"Inilah yang lama saya tidak dapatkan selama ini, suatu ungkapan bila dilakukan dalam keikhlasan akan menjadikan suatu irama seni yang tanpa tersengaja akan merasuk dalam jiwa kita pendengar dan merasakan keikhlasan. Suatu hal yang tak dapat diungkapakan serta sulit di terjemahkan dalam rangkaian kata-kata".
Saya bangun pagi lalu kebiasaan membersihkan apa yang terlihat kotor lalu kita siapkan sarapan roti lalu menuju kamar mandi.Ketika mandi atau malam sambil merencanakan apa yang akan kita lakukan hari ini, besok atau lusa serta untuk dituangkan dalam catatan. Sebelum kegiatan di mulai maps atau peta sangatlah sesuatu yang sangat penting untuk dilihat serta di bawa serta. Langkah dimulai setapak demi setapak saya dn teman mulai keluar rumah dari Gould street kemudian menuju Evaline Street dan satu persatu jalan kami lewati dengan berjalan kaki hingga menuju stasiun kereta api daerah Camsie. Perjalanan berhenti di satu pusat kota Sydney yaitu Town Hall, tujuannya adalah melihat pertunjukan organ di balai kota. Kami masuk kedalam balai kota yang cukup artistik serta cukup mempesona dan sambil mengantri saya melihat para lansia yang mayoritas memasuki ruang pertunjukan.Dalam hati saya adakah ini semacam pertunjukan seriosa ataukah lagu-lagu rohani karena dalam benak saya kalau pengunjung yang mayoritas lansia adalah semacam untuk persiapan menuju kepada kematian. Konser kemudian di mulai dengan memainkan piano, semua pintu di tutup dan semua perhatian menuju kepodium pertunjukan tanpa ada suara seikitpun serta tanpa ada yang lalu lalang berjalan di seputaran arena pertunjukan. Pianis memainkan tutsnya dengan semangat serta penuh penghayatan dan pada akhirnya tiga lagu instrumen diselesaikan dan tepuk riuh yang sangat teratur, ikhlas serta terpuji di berikan para penonton. Sungguh terpukau saya dengan pianis dan terutama tepukan tangan yang saya rasakan berirama penuh dengan ikhlasan, nyata dan nyata dapat dirasakan seninya. Inilah yang lama saya tidak dapatkan selama ini, suatu ungkapan bila dilakukan dalam keikhlasan akan menjadikan suatu irama seni yang tanpa tersengaja akan merasuk dalam jiwa kita pendengar dan merasakan keikhlasan. Suatu hal yang tak dapat diungkapakan serta sulit di terjemahkan dalam rangkaian kata-kata. Ini pelajaran pertama yang saya dapatkan ketika berada di hari-hari awal di Australia serta melihat pertunjukan piano. Kita tak pungkiri gerakan badan ataupun body language takkan dapat direkayasa, namun inilah yang telah terjadi di belahan dunia yang lain terutama negara sedang berkembang yang mana keceriaan sangat diluar kebiasaan, namun semua dalam kerangka tidak ikhlas. Kita dapat melihat pertunjukan bola, baik di TV maupun di stadion langsung, semua dalam kepalsuan serta spontanitas terencana yang tidak akan merasuk kedalam hati yang dalam ketika merasakan tepukannya. Kafrawi Staff FBA
0 Comments
"Prof. John menambahkan, sekalipun kemudian terwujud dalam proses jangka waktu yang lama tapi seluruh mandat dari MoU Helsinki dan UUPA harus diwujudkan dan pembentukan KKR Aceh adalah salah satu yang terpenting. Dalam pengalamannya di banyak negara pengabaian atas satu atau dua hal dalam perjanjian damai dapat menimbulkan masalah dikemudian hari".
Dari tujuh peserta terbaik Youth Leadership Camp 2012 yang mendapat kesempatan homestay di Australia., hanya saya sendiri yang berada di Canberra. Selama di Canberra saya melakukan banyak kegiatan dalam rangka peningkatan kapasitas, pengenalan budaya dan kesempatan berdialog bersama beberapa tokoh di Canberra. Salah satu tokoh yang saya jumpai adalah Prof. John Braithwaite yang merupakan guru besar dalam bidang ‘Peacebuilding Compared’ di Australian National University (ANU), Canberra. Prof. John memimpin banyak lembaga penelitian yang terkait dengan isu demokrasi, keadilan restoratif, hukum Internasional dan pembangunan perdamaian. Juga telah 40 tahun terlibat dalam aktifitas gerakan sosial-politik di Australia dan Internasional. Prof. John juga telah menerima banyak penghargaan akademik dan no-akademik, salah satunya penghargaan Future Justice Award 2012. Saya menjumpainya diruang kerjanya dikantor Regulatory Institutions Network (RegNet) gedung Coombs Extension ANU. Prof. John menyambut saya dengan ramah. Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan tentang program yang saya jalani selama di Canberra, kami kemudian berdiskusi dan saya bertanya mengenai beberapa hal. Ternyata Prof. John pernah terlibat di Aceh Monitoring Mission (AMM) dari tahun 2006 sampai 2007. Kenangannya di Aceh membuat kami kemudian banyak berdiskusi tentang Aceh. Prof. John menyampaikan bahwa proses pembangunan perdamaian di Aceh harus sesuai dengan kesepakatan perjanjian damai MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, disertai komitmen penuh dari para pihak yang terlibat dalam perdamaian untuk melaksanakan mandat serta hak dan kewajiban para pihak sebagaimana yang termuat dalam MoU Helsinki dan UUPA. Mengenai peluang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh Prof. John berkomentar, “never too late to Truth and Reconciliation Commission in Aceh” (tidak pernah ada kata terlambat untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh). Menurutnya yang mendasar dari proses pembangunan perdamaian jangka panjang, subtansial dan memberikan keadilan bagi para korban adalah melalui jalan pengungkapan kebenaran melalui lembaga KKR dan itu merupakan mandat dari MoU Helsinki dan UUPA. Prof. John menambahkan, sekalipun kemudian terwujud dalam proses jangka waktu yang lama tapi seluruh mandat dari MoU Helsinki dan UUPA harus diwujudkan dan pembentukan KKR Aceh adalah salah satu yang terpenting. Dalam pengalamannya di banyak negara pengabaian atas satu atau dua hal dalam perjanjian damai dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. Mengenai proses pembentukan KKR Aceh yang subtansial Prof. John berpendapat bahwa peluang itu ada ditangan Komnas HAM yang harus dijadikan tempat sandaran dan didorong untuk terus pro aktif mendorong agar KKR dapat terwujud. Komnas HAM yang merupakan lembaga negara memiliki peluang lebih besar untuk bertemu ekskutif dan legislatif dalam membahas persoalan KKR. Dalam pengalamannya selama bekerja di AMM, salah satu yang berkesan menurutnya mengenai para aktivis HAM dan pro-demokrasi yang ada di Aceh. Ia menyebut aktivis HAM dan demokrasi di Aceh memiliki “long term struggle”, komitmen, keberanian dan daya tahan kuat untuk terus berjuang. Ini membuatnya berkeyakinan bahwa perdaiaman di Aceh akan terwujud sesuai harapan. Di penutup diskusi Prof. John mengingatkan saya bahwa peluang terwujudnya KKR di Aceh dalam waktu dekat terkait sekali oleh Presiden Indonesia dimasa mendatang. Apabila Presiden Indonesia yang terpilih kedepan tidak memiliki komitmen untuk menuntaskan mandat MoU Helsinki dan UUPA secara subtansial dan menyeluruh tentu peluangnya akan mengecil. Ketika saya bertanya prediksinya untuk Presiden Indonesia kedepan, Prof. John berpendapat dominasi calon Presiden dari militer masih kuat dan itu tidak baik dari sisi Aceh. Saya Diterima Karena Dari Aceh Selesai diskusi saya mendapat hadiah 3 buku dari Prof. John, salah satunya adalah karya nya sendiri berjudul Anomie and Violence; Non-Truth and Reconciliation in Indonesia Peacebuilding, sebuah penelitian tentang konflik yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, yaitu Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan dan Aceh. Sebuah refensi yang berharga sekali menurut saya dan diperoleh langsung dari si penulis. Dalam perjalanan pulang saya bertemu Dr Jerry Schwab. Jerry merupakan orang tua angkat saya selama di Canberra dan saya tinggal dirumahnya selama tiga minggu. Jerry juga peneliti di ANU pada Centre for Aboriginal Economy Policy Research, pusat penelitian untuk kebijakan ekonomi bagi masyarakat Aborigin. Jerry juga yang menghubungi dan menyusun pertemuan saya dengan berbagai tokoh termasuk Prof. John. Jerry menanyakan bagaimana hasil pertemuan saya dengan Prof. John. Saya ceritakan padanya termasuk buku yang diberikan untuk saya. Kemudian Jerry mengatakan bahwa ternyata Prof. John sosok yang dikenal sangat berintegritas dan sangat dihormati di ANU dengan jadwal padat dan sangat sulit dijumpai. Akhrinya Jerry membuka rahasianya pada saya bahwa Prof. John bersedia bertemu saya bukan karena program homestay dan sebagainya, tapi karena saya dari Aceh. Sungguh berkesan sekali, dan saya harus makin bersyukur terlahir sebagai orang Aceh. Fauzan Febriansyah Peserta Youth Leadership Camp (YLC) 2012 "Ini adalah nama dari kebun bintang tersebut, dan saya tidak sendirian karna di temani salah satu kawan saya, sekaliagus sebagai ketua kontingen “Kafrawi” dan juga bersama bersama salah satu hostfam “Richard. Walaupun hujan, tapi saya tetap semangat kesana, tidak sabar lagi rasanya melihat dan menyentuh hewan yang menjadi simbul negara Australia".
Berbicara leadership tak akan ada akhirnya, hidup ini tidak pernah lepas dari leadership. Saya dan 6 rekan lainya di Australia sekarang juga karna leadership. Tak mau saya sia-siakan kesempatan besar ini bersama teman-teman lainnya, setiap hari, jam dan detik saya harap semuanya ada makna selama berada di negeri Kangguru ini. Sept 16th 2012, sudah separuh perjalanan saya selama berada di Australia dan ini adalah pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke kebun binatang “Featherdale Wildlife Park”. Ini adalah nama dari kebun bintang tersebut, dan saya tidak sendirian karna di temani salah satu kawan saya, sekaliagus sebagai ketua kontingen “Kafrawi” dan juga bersama bersama salah satu hostfam “Richard. Walaupun hujan, tapi saya tetap semangat kesana, tidak sabar lagu rasanya melihat dan menyentuh hewan yang menjadi simbul negara Australia. Berbagai macam binatang ada disana, tidak lepas dari binatang melata yang sama sekali tidak berani saya dekati. Giliran kami sampai di Reptilian Pavilion, saya tidak masuk kedalam. Richard dan kafrawi yang masuk duluan, rupanya mereka tau kalau saya takut terhadap reptile. Mereka meminta saya untuk masuk, dan saya tetap dengan prinsip saya untuk tidak masuk. Dan saya berbalik arah ke Tasmanian devil yang letaknya berdampingan dengan Reptilian Pavilion. Awalnya mereka membiarkan saya tetap dengan prinsip saya yang tidak mau masuk. Beberap saa kemudian Richard keluar dan menuju ke arah saya, kemudian dia bertanya. Richard : What do you afraid of? Me : I don’t know, I am afraid of reptile since I was child, I am sorry because I didn’t join you in Reptilian Pavilion. Richard : It’s fine. But, Safril, you’re a leader. So what would you do if you have a problem but you’re afraid to face it? So, would you disclaim it? Me : Sorry Richard Richard : All right, now choose! Failure or achievement Me : Achievement! Sebenarnya, kata “Disclaim” inilah yang membuat saya semakin bingung dengan perasaan saya. Then I’m asking myself, “kenapa harus takut dan bagaimana jika saya coba masuk kedalam. Sampai di dalam, everything is ok dan sangat nyaman bersama reptile yang ada disana. Terkadang segala sesuatu yang kita fikirkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi, ketika kita dihadapkan dengan masalah, jangan pernah meminta Tuhan untuk menjauhkan kita dari masalah, tapi mintalah agar kita di beri kekuatan untuk menghadapi masalah tersebut. Dan akan lebih indah apabila kita mau menyadari dan menyikapi bahwa semua cobaan yang kita hadapi adalah proses pembelajaran dimana kita akan menjadi manusia yang lebih baik. Safril Bentara Peserta Youth Leadership Camp (YLC) 2012 "Pelajaran di hari pertama, saya harusnya menyimak dengan baik apa yang dikatakan dan bertanya kembali ketika tidak mengerti".
Saya tiba di Sydney tanggal 3 November, dijemput oleh orang tua angkat di Bandara. Namun, berhubung masih ada beberapa teman yang tiba menyusul maka orang tua angkat saya yang bernama Jessica memutuskan menunggu yang lainnya. Sementara saya dan kawan saya Husnul pulang ke rumah Jessica diantar oleh ibunya Jessica, namanya Maree. Setiba di rumah, Husnul langsung minta izin tidur. Berhubung ia tidak bisa tidur di pesawat selama perjalanan jadinya ia terlihat begitu lelah. Sementara saya memutuskan untuk mandi dan sebelum saya mandi, Maree menjelaskan kepada saya bahwa pintu kamar shower rusak. Maree menjelaskan dalam bahasa Inggris bagaimana seharusnya saya menggunakan pintu tersebut. Saya pun mandi dengan cerianya. Setelah mandi bersiap keluar dari ruang shower namun malah tidak bisa membuka pintu. Malu rasanya jadi teringat Maree sudah menjelaskan dengan fasih dalam bahasa Inggris khas Australianya. Namun, saya malah tidak mengerti apa yang ia jelaskan. Akhirnya saya terkurung dalam ruangan shower itu. Setengah jam bergulat dengan pintu shower yang tidak bisa di buka lagi. Kebingungan tidak tahu harus melakukan apa, karena saya malu kalau harus teriak dengan suara yang besar dan memanggil Maree. Sementara Husnul sedang tertidur pulas. Seandainya saya memanggil mereka sekalipun, mereka tidak akan bisa bantu karena saya mengunci pintu kamar mandi dari dalam. Tanpa membuang waktu lebih lama, saya menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkan badan saya pelan-pelan melewati pintu shower yang hanya bisa terbuka sedikit. Sementara badan saya cukup besar harus melewati pintu yang berdecik kuat karena tertekan tubuh raksasa. Beberapa menit kemudian saya berhasil keluar dengan nafas yang tersenggal-senggal. Pelajaran di hari pertama, saya harusnya menyimak dengan baik apa yang dikatakan dan bertanya kembali ketika tidak mengerti. Entah bagaimana saya lupa bahwa budaya di Australia orang tidak mengunci pintu kamar mandi. Karena pintu tertutup berarti ada orang dan sebaliknya pintu terbuka berarti tidak ada orang. Hari ketiga, kami hanya tinggal bertiga di rumah, karena Jessica harus kerja. Saya, Husnul dan Muna harus menyiapkan breakfast kami sendiri. Semua kebingungan, karena ternyata di dapur serba menggunakan mesin. Praktek demi praktek dimulai, setelah semua bahan disiapkan untuk masak malah kami tidak tau cara menyalakan kompor gasnya. Semua yang kami tekan malah mesin lain yang berfungsi. Mau menghidupkan kompor gas tapi malah oven yang nyala. Stress berusaha sampai tiba-tiba mata kami tertuju pada korek api. Ternyata kompor gas dinyalakan dengan menggunakan korek api. Oh my God, akhirnya bisa juga. Dapur berserak dimana-mana karena ternyata tidak ada satupun diantara kami yang pintar masak. Kami hanya mencoba apa saja yang bisa dimasak dan mencampur segala bumbu yang kami sendiri tidak tahu apa fungsinya. Gadis-gadis aneh ini akhirnya menyelesaikan sebuah hidangan yang aneh rasanya. Tidak ada pilihan selain memakan apa yang sudah dimasak. Pelajaran bertambah, setiap dari kami akhirnya belajar masak dengan baik dan mencari di internet juga. Hari-hari berlalu, ada saja kesalahan yang kami lakukan karena tidak mengerti budaya dan komunikasi. Hari itu, kami buru-buru karena jadwal Ferry sudah hampir tiba. Kalau kami ketinggalan Ferry maka kami harus menunggu satu jam lamanya untuk kedatangan Ferry berikutnya. Sementara Ferry adalah transportasi yang sering kami gunakan menuju kota. Sambil menuju ke tempat perhentian Ferry kami membawa sampah untuk dibuang ke tempatnya. Sesampai disana, kami malah tidak bisa membuka pintu untuk masuk ke tempat pembuangan sampah tersebut. Akhirnya sambil lari terbirit-birit sampah itu kami bawa pulang kembali dan harus segera balik ke Warf Chiswick supaya tidak ketinggalan ferry. Kesalahan selanjutnya, kami menduduki tempat yang salah di Ferry yaitu di tempat yang khusus untuk para orang tua dan orang difable. Malu rasanya ketika membaca tulisan di dinding Ferry bahwa tempat itu hanya untuk orang khusus, dengan perasaan malu kami melangkah menuju kursi belakang. Pada saat menyeberang jalan, kami tidak tau menekan tombol traffic light. Sehingga kami duduk bodoh di pinggir jalan menunggu kendaraan tidak berhenti-henti sampai akhirnya seseorang datang dan menekan tombol tersebut. Semua kesalahan yang kami lakukan justru menjadi sebuah keindahan untuk belajar bagaimana harusnya bersikap dan memahami budaya orang juga harus berani bertanya ketika tidak mengerti untuk mengurangi tingkat kesalahan yang dilakukan. Sampai akhirnya kami jadi mengerti semua itu. Agustina Alumni YLC & Peserta Homestay to Australia "The most interesting thing is they have a small class where the kids with disability such as dyslexia* to study. But in this class they only have 2 or 3 students for every meeting. Because the teacher teach children intensively who has learning disorder".
This is the story about a school that called River School, a semi-formal school for the kids before they go to high school. So, at 10 am my host family took me to meet with Lisa, she has been a teacher of that school more than 15 years. She was very nice and friendlyThis school has attracted me a lot. The first impression that I got is a peaceful. Yeah. This school located in the middle of the hill and they have a river that cross beside their school. When I leave a car the warm wind blow my scarf, it was very hot outside but I could see the children from many different of ages playing and running happily in front of their class. While we were walking around suddenly I saw an empty small hall, there is nothing inside the hall except some of pillows, I just wonder what this hall for and I asked Lisa about that. She told me that was a meditation hall where the children do their meditation every day. I was shocking at the moment, because I never found the school like this before, so Lisa told is this school is like a spiritual school where the children taught about the balances and how they make some connection with the nature. The most interesting thing is they have a small class where the kids with disability such as dyslexia* to study. But in this class they only have 2 or 3 students for every meeting. Because the teacher teach children intensively who has learning disorder. While I was speaking to Lisa, we met with one of the teachers of that school and as usual, Lisa introduced me to this woman. Suddenly and randomly she asks me with very strange question that I can’t imagine if I was to be asked to this question. “do you a moslem?” said the woman. “ yeah, I am” I answered confidently. Oh my goodness, lucky me, can you please help me to teach these children how to pray in Islam religion ?. She said to me hopefully. “ Are you sure?” She asks me once more to confirm me if she’s not kidding me. Yeah I am totally serious, can you please help me? Confidently I said that “yeah of course, with my pleasure”. So she took me to her class and introduced me to her students. When I came into the class some of kids look very exciting. They are curious about what will I do in their class. I introduced myself as a Muslim who will teach them how to pray in Islam. Suddenly, a beautiful little girl (I forget her name) asks me to tell them a word when we pray. Then I said that in Islam when we do praying, we always say “Allahuakbar” when we begin the prayer and we put our hand beside our ears. I know that movement, I know that, said the kids while they practicing the movement. I was very surprised at that time, how could this little kid know about the Islam very well, however no one of them were a Muslim. I asked Lisa about that, and she said, in this school we learn about all the religions like Buddha, Hindu, Judaism, Islam and Christian. The kids were taught how to respect, to appreciate and to tolerate with the differences and they knew that all the religion taught us about the peaceful and become the good man. After I taught them how to pray in Islam, I said to them if I have a lot fun and thank you for welcoming me in this class. Actually, I want to be a little bit longer in this school, staying with these wonderful students and have some discussions with the teacher here. But, unfortunately I have to get back because I have another agenda to do. It was very hard to say good bye to them. But, I have to say that word. Suddenly a little young girl running to me and hug me very tightly. She said that if she was very happy to meet me and wish someday they will meet me again. I just cann’t say another word at that time, it was very touching for me and suddenly I could how feel my eyes getting warm. Munadhilla Participant of Youth Leadership Camp (YLC) 2012 "Saya menjelaskan begitulah karakter anak-anak Aceh dibentuk. Semangat membela bangsa, siap menjadi martir, dan kerelaan ibunda kehilangan anaknya dalam perjuangan disampaikan lewat lagu pengantar tidur".
Tiap malam Mischa selalu membacakan dongeng atau cerita superhero sebelum tidur kepada adiknya Luka dan Charli. Mischa berusia 15 tahun pelajar di Melrose High School, Luka masih 6 tahun bersekolah di Farrer Primary School, dan Charli 3 tahun preschool di ANU. Menarik sekali dan itu dilakukan tiap malam. Membaca dongeng selepas makan malam menjadi agenda wajibnya Mischa, kecuali kalau sedang ada kegiatan diluar rumah baru digantikan oleh Jerry atau Stacey. Suatu malam Jerry menanyakan apakah di Aceh sebelum tidur anak-anak dibacakan cerita seperti itu? Saya menjawab iya, itu berdasarkan pengalaman saya sewaktu kecil dulu. Tapi saya benar-benar lupa seperti apa ceritanya. Yang saya ingat nenek saya menyanyikan shalawat dan beberapa lagu sebelum tidur. Saya jelaskan apa itu shalawat dan seperti apa lagu sebelum tidur di Aceh. Jerry sangat tertarik untuk mengetahui lagu nya. Saya pun berjanji akan memperlihatkan ke Jerry besok malam. Malam esoknya setelah makan malam saya mengajak Jerry dan Stacey ke kamar saya untuk melihat beberapa foto aktifitas saya dan foto keluarga di Aceh lewat facebook, juga memperdengarkan ke mereka lagu ‘Do Da Idi’, lagu pengantar tidur untuk anak-anak di Aceh lewat youtube. Saya meminta Jerry dan Stacey mendengar lagunya sampai habis, baru kemudian saya menerjemahkan lirik lagunya ke bahasa Inggris. Setengah lagu diputar, lantunan musik dan visualisasi lagu itu membuat mata Stacey mulai berkaca-kaca. Setelah lagu nya selesai, saya mulai menjelaskan tiap kalimat di lirik lagu tersebut. Ada satu bait di lagu itu yang membuat Jerry dan Stacey begitu tergugah, Beurinjang rayeuk muda seudang Tajak bantu prang tabela nanggroe Wahèe aneuk bek taduek lee Beudoh saree tabela bangsa Bek ta takot keudarah ilèe Adak pih matee poma ka rela Saya menjelaskan begitulah karakter anak-anak Aceh dibentuk. Semangat membela bangsa, siap menjadi martir, dan kerelaan ibunda kehilangan anaknya dalam perjuangan disampaikan lewat lagu pengantar tidur. Mereka sulit membayangkan. Barangkali tak banyak lagi anak-anak Aceh yang dilantunkan lagu ini jelang tidur, tapi begitulah lantunan jelang tidur yang dimiliki Aceh. Jerry dan Stacey begitu terkagum. Terutama Jerry, profesinya sebagai Antroplog membuatnya makin penasaran bagaimana karakter dan budaya masyarakat Aceh. Jerry pun meminta saya untuk mengirimkan berbagai link referensi mengenai apapun yang menarik terkait Aceh ke emailnya. Akhirnya, tiap saat saya punya waktu ngobrol dengan Jerry, pertanyaan mengenai Aceh pasti saja muncul. Alasan utama karena Jerry dan keluarga pernah ke Aceh, punya beberapa souvenir Aceh dan mereka belum merasa puas. Jadilah saya ditanya apapun tentang Aceh. Tentang bagaimana orang Aceh menikah, kapan pedagang Arab sampai ke Aceh, aktifitas apa saja yang orang Aceh lakukan di hari minggu, folkloremengenai pelangi di Aceh, cerita tentang tsunami tentu saja sampai sebaran dan jumlah populasi gajah, buaya, harimau dan orangutan di Aceh. Menarik sekali. Saya dan Jerry menjadi setara dihadapan dua kutub kebudayaan masing-masing, dan kita saling belajar. M. Fauzan Febriansyah Peserta terbaik Youth Leadership Camp 2012 Sedang mengikuti program homestay di Australia "You came so that you could learn about your dreams," said the old woman. "And dreams are the language of God. When he speaks in our language, I can interpret what he has said. But if he speaks in the language of the soul, it is only you who can understand." (Paulo Coelho)
When I was in Australia, I saw a strange view that I never seen before in Indonesia. There are a lot of old people who walked alone in the town. They do anything by themselves without any young people helped them. At that moment, I was wonder, why these old people walk alone, don’t they have somebody to take care of, like what happen in Indonesia where the old people will be taken care by their family members. I asked my host family about what actually happen to that old people. Then, they said that, in Australia all of us will choose to live alone than live with their family. Until at that afternoon, I really remember when we were invited to have afternoon tea to our neighbor. Their names are Beth and John. My host family said if they were living alone there and sometimes my host family take care of them because they have been consider as their owns parents. My host parents tell me if John is a little bit deaf so that we have to speak louder with him and Beth has been suffering in Parkinson. When I arrived at Beth’s and John’s House, I was very surprised because Beth seems like can’t control her body, she was very shaking because she has gotten Parkinson that attack half of her brain and make her hard to control her body, but she was very smart and she still talk about a lot of things. Sometimes when she was trying to stop the shaking, suddenly, she couldn’t even move anymore. Yet, even thought she has disability, she still trying to walk to welcome us. After we were pleased to seat, we have a little bit conversation and Beth try to make us some of tea. Than my host family said that if does Beth need any help? Because we could see she was trying very hard walked to the kitchen. But, confidently, Beth said that if she needn’t any help, she can do it by herself. At that time, honestly, I just can’t believe of what I was seeing. It was very out of my logical thinking, how could a very old women (she is about more than 80 years old ) and suffer with the Parkinson can still have the willingness to live like a young and normal people. But, she does. It embraces me very much, because sometimes I have never been grateful of what I have, and what I can do is only complaining about what I can’t do and just give up easily. But, look at this wonderful woman; in her disability she still can face her life confidently and gratefully. I never meet with the people like this before. Amazingly, when they were young they had travelled a lot around this word. May be that what make them very independent and shape them as the people who can appreciate every second of their life. I really remember the word that Beth said if she has a power, she would like to make people realize if they need to travel to see the world. Yeah, traveling is the best thing that you can do when you have a chance to live in this world. Because the more you travel the more you can appreciate yourself and the others and when you getting old you have a lot of stories to told to young people which is mean you have a reason why you should live in this word by benefiting the other’s life. Munadhillah Participant of Youth Leaderhship Cam (YLC) 2012 "Saat para jamaah laki-laki mulai berdatangan, Azan dikumandangkan oleh pak Lie, tanpa bisasaya bending, air mata langsung mengalir dengan sendirinya, meski sudah begitu kuat saya tahan agar tidak dilihat oleh Mumma Tess yang sedari tadi telah di persilahkan duduk di kursi, di dekat pintu masuk. Kan malu kalau sempat dilihat, dikira “kenapa pula nangis-nangis tanpa sebab”.
Sebagai seorang muslim, hal yang paling saya dirindukan saat berada di luar negeri yang tidak bermayoritas muslim adalah suara azan dan shalat berjamaah. Itu jugayang dirasakan oleh salah satu teman saya dari Indonesia, Anis, yang sama-sama mengikuti program Hostfam Program Youth Leadership Camp (YLC) 2012 yang diadakan oleh Forum Bangun Aceh (FBA), dia ingin sekali melaksanakan shalat jum’at berjamaah selama berada di Coolum, Australia.Karenanya, kami mencoba mencari tau adakah tempat shalat jum’at berjamah di sekitaran Gympie, tempat saya tinggal ataupun di coolom, tempat Anis tinggal. Alhamdulillah kesempatan itu datang. Suatu hari, Tess Parker dan Bruce McNab, host Family tempat saya tinggal selama saya di Gympie, mengatakan kalau saya mendapat undangan untuk menghadiri acara pertemuan tahunan lembaga Multicultural Information Network Inc (MiNS) dari seorang wanita bernafa Syifa, yang ternyata adalah seorang muslim, dan begitu ia tau kalau pemudi Indonesia yang tinggal bersama Tess Parker selama 3 minggu adalah muslim, dia sangat antusias, hingga mengundang saya ke acara Afternoon Tea bersama komunitas muslim yang ada di Gympie, yaitu akan berlangsung setelah mereka melaksanakan shalat jum’at. Sangking syukur dan senangnya, saya mengajak serta Anis untuk ikut bersama, karena dia sudah sejak dari beberapa minggu kemarin rindu ingin melaksanakan shalat jum’at. Saat kami tiba di tempat tujuan, saya syok, karena di halaman depan bangunan terduduk patung budha yang sudah agak berlumut. Begitu juga ketika memasuki pintu depan, gambar-gambar patung yang biasa saya lihat sebagai patung Tuhannya orang Hindu di Film-Film india terpampang di dinding dengan jelas, juga patung-patung kecil di atas meja depan pintu masuk. Sempat saya dan Anis bertatap kebingungan, apakah kami salah alamat?Tapi Mumma Tess (panggilan Tess parker) tampak begitu yakin kalau inilah tempatnya.Tiba-tiba seorang wanita keluar dengan senyuman merekah, jilbab ungu besar dan baju gamisnya menandakan kalau kami tidak berada pada tempat yang salah. Dia menyapa kami dengan salam, memberikan pelukan selamat datang, dan menatap kami penuh keramahan, hampir saja membuat air mata saya mengalir, karena telah terlampau rindu akan suasana seperti ini, Anis saja juga sudah hampir berkaca-kaca. Kemudian kami di bimbing ke dalam, ke sebuah ruangan besar mirip aula, dengan tikar-tikar memanjang, laksana di menasah kampong saya, sudah tergelar rapi, membentuk jajaran shaf shalat yang rapi juga.hanya saja tidak banyak, cuman tiga shaf. Satu shaf untuk imam, satu shaf makmum laki-laki, satu shaf makmumperempuan. Di dalam telah menunggu seorang laki-laki memakai baju kemeja putih, celana hitam, usianya kira-kira sekitar 60an lebih, yang kemudian dipekernalkan bernama Lie, seorang Libanis, suami Ibu Syifa. Di bagian belakang sudah ada 9 orang wanita, satu memakai mukena dan duduk di atas kursi, dan lainnya memakai gamis dan jilbab, serta bersila di atas karpet.Kami diperkenalkan satu persatu oleh Ibu Syifa. Ternyata wanita yang bermukena tersebut orang jawa yang sudah lama tinggal di singapura, dan sekarang sedang berlibur mengunjungi anaknya yang sudah lama tinggal di Australia, Yeti yang sempat menyapa kami dengan bahasa Indonesia patah-patah. Senang sekali rasanya. Saat para jamaah laki-laki mulai berdatangan, Azan dikumandangkan oleh pak Lie, tanpa bisasaya bending, air mata langsung mengalir dengan sendirinya, meski sudah begitu kuat saya tahan agar tidak dilihat oleh Mumma Tess yang sedari tadi telah di persilahkan duduk di kursi, di dekat pintu masuk.Kan malu kalau sempat dilihat, dikira “kenapa pula nangis-nangis tanpa sebab”. Setelah yakin tidak ada lagi air mata, saya memberanikandiri duduk di samping Mumma Tess. Saya takut dan merasa tidak enak kalauia merasa canggung berada di tengah orang-orang muslim. Itu yang terbenak dalam hati saya begitu tersadar kalau ia hanya mengenakan baju hitam tanpa lengan dan rok mini, ditambah lagi dengan rambut blonde keren dia, yang pendek dan panjang sebelah, sungguh kontras dengan keadaan shalat jum’at secara berjamaah saat ini. Karenanya ia duduk dengan merapatkan kedua kakinya dengan sopan. Saat saya mendekat, ia menyambut saya dengan senyum bahagia karena melihat saya begitu senang berada di tempat ini. Ia tidak tampak canggung sama sekali, ia begitu nyaman dengan penampilan dia, dan jugamalahan menatap kagum saat Pak Lie membacakan khotbah Jum’at dalam bahasa Arab dan English berlogat Lebanon. Saya kebingungan sekaligus terpesona tentang sikap dia dan cara dia merespon keinginan kami ke komunitas muslim ini. Lantas saya memalingkan wajah kembali ke arah para muslimah (berhubung sedang menstruasi, saya tidak bia ikut shalat berjamaah, hanya bisamengamatinya dengan lebih teliti, sambil menikmati kesyahduan yang telah lama saya rindukan). Mereka juga tidak Nampak canggung dengan kehadiran Mumma Tess di tengah-tengah mereka, yang merupakan non-muslim.Cara ibu Syifa menyambut kami datang, termasuk saat menyambut Mumma Tess yang mengenakan baju serba seksi, sungguh luar biasa, membuatku terkagum-kagum. Karena iatidak sama sekali menunjukkan adanya rasa perbedaan sedikit pun, seolah-olah kita semua, termasuk Mumma Tess, adalah anggota komunitas yang sama. Saat shalat Jum’at dilaksanakan, para wanita juga ikut melakasanakannya.Membuat saya agak kebingungan di awalnya, karena setau saya, di Aceh wanita tidak melaksanakan shalat Jum’at.Juga saya sempat kebingungan beberapa kali saat melihat tatacara shalat mereka, ada yang mengenakan selendang saja, hingga rambut poninya tampak.Ada yang melipat kaki, dan ada juga yang menyilangkannya saat sedang duduk. Ada yang memutar-mutarkan telunjuknya di duduk Tahyatul, namun ada yang mengangkat telunjuk saja lantas diam, bahkan ada juga yang tidak mengangkat telunjuk sama sekali. Yang jelas sekali tampak membingungkan saya adalah saat mereka I’tidal dan duduk di antara dua sujud, sungguh cepat durasinya, seolah tidak membaca doa apa-apa di sana, hingga Anis kewalahan mengikutinya. Jujur, saat melihat mereka shalat, selayaknya orang yang selalu melihat hal yang sama selama ini, saya sempat merasa “apa-apaan ini? Shalatnya kenapa begini?” seolah-olah apa yang telah saya pelajari tentang Islam adalah yang paling benar.Tapi saya hanya diam saja, menyimpan semua pertanyaan untuk acara Afternoon Tea. Namun, saat shalat Jum’at selesai, para makmum laki-laki langsung bergegas keluar, kembali bekerja.Sedangkan para makmum wanita bersiap menuju ruang sebelah, yang ternyata adalah tempat jamuan afternoon tea khusus untuk saya.Di atas meja sudah tersedia berbagai jenis makanan yang satu pun tidak saya kenali.Banyak sekali. Saya dan Mumma Tess dipersilahkan duduk di posisi paling depan agar semuanya dapat melihat kami dengan jelas.Saya diminta menjelaskan tentang asal saya dan kenapa saya di Australia dan berbagai pertanyaan kecil lainnya.Dari diskusi itulah saya baru tau kalau mereka semua ternyata berasal dari berbagai Negara dan latarbelakang yang berbeda. Ada dari Pakistan, srilangka, Lebanon, turki, singapura, saya dari Indonesia,dan hanya ibu Syifa dan Mumma Tess yang dari Australia. Dari Maira, wanita Pakistan, saya tau kenapa wanita juga melaksanakan shalat jum’at di tempat mereka, karena selain jumlah laki-laki yang sangat sedikit, sekitar tujuh orang, juga karena demi semangat saling memotivasi diri dengan bersilaturrahmi dan saling belajar memperdalam keislaman. Bagi dia khususnya, lebih untuk memotivasi suaminya yang baru masuk Islam untuk melaksanakan shalat jum’at dan belajar tentang islam. Sedangkan Syamila dari Turki dan Yeti dari singapura mengaku hal yang sama seperti yang saya alami di Indonesia, wanita tidak shalat Jum’at di tempat mereka, akan tentapi disini mereka melaksanakannya bersama-sama karena alasan tersebut.Karena itulah, makanan yang disediakan juga beranekaragam, sesuai ciri khas daerah masing-masing. Dari Ibu syifa saya mendapatkan penjelasan kalau tempat shalat mereka ini adalah sebuah bangunan milik kawannya, orang Budha, yang dihibahkan untuk komunitas semua agama dan budaya.“Karena tidak ada yang memakai ruangan ini di hari jum’at, lagi pula ruangannya juga cukup besar untuk shalat Jamaah, maka kami menggunakannnya untuk shalat jum’at di sini.”Begitu papar ibu Syifa panjang lebar sambil memuji wanita budha yang telah berbaik hati kepada mereka, dan juga selalu berbaik hati menolong siapapun yang memerlukan. Mereka terpaksa shalat di tempat tersebut karena di Gympie tidak ada masjid. Masjid baru ada beberapa di daerah kota Brisbane, yang jaraknya kurang lebih sekitar 200 Km, makanya akan lebih mudah bagi mereka melaksanakan shalat jum’at di Gympie bersama-sama meski harus meminjam gedung orang. Komunitasmuslim itu saja baru dibangun sejak dua tahun yang lalu, dirintis oleh Syifa yang dulunya merupakan kristiani dan suaminya, dirintis sejak jumlah muslim lumayan bertambah di Gympie. Namun, terlepas dari semua perbedaan latarbelakang perbedaan yang sempat membuat saya kebingungan dan bertanya-tanya,berada di tengah komunitas muslim di tempat orang budha dan dengan orang non-muslim juga ikut bergabung di dalamnya, terlebih lagi, semuanya salingmengerti arti perbedaan, dan cara menghargainya, baik dalam hal tatacara shalat selaku sesama muslim, maupun tentang bagaimana menghargai umat yang saling berbeda agama, sungguh membuat saya belajar akan arti perbedaan dan perdamaian yang sesungguhnya. Betul-betul memotivasi saya untuk terus belajar dan belajar, baik tentang islam dan budaya sendiri, maupun tentang budaya orang lain. Jika semuanya bisa betul-betul saling menghargai laksana yang telah komunitas muslim Gympie pelihatkan, sungguh tidak akan ada lagi perpecahan karena perbedaan. Karena perbedaan adalah rahmat.Bukankah kita diajarkan begitu oleh Nabi Muhammad tercinta?Semoga semua kita dapat terus belajar demi kebaikan. Husnul Khatimah Adanan Peserta Youth Leadership Camp (YLC) 2012 Kekuatan adalah sesuatu yang harus kita jalankan, kekuatan tanpa keberanian hasilnya nihil, itu adalah motivasi hidup ku. Pagi itu tidak sengaja aku melihat sebuah iklan di mading yang mengabarkan tentang acara Youth Leadership Camp Gerakan mari Berbagi Untuk Membangun Aceh, dan acara yang diikuti oleh seluruh muda mudi dari Indonesia, aku terkagum. Aku sempat terdiam ketika melihat biaya pendaftarannya, sanggup gak ya ?terus tanpa fikir panjang aku pun mengusahakan uang pendaftaran itu. Aku beranikan diri untuk ikut karena acara ini cocok sekali dengan impianku ialah ingin membangun Aceh bersama anak negeri. Entah mengapa rasanya aku terpanggil untuk mengikuti acara ini.
Setelah aku mendaftarkan diriku kesana aku langsung mengisi formulir peserta, dengan bangga aku menulis kata demi kata pada formulir itu. Yakin tak yakin aku pun harus yakin, Alhamdulilah aku lulus seleksi 100 besar. Betapa senangnya hati ini dan ku kabarkan pada ibu tentang ini semua. Ibu pun bangga pada ku, yah akhirnya aku bisa lulus aku senang sekali dan aku sudah berhayal akan berjumpa dengan teman teman baru yang hebat di sana. YLC adalah ajang perlombaan terbesar yang pernah aku ikuti, walaupun banyak lomba yang pernah aku ikut di antaranya lomba presenter yang di buat oleh Kuta raja TV dan aku mendapatkan juara 1, lomba baju daur ulang aku mendapatkan juara terfavorit, dan lain-lain. Masih banyak lomba yang aku ikut. Tapi ketika itu semua tidak seperti deg-degan ketika aku ikut lomba YLC. Rabu tanggal 4 juli 2012 hari pertama aku mengikuti YouthLeadershipCamp 2012. Hari pertama membuat aku merasa orang yang paling bodoh berada diantara orang orang pintar yang berasal dari daerah yang beranekaragam. Tapi rasa itu tidak lama setelah aku pertama sekali berjumpa dengan seorang peserta bernama Fauzan, dia aku panggil bang fauzan, karakternya sangat menyenangkan, bicaranya sopan sangat pantas jadi seorang pemimpin, bang fauzanlah yang mendorong aku untuk semangat dan jangan pernah menyerah. Tapi entah kenapa setelah pembukaan oleh bapak Gubernur Aceh, ada salah seorang peserta cowok yang menjadi juara esay tertinggi, dan dia dipanggil ke depan. Saat itu aku mendapatkan seperti sosok teman yang baru. Pemuda itu mengajarkan aku suatu kehidupan walaupun aku belum berbicara dan bersapa dengannya. Sampai akhirnya aku berdoa sama ALLAH. Ya Allah bila dia adalah sosok teman yang bisa merubah aku menjadi lebih tegar dan sempurna, maka dekatkan aku padanya dan jadikanlah dia teman yang baru untu ku. Begitulah doa yang aku panjatkan di dalam hati ini. Sore setelah pulang dari acara itu aku sholat di mushola dekat aula, di sana aku jumpa dengan pemuda itu, Masya Allah dia menjadi imam. Sudah lama aku tidak menemui teman yang mau jadi imam ketika sholat. Setelah selesai sholat aku pun bersapa dengan dia. Ternyata namanya adalah Teuku Ar Rizki Aulia dan kami pun saling cerita dan saling tegur sapa. Selama di acara itu kami selalu bersama dan sering bercerita tentang pengalaman dan kelebihan kami masing – masing. Aku banyak sekali mendapatkan motivasi dri dia, dia anak yang sangat pintar sampai aku iri dengan kepintarannya. Sejak itu aku semakin yakin dengan acara ini, aku terus berusaha agar aku bisa masuk 50 besar dalam acara itu. Tanpa di sadari akhirnya pengumuman 50 besar pun ku dapatkan, aku masuk dalam 50 besar dan pada malam itu aku langsung menuju ke hotel SMK 1 di Lampenerut. Wah aku benar benar senang sekali karena ini adalah restu dan doa darai MAMA, aku tidak berharap bisa masuk 10 besar karena aku memang berharap bisa mask 50 besar saja dan bisa. Bertemu dengan para pembicara yang sukses aku yakin aku pasti bisa berubah di sini bisa dan jadi orang yang lebih baik. Selama beberapa hari aku di sini Alhamdulilah aku mendapatkan banyak pelajaran penting. Aku semakin yakin suatu hari aku bisa mengajak adik-adikku di panti asuhan untuk terus berjuang mewujudkan mimpi. Karena acara ini terus mengajak aku untuk berkarya dan mencari jati diri menjadi seorang pemimpin. Tidak ku sadari akhirnya acara ini pun berakhir aku merasa sudah puas mendaptkan banyak ilmu di sini. Setelah keluar dari hotel rasanya aku seperti bayi mungil yang baru menjalakan hidup yang baru dan aku menjadi semakin yakin suatu hari aku bisa menjadi sukses. Ketika pulang ke rumah. Ibu membukakan pintu untukku dan menyambutku dengan hangat. Alu dia bertanya bagai mana anak ku ?aku Cuma menjawab nya pelan ada sedikit kecewa dan bahagia juga, sambil memeluknya aku bilang “Ibu aku akan mengejar bintangku, aku akan membawamu pada cahaya itu”. Aku pun menceritakan kisahku selama di YLC kepada adik-adik di panti asuhan yang selama ini aku damping,, salah satu di antara mereka berteriak sambil bilang ” Tahun depan aku akan bisa mewakili panti asuhan untuk ke aa…uss..utralia ( AUSTRALIA)” dengan susah payah dia sebutkan nama itu. Aku Cuma bisa tersenyum kecil dan memandang mereka semua sambil bilang “KITA PASTI BISA”. Tepat pada 10 Ramadhan aku meyakinkan diri untuk membuka sebuah Les Private yang aku beri namaStar Private. Awalnya aku tidak yakin, tapi aku berusaha dan kak Agustina salah satu anggota YLC yang selalu mendukung aku. Setelah berjuang, akhirnya aku mendapatkan banyak murid private yang mau belajar dengan tim kecil yang ku bangun. Aku berhasil membentuk tim yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa berprestasi untuk menjadi guru di tempatku. YLC I Love You dan ribuan terima kasih ku ucapkan untuk FBA yang sudah mau membuat acara ini Karena YLC “Aku Bisa”. Ari Al Fatah Peserta Youth Leadership Camp 2012 “…Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Pramoedya Ananta Toer)
Di sudut kiri catatan harian tertulis bahwa hari ini adalah hari ke-16 saya berada di Canberra. Besok saya kembali ke Sydney dan berkumpul bersama seluruh para pemuka pemuda yang terpilih dari program ‘Gerakan Mari Berbagi’ Youth Leadership Camp (YLC) 2012. Begitu singkat rasanya waktu berjalan. Sebentar saja saya harus meninggalkan Canberra, meninggalkan hostfamily, dan meninggalkan semua pengalaman baru yang tak akan mungkin bisa dilupakan. Terngiang ditelinga lagu “YLC yang tidak kulupakan…”, ah, saya harus menarik nafas sejenak. Kenang-kenangan selama di camp Gerakan Mari Berbagi berputar kembali di ingatan. Saya coba mengingat-ingat kenapa saya bisa ada di sana. Sekitar akhir Maret saya dapat informasi lewat SMS dari Fathun yang ternyata ketua panitia mengenai kegiatan YLC 2012. Dari deskripsi SMS sepertinya menarik dan membuat saya tambah tertarik adalah hadirnya narasumber-narasumber yang luar biasa. Pas sekali! Saat itu saya merasa sedang ‘kering ide dan gagasan’. Memimpin berbagai organisasi tapi sepertinya tidak ada terobosan baru. Mencari inspirasi dari berbagai narasumber adalah tujuan utama. Akhirnya saya putuskan untuk mendaftar. Itupun sudah hampir terlambat karena Saya mendaftar di gelombang kedua. Belakangan saya tahu bahwa ada reward homestay ke Australia bagi peserta terbaik. Ini makin menarik saja. Tapi yang paling surprise adalah peserta yang lulus seleksi dari seluruh Indonesia. Bahkan ada yang kuliah di luar negeri. Luar biasa. Sangat kompetitif dan ini jarang dilakukan di Aceh. Seleksi tahap pertama penilaian profil pribadi dan penilaian essay. Saya tercampak ke 20 besar. Wah, bukan sembarang orang yang ikut kegiatan ini. Satu minggu sebelum acara saya simpan dulu bacaan politik yang biasa menemani sebelum tidur. Saya bongkar kembali map-map pelatihan motivasi yang pernah saya ikuti, termasuk membaca kembali materi-materi pelatihan yang pernah saya buat untuk Diklat OSIS SMA dan pelatihan kepemimpinan di kampus. Ini saya lakukan hanya untuk menyamakan “frekuensi”, ibarat sebelum bertempur maka harus ada latihan dahulu. Hari pelaksanaan kegiatan pun tiba dan yang membuat tambah semangat adalah ide besar Gerakan Mari Berbagi yang diluncurkan di pembukaan YLC 2012. Kata ‘gerakan’ seperti menjadi password dalam hati dan pikiran saya. Kalau mendengar kata gerakan saya langsung bersemangat. Mungkin karena selama di kampus saya dicap sebagai “anak gerakan”, jadi apapun yang berbau “gerakan” tidak pas kalau saya belum ikutan. Saya merasa ini memang tempat yang cocok untuk saya. Mengenai kegiatan YLC 2012 sendiri, saya merasakan energi positif semenjak pembukaan sampai akhir jelang pengumuman. YLC 2012 menjadi pelatihan kepemudaan terbaik yang pernah saya ikuti. Alasannya? Karena panitia dan seluruh fasilitator telah mampu melejitkan seluruh potensi peserta. Itu tentu bukan pekerjaan mudah. Apresiasi paling tinggi saya berikan kepada seluruh narasumber, dewan juri terutama inisiator kegiatan. Karena baru kali ini saya tahu ada pelatihan dengan reward homestay keluar negeri dengan pertimbangan prestasi akademik dan kemampuan bahasa Inggris mumpuni tidak menjadi syarat mutlak. Tapi penilaian didasarkan pada kualitas kepemimpinan dan pengabdian bagi sesama. Cara penilaian out of the box, benar-benar keluar dari pakem yang ada. Inilah tempatnya bagi para penggerak sosial, pendamping anak jalanan, aktifis gerakan, dan relawan kemanusiaan, dimana usaha mereka didengar, dihargai dan diberikan apresiasi. Seluruh pengalaman usaha, upaya, manis atau getir, dibagi yang kemudian dapat menjadi inspirasi bagi yang lain untuk mengambil tindakan dan terus berbuat kebaikan bagi sesama. Itulah yang saya rasakan. Potensi melejit dan makin kaya dengan ide juga gagasan. Saya simpulkan bahwa Gerakan Mari Berbagi YLC 2012 adalah obat mujarab bagi pemuda dan pemudi yang sedang galau, kurang motivasi, sedang patah hati, atau yang sedang kering ide seperti yang saya alami. Terpilih menjadi 10 besar tentu ada rasa bangga yang sekaligus memikul tanggung jawab besar. Karena pemuka pemuda yang terpilih diberi penghargaan ‘Pemuka Pemuda Berintegritas’. Sebuah kepercayaan yang harus dijawab dengan tindakan. Ini menjadi motivasi lebih bagi saya dan tentu saja para pemuka pemuda lainnya untuk makin bersemangat berbagi dan berbuat hal-hal baik. Sekarang adalah hari terakhir saya di Canberra. Saya ingat kembali bahwa perjalanan hingga sampai kemari tidak mudah. Butuh kekuatan tekad agar semangat dan motivasi tetap tinggi. Saya merasakan banyak hal yang luar biasa. Yang akan menjadi dusta apabila saya hanya menyimpannya sendiri. Maka dari itu saya menulis. Menulis untuk berbagi. Agar pengalaman-pengalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi yang lain. Agar catatan-catatan ini dapat menjadi kenang-kenangan terbaik selama 17 hari saya di Canberra dan agar saya tidak lupa, bahwa telah berjanji untuk tetap menjaga integritas, toleransi dan saling menghargai yang banyak saya dapat di Canberra, dimanapun nanti saya berada dan bekerja. Saya mengakhiri misi Gerakan Mari Berbagi di Canberra dengan rasa syukur yang luar biasa. Ini adalah sebuah perjalanan singkat, untuk jalan pengabdian yang panjang. Salam berbagi! Canberra, 21 November 2012 M. Fauzan Febriansyah Peserta Youth Leadership Camp 2012 |
|