yang menanjak. Setelah kami berpisah, kami langsung naik bis menuju Jakarta pukul 10 pagi. Di dalam bis, Yessi dan Rezki mengungkapkan kecurigaan mereka bahwa Ipang adalah tokoh fiktif yang sengaja dikirim volunteer GMB untuk menguji kita. Dengan polosnya, saya sama sekali tidak sadar. Pada saat akhir acara, Munadillah mengaku bahwa Ipang memang salah satu volunteer GMB. Di tambah lagi, kak Agus mengaku bahwa Ipang adalah anak teater yang sengaja ia bawa dari Garut ke Jakarta. Namun yang perlu di garis bawahi, ternyata kisah hidupnya memang nyata. Ternyata saya tidak polos-polos amat :D. Di akhir petualangan ‘Youth Adventure’ kami, Yessi menemukan kata-kata menarik bahwa “memberi lebih susah daripada meminta”. Mungkin karena kita berniat memberi di daerah Terminal yang notabene salah satu pusat ekonomi, dengan orang-orang yang memiliki tingkat kewaspadaan tinggi, mungkin memang susah. Di sisi lain, saya berkata dalam hati, mungkin Ipang merasa kami telah menolongnya, namun sebenarnya, kami lah yang ditolong olehnya, karena ia telah memberi kami pengalaman untuk berbagi. Terima kasih Ipang! Selain itu, pada saat kami ditolong oleh polisi, Rezki belajar bahwa polisi tidak seseram yang ia duga seperti di Sulawesi. Ada polisi yang baik dan... ganteng! Hahaha. Saya sendiri belajar untuk lebih berani menghadapi orang asing. Impian saya adalah menjadi seorang backpacker, dalam artian berpetualang keliling dunia dan membaur dengan masyarakat setempat. Dari kecil, saya membaca dan mengkoleksi buku tentang backpacker, namun semakin dewasa, karena mungkin trauma yang saya miliki, saya semakin takut untuk berjalan. Pengalaman ‘Youth Adventure’ ini saya anggap sebagai titik balik hal tersebut. “Now I’m ready to hit another road!”. Mengenai pertanyaan di awal, apakah saya mampu melakukan perjalanan yang menyenangkan dengan Yessi dan Rezki? Jawabannya adalah, YA! Sepanjang perjalanan, sifat-sifat kami yang berlawanan saling melengkapi satu sama lain. Both of them are the greatest adventure partner ever! Terima kasih. Monitta Putri Lisa Mary Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 Participant of GMB Homestay Program 2016 Aku, Aulia, dan Airlangga terbahak-bahak saat kami menyadari kaki kami bengkak karena perjalanan melelahkan dari Yogyakarta-Sleman-Purworejo-Jakarta dengan modal tiga ratus ribu rupiah untuk bertiga. Namun, bukan tentang kaki yang bengkak yang hendak ku ceritakan dalam halaman ini, tetapi mengenai inspirasi yang membengkak akibat perjalanan ini. Perjalanan ini tidak hanya sekedar berpindah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga perjalanan ke dalam diri sendiri dalam rangka mengenal diri sendiri atau yang disebut sebagai ‘ziarah diri’
Kami adalah 3 dari antara 47 peserta Youth Adventure dan Youth Leaders Forum 2014 yang diadakakan olehGerakan Mari Berbagi. Sesuai nama gerakannya, maka petualangan yang kami lakukan juga bertema berbagi. Di kota pertama yaitu Sleman, kami melakukan yang namanya Ziarah Pengemis, dimana kami harus meminta berbagai bantuan dari orang lain agar dapat makan dan beristirahat serta punya sumber daya yang cukup untuk melakukan perjalanan selanjutnya ke Purworejo dan Jakarta. Sedangkan di kota kedua, yaitu Purworejo, kami diharuskan melakukan kegiatan berbagi dengan orang lain, atau yang disebut Ziarah Penderma. Di dalam bus malam Purworejo menuju Jakarta, momen-momen inspiratif itu berkelabut di kepalaku, menjadi penawar rasa lelah dan bosan berbelas-belas jam duduk di dalam bus. Di dalam kepalaku, aku kembali ke titik itu. Titik dimana aku berdiri di depan sebuah pondok pesantren di Sleman. Aulia dan Airlangga sudah maju beberapa langkah di depanku. Entah mereka tahu atau tidak, aku terguncang saat itu. Aku sangat takut. Sekuat tenaga, aku mengontrol emosiku. Aku adalah seorang yang beragama Kristen dan aku sebisa mungkin menghindari pemeluk agama Islam yang ku anggap fanatik, termasuk orang-orang pesantren. Jauh sebelum titik ini, aku mengalami hal yang tidak menyenangkan dan sampai sekarang masih aku ingat. Waktu itu, aku masih duduk di bangku SMP. Salah satu guru agama Islam di sekolahku sepertinya sangat benci dengan orang Kristen. Tiap kali beliau masuk kelas, ia pasti akan bercerita dengan banyak sindiran terhadap orang Kristen. Menit-menit sangat menyiksa dan aku seperti sedang ditertawakan oleh teman-teman sekelasku. Setelah cerita itu selesai, barulah kami yang non-muslim diperkenankan keluar kelas. Hal itu terjadi sangat sering selama 2 tahun ia mengajar di kelasku. Ini membuat hari dimana ada pelajaran agama Islam menjadi sangat menakutkan bagiku. Sampai suatu hari, ada rapat OSIS di dalam musholla sekolah dan beliau berdiri di dekat pintu. Karena tidak berani masuk ke musholla, aku hanya berdiri sebentar didekat sepatu-sepatu diletakkan dan setelah itu dengan dada sesak dan mata basah aku pergi dan tidak mengikuti rapat. Sejak masa-masa itu, aku menjadi sangat tidak nyaman dengan pemuka agama Islam. Ketakutan akan rasa ditolak, disalahkan, dianggap najis, kafir, dipojokkan menyelimuti hatiku. Otakku pun mendukung dengan logikanya: “kenapa harus ke pesantren, toh kami sebenarnya sudah mendapatkan izin menumpang di kontrakan temanku di Sleman". Tiba-tiba Aulia bertanya “Kakak, ga apa-apa Kak?” Aku bingung sebenarnya harus menjawab apa. Aku berusaha berdialog dengan diriku sendiri. “Mungkin ini adalah tantangan pertama untuk melawan ego mu. Kamu harus keluar dari zona nyamanmu, dan coba lihat ada apa di dalam sana” ucapku dalam hati. Aku kemudian menjawab Aulia dengan pelan, “Ga apa-apa.” Setelah beberapa menit berdiri di luar, kami di sambut oleh seorang santri. Pergulatan di dalam diriku belum selesai. Ada bagian diriku yang berharap, semoga kami tidak bisa menginap di pesantren. Airlangga kemudian menjelaskan kondisi kami saat itu kepada Santri dan Istri sang Ustadz. Aku masih berharap kami tidak tidur di sana. Beberapa saat kemudian, Airlangga masuk ke ruangan tempat kami menunggu dan memberi kabar bahwa kami diizinkan menginap. Bukannya senang, aku malah kecewa. Aku masih takut. Menit demi menit berlalu, kami disambut hangat oleh Istri Sang Ustadz. Keramahan beliau sedikit memberi ketenangan di dalam hatiku yang sedang riuh. Kami disuguhkan minum, makan, cemilan, dan yang terpenting senyum yang tidak berhenti menyungging di wajah si Ibu. Beberapa lama kemudian Ustadz datang, dan dengan keramahan yang sama ia menemani kami. Malam berganti pagi, dan kami harus bersiap meninggalkan kota Sleman untuk menuju Purworejo. Sebelumnya seorang santri, memberikan kami sarapan bubur gudeg yang lezat. Lezat sekali karena terasa tulusnya. Selama interaksi yang terjadi dengan Ibu, Ustadz, dan Santri, tidak ada rasa risih yang mereka tampakan ketika aku berada di dekat mereka. Ketika Ustadz bicara pun, ia menanyakan namaku dan melibatkan aku dalam pembicaraan. “Pluralitas adalah kenyataan kehidupan yang harus kita hargai. Binatang saja kita rawat, apalagi saudara kita sesama manusia, tidak ada alasan untuk menolak saudara yang berbeda keyakinan.“ ujar Ustadz. Dari Ustadz, aku belajar bahwa kita boleh menceritakan iman kita kepada orang lain, tetapi tidak dengan memaksa dan tidak menjelekkan kepercayaan orang lain. Ya, masalah perbedaan bukanlah bagaimana memaksa agar kita menjadi sama, tetapi bagaimana kita menerima perbedaan itu. Di dalam pesantren, aku seorang Kristen, memaknai apa itu berbagi dalam perbedaan. Aprida Sondang Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 Participant of GMB Homestay Program 2014 "Dek, mbak mau jualan..."
Tiba-tiba mbak Tari berujar. Kuperhatikan tatap matanya yang sendu, dapat kurasakan kepalan tangannnya gemetar dingin di atas pahaku. Berbekal pengalaman berjualan sejak kelas 3 SD, aku bermaksud menawarkan diri. Namun kemudian ditolak oleh mbak Tari. Bang Soni yang duduk di kursi belakang hanya menyaksikan perdebatan kami. "Jangan, wajahmu nggak cocok buat jadi pedagang," Loh. Berjualan itu aktifitasku sejak kecil. Bagaimana bisa aku tidak cocok berdagang? Bagaimana bisa kelihaian kita berdagang dinilai dari wajah? Lalu wajah yang cocok jadi pedagang itu yang seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan baru muncul di kepalaku. Meskipun sebenarnya, ada satu pertanyaan besar yang masih sendirian kupertanyakan dalam hati sejak tadi. Mengapa aku harus berkelompok dengan mereka? *** Perjalanan dengan rute Jogja-Purworejo-Brebes-Jakarta pasti tidak akan mudah. Tidak ada perjalanan yang mudah, tah? Dan perjalanan ini makin terasa berat bila aku mengingat harus melaluinya dengan teman-teman sekelompok yang sama sekali belum kukenal dan kutahu sifatnya. Satu-satunya yang kutahu adalah kami berbeda. Perbedaan yang terpaksa disatukan. Setengah hari berlalu, perasaan takut itu masih ada dan terpupuk makin besar. Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 ini adalah acara yang luar biasa. Luar biasa nekadnya. Acara backpacking yang biasa kulakukan bersama teman-teman ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan Youth Adventure ini. Entah apa yang ada di dalam otak panitia, terlebih Bang Az selaku penggagas acara. Kami dilepas begitu saja di sebuah jalan di Jogja, berbekal uang seratus ribu rupiah, juga telur itik yang tidak boleh pecah sampai tiba di Jakarta. Gila. Bus yang kami tumpangi dengan ongkos setengah harga (setelah dirayu berkali-kali), berhenti di sebuah jalan menuju Pantura. Kami bersedia diturunkan di mana saja yang penting kota Purworejo. Alhasil, kami turun di sebuah desa berma Candi Sari. Sudah pasti tidak ada indomaret, tidak ada mall. Namun yang paling pertama kucari adalah rumah sakit atau klinik terdekat. Terbayang bagaimana menyedihkannya bila penyakitku kambuh dan malah menyusahkan kedua teman sekelompok. Perasaan takut yang muncul di dalam otakku makin banyak. Perjalanan diberi waktu tiga hari dua malam. Di hari pertama, kami harus berziarah diri menjadi pengemis. Dan meminta ternyata bukanlah sebuah hal yang mudah. Meminta kepada manusia seringnya berujung kecewa, karena apa yang kita dapatkan tidak seperti apa yang kita harapkan. Loh, bukannya sudah bagus dikasih? Bapak Kyai yang menjadi legenda di desa tersebut ternyata tidak memberikan kami tumpangan di rumahnya, boro-boro disuguhi makan enak. Maka, kami berinisiatif meminta ijin untuk tidur di mesjid yang meski bangunannya masih setengah jadi. Kutatap wajah Bang Soni dengan serius, berusaha menangkap air mukanya atas keputusan yang kami ambil. "Nggak apa-apa, Bang, kalau kita tidur di mesjid?" Bang Soni menatapku balik dengan heran, "Loh, ya nggak apa-apa," Jawaban itu membuat aku dan Mbak Tari tersenyum. Kurasa aku sudah mulai paham dengan rencana panitia dan atas pertanyaanku sendiri. Malam itu akhirnya kami bermalam di mesjid. Tidur di atas tikar seadanya, karena bagian mesjid yang dilapisi karpet dan memiliki kipas angin sudah dikunci ruangannya. Malam itu akhirnya aku tertidur paling akhir, masih memikirkan rasa sungkan karena memaksa Bang Soni ikut bermalam disebuah tempat ibadah yang tidak diyakininya. *** "Bang, jangan jauh-jauh..." Kuajak Bang Soni merapat ke sisi carrier-ku. Sebelumnya, ia mengambil posisi yang jauh dari tempat solat. Tepat di pinggir pintu masuk seperti penerima tamu. Mbak Tari yang sedang sibuk merapikan barang-barang sepertinya masih setengah sadar. Di wajahnya tidak ada ekspresi. Tidurnya semalam mungkin membuat dirinya sedikit menderita. Muncul rasa bersalah di hatiku telah membuat gagasan menginap di mesjid ini. Rasa bersalah terhadap kedua teman kelompokku. Angin subuh semilir yang membangunkan kami sebelum adzan berkumandang. Malu sekali bila kami harus dibangunkan para jemaah yang sudah rapi dan wangi menuju mesjid. Aku turut bersiap bersembahyang. Duduk di shaf perempuan paling pertama, menyambut para jemaah muslimah yang datang untuk menunaikan ibadah solat subuh. Waktu terasa berjalan dengan sangat lamban. Sudah pukul setengah lima pagi, namun langit masih gelap. Suasana masih sepi. Tidak ada ingar-bingar mesin bermotor, terlebih suara perlombaan suara klaksonnya. Hanya ada suara hening yang damai. Yang membuat suara adzan menggema syahdu di udara. Untuk pertama kalinya, aku melaksanakan solat subuh di mesjid secara berjamaah. Individualisme keluargaku yang sangat kekotaan membuat kami tidak pernah solat berjamaah, bahkan aku hampir tidak pernah bisa bertemu ayah-ibu di pagi hari. Imam yang merupakan Pak Kyai melantunkan surah dengan lantang dan merdu. Lantunan panjang-pendeknya meliuk turun-naik membuat ayat-ayat suci itu terdengar seperti lagu. Suasana syahdu. Entah bagaimana, suasana itu membuatku menitikkan air mata. Makna ketuhanan itu berangkali yang membuatku menjadi kerdil seketika. Suara lantunan ayat suci itu tidak hanya masuk ke telinga, tapi juga menyusup setiap nadi dan memantul di hati yang kosong. Religiusitas yang tidak bisa di dapatkan di Jakarta. Tentu saja, aku menahan isak agar tidak membatalkan rukun solat dan mengganggu jemaah di sekitar. Suasana sunyi yang tercipta membuatku berusaha keras menahan tangis agar tidak terisak sedikit pun. Air mata bening itu mengalir begitu saja di pipiku, tanpa suara. Tidak perlu ditanya lagi, saat pagi di mesjid itu tidak ada anak mudanya. Hanya ada para sepuh yang melaksanakan solat di mesjid. Secara refleks aku segera menyalimi semua tangan para jemaah wanita dewasa di dua shaf. Kemudian ada wajah baru yang tidak kutangkap kemarin malam pada waktu solat isya. Wanita itu kemudian menahan genggaman tanganku dan bertanya, "Kamu mau kemana dan dari mana?" tanya si ibu dengan logat khas jawa sambil menengok barang bawaanku dan teman-teman di teras mesjid. Ide brilian itu muncul seketika, ide untuk meminta makan dan minum seadanya. "Kami mau ke Jakarta, Bu. Tapi bekal kami habis, bolehkah kami minta?" Tanpa basa-basi, aku bertanya pada poinnya. Bermula dengan menunjukkan name tag sebagai satu-satunya identitas pengenal untuk perjalanan ini, kami lalu berusaha menjelaskan tentang Youth Adventure yang kami lakukan. Meskipun, jujur sja, itu selalu menjadi bagian tersulit untuk dilakukan. Perjalanan ini memang di luar akal sehat. Beberapa kali kutangkap ibu itu memandangi Bang Soni. Benar saja, setelah kami jelaskan bahwa kami berbeda agama dengan Bang Soni, si ibu tak henti-hentinya menceramahi kami ini dan itu di perjalanan menuju rumahnya sambil membisiki telingaku dan mbak Tari secara bergantian. "Astaghfirullah hal'adzim....acara apaan itu?! Melepas gadis-gadis bersama yang bukan mahramnya,"ini....dan itu.....zionis....Yahudi....Israel....doktrin.......bla...bla...bla... . Makin lama makin jauh topik pembicaraan si ibu. Buru-buru, mbak Tari mengambil alih pembicaraan itu, mengambil tindakan hanya mendengarkan saja karena menurutnya orang tua di Jawa tidak boleh dibantah apalagi disela saat berbicara. Sedangkan aku berusaha mengambil alih perhatian Bang Soni, lalu mengajaknya mengobrol beberapa langkah di belakang agar suara si ibu tidak terdengar olehnya. Lagi-lagi, muncul perasaan bersalah di dalam benakku terhadap Bang Soni, mengenai sikap dan perilaku ibu itu. Terlebih saat kami sudah tiba di rumahnya, si ibu menujuk sesuatu di jendela rumahnya yang dipenuhi sticker. Dengan tersenyum mantap seolah hal itu menjadi penyelamat hidupnya selama ini. "Ini, lambang kesejahteraan," Kami hanya mengangguk, lagi-lagi sambil takut- takut memperhatikan wajah Bang Soni yang datar. "Ayo silakan diminum....." Si ibu mengeluarkan aqua gelas dari kardusnya untuk kami. Air kemasan gelas dengan label sebuah partai sama seperti yang ditunjukkan di jendela tadi. Mbak Tari membuang nafas berat, lalu berkata pada Bang Soni. "Mohon maaf ya, Bang." Luar biasanya, Bang Soni hanya menjawab dengan santai seperti biasa, "Santai saja. Aku orangnya santai," Entah karena sudah terbiasa diperlakukan sebagai minoritas di negara berpenduduk muslim terbanyak atau karena terpaksa sedang dalam perjalanan bersama kami Bang Soni bersikap sesantai dan sebiasa itu. Sambil terus menahan rasa sungkan terhadap Bang Soni, kami menyantap seluruh hidangan yang diberikan si ibu. Luar biasa, mulai dari kue, wafer, cokelat, teh manis hangat, bahkan nasi beserta mie. Suami dari bapak itu tersenyum-senyum menyaksikan kami makan seperti orang kelaparan. Memang kelaparan, sih.. Lalu kami diberikan uang saku ketika hendak pamit. "Kalian bertiga hati-hati di jalan. Kapan-kapan mampir lagi kesini," Kebaikan si ibu dan suaminya membuat hatiku luluh. Rasa bersalah dan menyesal meminta bantuan si ibu tadi jadi lenyap seketika. Si ibu terlihat tulus dan memberikan perhatian yang sama pada Bang Soni, seolah mulai paham bahwa Bang Soni adalah kristen yang baik dan orang batak berhati lembut. Di sisi lain, Bang Soni masih berwajah biasa saja. Entah apa yang ada di pikiran dan perasaannya saat itu. Yang jelas, harapanku adalah, semoga ia tahu, agama kami adalah agama yang baik dan toleransi, terlepas dari terorisme dan huru-hara fanatisme yang menyebalkan itu. Di akhir perjalanan, aku mulai paham maksud dan tujuan dari perjalanan ini. Maksud dan Tujuan dari disekelompokkannya aku, mbak tari, dan Bang Soni. Perbedaan itu indah, indah jika kita bisa menerimanya. Perjalanan ini adalah perjalanan ziarah pengemis dan penderma. Namun bagiku sekaligus menjadi perjalanan religius. Bonus yang menyenangkan. "Isn't it enough to see that a garden is beautiful without having to believe that there are fairies at the bottom of it too?" - Douglas Adam, The Hitchhiker's Guide to the Galaxy Fatin Dinni Inayah Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 Participant of GMB Homestay Program 2014 Berikut saya share pengalaman selama mengikuti GMB, semoga tulisan sederhana ini bermanfaat :-)
“Hidup mengajari kita untuk saling berbagi dalam kebaikan karena itulah makna kehidupan yang hakiki.” "Hidup untuk diri sendiri itu mudah, namun hidup untuk menghidupi orang lain itu ternyata lebih sulit." Menjadi bagian dari 47 pemuka pemuda terpilih se-Indonesia adalah nikmat terindah bagi saya. Saya bersyukur kepada Allah Ta’ala karena telah diberi kesempatan untuk mengikuti Youth Adventure and Youth Leaders Forum (YA & YLF) 2014 selama 9 hari bersama orang-orang inspiratif yang telah mengubah hidup saya. Pengalaman berharga itu kini menjadi motivasi saya untuk lebih bermanfaat bagi orang lain kapan pun dan di mana pun. Bulan Oktober 2013 menjadi awal langkah saya untuk mengikuti YA & YLF 2014 yang diadakan oleh Gerakan Mari Berbagi. Awalnya, saya ingin mengikutinya karena pembicara-pembicaranya hebat, seperti Najwa Shihab, Mohamad Al Arief, Eko Prasodjo, dan orang-orang penting yang akan menjadi inspiring leaders. Ternyata, ada tulisan berwarna orange yaitu “Homestay Australia & New Zealand”. Siapa juga yang tidak akan apply kegiatan ini ? Hanya orang dengan kemampuan di atas rata-rata yang mau mendaftar dan terpilih menjadi peserta. Akhirnya, saya melengkapi berkas pendaftaran dan mengirimkan aplikasinya sebelum 15 Oktober 2013. Saya berharap sekali bisa lolos sampai final dan bertemu dengan para pemuda terpilih se-Indonesia. Ini bukan kali pertamanya saya mengikuti forum kepemimpinan, summit, konferensi, karya tulis, atau sejenisnya. Pengalaman kegiatan sebelumnya saya jadikan bekal untuk menjawab pertanyaan dalam formulir pendaftaran. Setelah mengirim berkas, saya memanjatkan doa agar Allah memberikan jalan terbaik bagi kami para calon peserta. Alhamdulillah, saya dinyatakan lolos seleksi berkas. Rasa syukur hari itu membuat pikiran saya kembali fresh dan sejenak mengalihkan perhatian dari tugas kuliah maupun organisasi. Saya ingin fokus untuk bisa lolos sampai tahap akhir program GMB ini. Sekitar 170 peserta lolos ke tahap wawancara dan lebih dari separuhnya mengonfirmasi datang ke Kemenpora Jakarta untuk wawancara. Saya melakukan wawancara ke Jakarta bersama Kholisa (rekan UNY) dan Yose. Hari itu kami bertemu dengan para pemuda hebat, para aktivis sosial, aktivis pendidikan dengan berbagai projectnya masing-masing. Mereka semua orang-orang hebat yang menginspirasi saya. Hal unik yang saya temukan adalah semua panitia dan peserta menanggung sendiri kebutuhan mereka. Inilah makna ‘life beyond yourself’ menurut saya. Setelah seharian wawancara dan tes fisik, kami berpisah untuk sementara dan menanti pengumuman selanjutnya. Perjalanan di GMB mengajarkan saya untuk bersabar. Setelah sekian lama menunggu pengumuman, akhirnya diumumkan 70 pemuda terpilih yang maju ke tahap pengajuan proposal pengabdian. Allah memberikan jalan terbaik, saya lolos ke tahap selanjutnya. Mulai saat itu, saya berniat untuk mewujudkan mimpi mendirikan perpustakaan dusun Ngemplak, di tempat tinggal saya. Sudah sejak kecil saya menginginkan hadirnya perpustakaan dusun. Alhamdulillah, saya bertekad bulat untuk mengangkat program “GMB-Indonesia Berbagi : 1000 Buku untuk Perpustakaan Dusun Ngemplak” dengan harapan besar saya bisa bermanfaat bagi masyarakat dan mampu mengerahkan potensi pemuda untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Ngemplak, dimulai dengan budaya membaca. Saya pun mengirim proposal tersebut dan Alhamdulillah puji syukur kepada Allah, saya diberi kesempatan untuk menjadi 55 pemuka pemuda terpilih di YA & YLF 2014. Kami pun terhubung secara cepat melalui facebook, sms, twitter, maupun media lainnya sehingga hanya memerlukan waktu yang singkat untuk saling mengenal. Tiba saatnya, tanggal 1 Februari 2014 kami bertemu di Yogyakarta. Saya sebagai tuan rumah menyambut hangat kedatangan keluarga GMB setelah sebelumnya saya sempat berkeliling ke Gunung Kidul bersama mas Andi, mas Suprayitno, mbak Dian, dan mbak Fatin. Hari Sabtu siang kami bertemu di Anak Wayang Indonesia dan lamgsung mendapat tantangan pertama untuk belanja dengan uang 70.000 dari panitia dalam waktu 10 menit. Selanjutnya bahan masakan itu kami masak pada malam hari ketika di bumi perkemahan Sumber Boyong. Ketepatan waktu, kecerdasan mengatur strategi, dan kerja sama tim menjadi kunci utama dalam menjawab tantangan pertama ini. Selanjutnya, kami menuju bumi perkemahan untuk bermalam sampai hari Minggu sore. Kami pun mulai saling menyapa, dari yang dahulunya malu-malu akhirnya mulai menampakkan keasliannya, seperti mas Yaumil yang luar biasa itu. Kebetulan kami mempunyai project yang mirip, yaitu pengadaan buku perpustakaan. Saya banyak belajar dari beliau saat itu. Perjalanan hidup penuh makna mengawali langkah Youth Adventure. Prinsip hidup untuk saling berbagi, saling mengasihi, dan saling memotivasi saya tanamkan dalam hati terdalam untuk memulai langkah mulia ini. Saya fokus untuk mengikuti kegiatan ini karena hanya manusia di atas rata-rata lah yang bisa berdiri bersama para volunteers yang sebagian besar merupakan alumni Pertukaran Pemuda Antar Negara ini. Minggu sore, saya satu tim bersama Windiyani dan Murni. Mereka orang baru bagi saya. Kami memperoleh daerah untuk ziarah diri ke Magelang dan Banjarnegara. Di Magelang, kami menjadi seorang peminta atau pengemis sedangkan di Banjarnegara kami menjadi seorang pemberi atau penderma. Uang 300.000 dan 12 potong baju menjadi bekal material dan sebuah komitmen untuk menjaga integritas menjadi modal paling penting untuk hari-hari kami selanjutnya. Dengan modal itu, kami harus mampu bertahan selama 3 hari 2 malam sampai Jakarta, dan tidak diperbolehkan merogoh uang pribadi. Ya, kami berkomitmen untuk saling memahami dan menjaga hati karena itulah hakikat hidup dalam keberagaman. Ketika di Magelang, saya bertemu dengan sosok Bu Iyah yang sangat dermawan. Beliau adalah seorang penjual nasi di terminal yang menyediakan penginapan, makanan, dan kebutuhan kami di Magelang. Ternyata berbagi itu tidak mengenal usia dan kedudukan karena berbagi itu merupakan panggilan hati nurani dan kesadaran. Kami pun belajar hakikat tangan di bawah saat itu, berat rasanya meminta karena rasa malu yang mendalam. Ketika bertemu dengan lurah Tegalrejo, kami menerima banyak nasihat jika kelak menjadi pemimpin maka jadilah pemimpin yang amanah, banyak memberi, dan tentunya jujur kepada rakyat. Sungguh nasihat mulia dan tulus dari para dermawan yang kami jumpai. Ketika di Banjarnegara kami ditolong oleh para polisi. Bahkan sebelum kami meminta bantuan, beliau langsung membelikan kami nasi goring hangat malam itu. Ternyata di balik ketegasan polisi, masih ada juga sisi kebaikan yang timbul dari hati nurani. Kami pun berbagi di Banjarnegara kepada orang-orang yang kami jumpai, termasuk membagikan kisah perjalanan dalam seleksi GMB ini. Hidup penuh makna jika dihiasi dengan sifat rendah hati dan saling berbagi. Ketika di asrama Cibubur, hati saya mengecil. Ibarat seorang bayi yang bertemu orang-orang dewasa. Saya bertemu dengan para inspiring leaders, 47 pemuka pemuda terbaik, dan volunteers yang sangat menginspirasi. Mereka adalah orang-orang hebat yang saya jumpai. Para inspiring leaders seperti Basuki Tjahaja Purnama (Wakil Gubernur DKI Jakarta), Irjen-Pol (Purn) Basyir Barmawi, Prof. Dr. Eko Prasodjo (Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), Imam Gunawan (Kemenpora), Greg Moriarty (Duta Besar Australia untuk Indonesia), Mohamad Al Arief (Presiden Global Indonesian Diaspora Network), Michael Bracher (Team Leader Australian Awards), Richard Cronin (host family dari Australia), Yuniyanti Chuzaifah (Ketua Komnas Perempuan), Bernardus Djonoputro (Ketua Ikatan Ahli Perencanaan), dan lain sebagainya menjadi inspirator baru bagi saya. Para inspiring leaders ini datang dengan sukarela untuk menginspirasi peserta sesuai latar belakangnya masing-masing. Di YA & YLF ini pun saya membawakan sosok inspiratif yang menjadi My Hero. Beliau adalah Kang Ridwansyah Yusuf Achmad, seorang pemimpin muda yang lahir dari kampus ITB dan menamatkan studi master di Belanda. Rekam jejak kepemimpinan beliau ketika menjadi presiden KM ITB, Ketua GAMAIS, dan Sekjend PPI Belanda serta tulisna-tulisan beliau lah yang menjadi motivasi untuk membuat Indonesia tersenyum. Selama YLF seluruh peserta pun saling bercerita tentang sosok pahlawan hidupnya dengan harapan menjadi semangat untuk maju dan bergerak membenahi negeri ini. Di YA & YLF 2014 kami diajarkan hakikat menjadi seorang pemimpin yang berintegritas dan menjadi individu yang bermanfaat bagi lingkungan di sekitarnya. Saya pun terinspirasi dengan semua inspiring leaders yang hadir, salah satunya adalah mas Mohamad Al Arief, presiden Diaspora yang saat ini menjadi pejabat senior World Bank dan tinggal di Washington, USA. Meski bekerja di negeri orang, beliau tetap menjaga integritas dan nasionalismenya untuk Indonesia. Saya pun sempat meminta tanda tangan mas Arief sebagai motivasi untuk menjadi duta Indonesia kelak. Ketika berpamitan, beliau memberikan sebuah kartu nama dan saya pun menceritakan rencana kunjungan ke Chicago dalam rangka presentasi paper September depan. Beliau dengan baik hati menawarkan bantuan kepada saya. Malam harinya, saya mengirim email ke mas Arief dan esok hari langsung dibalas dan ditunggu kedatangannya di USA, barangkali bisa berkeliling Washington DC dan ambil gambar di depan gedung putih, aamiin. Berbagai materi dan suplai energy telah diberikan kepada kami. Tibalah saatnya untuk malam apresiasi seni di Mall of Indonesia. Di sana saya memainkan peran sebagai seorang penjual asongan bersama rekan saya Tarikem, kata teman-teman saya cocok berperan seperti orang jualan, apa memang iya ya ? Saya pun termotivasi saat sebelumnya mendapat apresiasi positif dari kak Agustina dan Bang Azwar setelah berduet dengan mbak Tari. Di malam apresiasi seni semuanya menjadi kesan manis, melihat aneka ragamnya pakaian daerah, lagu daerah, dan tarian daerah. Bahkan lebih special karena pak Ahok datang untuk menyemangati kami. Yang special lagi adalah penampilan tari Saman, hanya manusia di atas rata-ratalah yang bisa menari Saman setelah latihan 3 hari. Ada juga kolaborasi tarian daerah, lagu daerah, dan aksi bersama di atas panggung. Di akhir acara, semua tumpah ruah merasakan kegembiraan dan keharuan atas kerja keras demi cultural performance ini. Terimakasih ya Allah, semuanya berjalan dengan lancar dan kami bersyukur menjadi keluarga baru GMB. Banyak pelajaran yang kami dapatkan selama menjalani YA & YLF ini. Pelajaran tentang makna hidup untuk saling berbagi, pelajaran untuk menemukan jati diri, pelajaran untuk saling bertoleransi, pelajaran untuk saling menghargai, dan pelajaran hidup untuk saling mencintai segala karunia Allah. Akhirnya, kami kembali ke daerah masing-masing untuk melaksanakan program Gerakan Mari Berbagi, mengajak orang-orang di sekitar untuk berbuat baik dan menjaga integritas diri. Terimakasih Bang Azwar dkk, para volunteers, para inspiring leaders, dan tentunya peserta tercinta. Terimakasih Kemenpora yang sudah menyediakan asrama,konsumsi,dan kebutuhan peserta selama 9 hari. Thanks for Richard Cronin,kak Aya,Kaka Dede,Kak Sherly,Kak Muna,Bang Fachri,Kang Hambar,kang Safril,Kak Agus pastinya,dan semua pihak yang telah bekerja sama :) Sampai bertemu di tahap selanjutnya. Permintaan maaf untuk keluarga UKMF Penelitian Screen, Turun Tangan Jogja, FSAK SMA N 2 Yogyakarta, APYO, Ikatan Remaja Ngemplak, dll yang untuk sementara kemarin belum bisa saya bersamai. Salam inspirasi, GMB! “GMB yang tidak kulupakan, tempat kita berlatih bersama, menggembleng jiwa dan raga menjadi pemuka pemuda, menjadi pemuka pemuda.. Sabang Merauke wilayah Indonesia, tempat kita jumpa di latihan pemuda.. tak kan terlupakan pengalaman ini, menjadi pemuka pemuda…” Salam berbagi ! Janu Muhammad Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 Participant of GMB Homestay Program 2015 Hai Tugu Yogya...aku siap berjuang untuk berbagi...Dalam hati ditengah hiruk pikuk kendaraan. Baru saja aku dan ketiga teman dilepas dari kumpulan peserta lainnya. Tapakkan kaki pertama ini adalah awal, apakah aku siap menjadi seorang pemimpin ? Jawabannya adalah hari selasa di Ci Bubur, jika aku sampai dengan selamat, berarti siap menjadi seorang pemuka pemuda.
Selama dua hari dua malam hidup dari Yogyakarta menuju Ci Bubur, kisah yang menuntunku untuk mengenal lebih dalam menganai jati diri dan lingkungan sekitar. 1. Pandangan Pertama Tak Selalu Benar “Mba...ga ada tissue yah ?” Suara dengan nada sinis, menamparku. Segera aku turun dari kursi kereta dan ku bersihkan kotoran bekas jejak kaki yang belum sempat aku bersihkan. Sembari berkata “Maaf..maaf mba. Semenjak itu meskipun kita duduk berdekatan, tetapi kami berdiam. Tetapi Disela perjalanan menuju Yogya, aku dan devi mencoba membuat suasana ringan, mengajak mereka ngobrol dan bermain-main kartu. Angkringan tempat makan menambah suasana yogya yang khas. Aku tetap semangat menawarkan baju yang dikasih panitia untuk dijual. Disela itu, aku dipertemukan lagi dengan perempuan yang pada awalnya ku anggap judes dan sinis. Aku sapa dan mereka tersenyum dan bertanya kenapa aku bisa ada disini. Hingga akhirnya kami ngobrol-ngobrol ringan dan mereka mau membeli satu baju untuk donasi. Hemm..aku merasa bersalah telah menganggap kakak perempuan itu buruk, padahal hatinya sangat cantik. Memang...Pandangan pertama terhadap seseorang itu tak selalu benar. 2. Tidak ada kata Egois untuk Kebersamaan Hari mulai gelap, kami berjalan disepanjang jalan yogya, kakipun mulai bergetar terasa lelah. Ditambah hujan deras membasahi Mllioboro. Hemm..aku lihat ketiga teman mulai memasang wajah yang ga enak, ya...pusing, lelah, tak sanggup lagi terpancar dari pesan wajah mereka. Tapi jujur aku masih semangat ingin berjuang, masih ingin menelusuri jalan untuk merauk penghasilan yang lebih banyak. Tapi, keegoisanku itu hanya akan berdampak buruk kedepannya. Aku akan bersalah jika bersi keras ditengah teman-temanku merasa lelah. Hingga akhirnya aku mengerti sebuah makna untuk lebih merasakan apa yang diinginkan teman. Hal itupun juga agar tim bekerja tetap solid dan lebih erat kekeluargaannya. 3. Visi yang Besar harus diimbangi dengan Perjuangan Besar Pula Youth Adventure tak hanya sekedar tantangan kita berhasil melewati yogya dan berkumpul di Jakarta saja, tapi disamping itu kita juga harus bisa berjuang menerima apapun untuk didharmakan di Banyumas, yaitu tempat dimana aku dan ketiga teman memberikan semua yang telah diperjuangkan. Tekad kami yaitu memberikan sekuat tenaga apapun yang bisa kami lakukan. Aku senang berada ditengah tiga teman yang luar biasa. Semangat mereka sangat luar biasa. Kami ngamen sepanjang hari di perempatan lampu merah, berkeliling menjual baju, presentasi didepan orang yang tidak dikenal, meski malu tapi visi kami sangat luar biasa, ya perjuangannyapun harus lebih besar. Alhasil 600.000,00 rupiah berhasil kami dapatkan. Senang rasanya perjuangan untuk pendharmaan di Banyumas tidak sia-sia. 4. Mbah Sin Hanya Mengharap HONDA (Honor Dari Allah) Malam itu kami berniat untuk mencari tempat peristirahatan. Menemui Polisi, meminta izin untuk menitip barang dan sejenak berisitirahat. Tetapi maklum birokrasi yang selalu lambat, pada aakhirnya kita hanya diperbolehkan untuk tidur di masjid. Ya tidak apa-apalah, asalkan ada tempat untuk istirahat sejenak di malam hari. Adzan shubuh membangunkanku dari tidur. Dingin rasanya, maklum masjid terbuka, bangun tidur langsung melihat pemandangan luar yang redup-redup menuju cahaya pagi. Sejak itu aku bertemu Mbah Sin, penjaga masjid yang punya kisah inspiratif. Mbah Sin sebenarnya berasal dari keluarga kaya, anak-anaknya sudah sukses. Bekerja di Angkatan Udara dan Darat. Tetapi Mbah Sin lebih memilih untuk tinggal di masjid dengan alasan agar lebih dekat dengan Allah. Kemudian ketika kami pamit pulang, Mbah Sin memberikan uang untuk kami makan. Mulia sekali hati Mbah Sin. “Ya ga apa-apa, Mbah juga sering ditolong orang, ya namanya juga manusia harus saling tolong menolong”. Sungguh, kisah ini menuntunku untuk selalu berbuat baik pada sesama dan rendah hati. 5. Kebahagiaan Desa Sukaraja adalah Kekuatan untuk kami. Menapakkan kaki, menuju sebuah desa untuk mendharmakan segalanya yang telah kami perjuangkan. Bertemu dengan Ibu Subingah, kami disambut dengan hangat. Makanan dan minuman tersedia. Baik sekali keluarga ini. Kami menemui Bu RT untuk mengetahui apa yang dibutuhkan desa Sukaraja. Dan akhirnya kami memutuskan untuk memberikan sembako untuk keluarga yang kurang mampu, selain itu kamipun mensosialisasikan mengenai motivasi pendidikan dan kesehatan untuk warga desa. Pada akhirnya Kami melihat senyuman kebahagiaan warga Sukaraja. Kebahagiaan itu membuat kami semakin semangat berbagi dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Arumdari Nurgianti Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 |
|