“I don’t practice any religion”
Apa yang kamu dan kita semua pikirkan ketika ada orang yang berkata seperti itu di Indonesia? Mungkin ada yang kaget, ada yang berpikir ‘kok bisa?’, ada yang berpikir ‘seram’ atau paling ekstrim ‘wah, masuk neraka!’ “People stare at me as I am an allien” Apa yang kamu pikir dan rasakan, ketika temanmu yang berkerudung curhat seperti itu di negeri orang? Mungkin ada yang kasihan? Marah? Kesal? Atau jangan-jangan kita yang memandang teman kita seperti alien? Tiga minggu mengikuti program Homestay dari Gerakan Mari Berbagi, membuat saya terkaget-kaget. Setiap hari, saya pergi ke tempat yang berbeda dan bertemu dengan orang yang beragam di Sunshine Coast hingga Brisbane, Australia. Orang tua angkat saya terlahir sebagai Kristen, tetapi tidak ke gereja dan tidak mengajarkan agama tertentu kepada anak-anaknya. Saya bertemu dengan Senath, wanita kulit putih asal Afrika Selatan. Ia juga tidak melakukan ritual agama tertentu, tetapi memiliki banyak properti Budha di rumahnya. Di suatu kesempatan, saya hadir di acara agama Baha’i dimana penganut aliran ini mempercayai ajaran semua agama. Agama ini juga termasuk agama yang tidak umum di Australia. Seminggu kemudian, saya bertemu dengan Mba Rama, wanita Indonesia asal Bali, beragama Hindu dan suaminya orang Australia beragama Budha. Wah, mereka bebas sekali berekspresi tentang kepercayaannya ya? Selanjutnya, pengalaman sangat berbeda juga saya temui. Saya diceritakan diskriminasi terhadap kelompok tertentu yang terjadi di daerah Sunshine Coast. Seorang teman dari Community Action for Multicultural Society bercerita bahwa Muslim mendapat perlakuan berbeda di beberapa sektor. Beberapa hari kemudian, saya mendengar sendiri seorang teman yang berkerudung bahwa ia dipandang aneh di tempat umum. Memang selama di Sunshine Coast, cuma dia yang wanita berkerudung yang saya temui.Wah, ternyata diskirminasi juga terjadi di Australia ya? Bagaimana harus bersikap? Beruntung saya bertemu dengan Nora Amath dan Dave Andrews di Leadership Camp sebelum pulang ke Indonesia. Nora, adalah wanita muslim yang sangat taat terhadap ajaran Islam, dan Dave adalah seorang pria Kristen yang juga sangat mencintai Tuhan. Nora pernah tinggal di sebuah apartemen di Amerika Serikat. Tetangganya berasal dari berbagai agama. Setiap sore, Nora dan tetangga lainnya sering kali bersantai dan ngobrol bersama. Selama 6 bulan kebiasaan ini terjadi dan mereka saling bercerita kondisi masing-masing. Hingga suatu hari, tanggal 11 September 2001, kelompok teroris mengebom gedung WTC di Amerika Serikat. Semua rakyat panik. Kejadian tersebut menumbuhkan kepada kaum muslim. Namun, Nora beruntung. Keluarganya dilindungi dan didukung oleh tetangga-tetangganya di sekitar apartemen-nya. Mereka menanyakan kondisi keluarga Nora dan selalu menguatkan Nora dalam menghadapi kebencian dari pihak lain yang ia alami. Kejadian itu, menjadi turning point dalam hidup Nora, dan ia mulai terlibat di gereja-gereja dan di sekolah-sekolah untuk menunjukkan bahwa agama yang ia percayai tidak buruk dan tidak jahat. Namun, yang terjadi tidak indah dan tidak mudah. Di masa-masa kunjungan tersebut, Nora malah merasa trauma karena orang-orang Kristen yang ia temui berusaha merubah kepercayaannya alias ‘kristenisasi.’ Nora berhenti berkegiatan di komunitas Kristen hingga tahun 2006, ia bertemu dengan Dave. Apa yang mereka lakukan? Nora mengkritisi ‘Islam ekstrimist’, dan Dave mengkritisi ‘Kristen ekstrimis.’ Nora pergi ke gereja bersama Dave untuk bilang kepada kaum Kristen, bahwa ia mendukung Kristen. Dave pergi ke Masjid untuk menyatakan kepada kaum Muslim bahwa ia mendukung Islam. “Don’t argue! Listen and see what we can learn one another” “We believe in one God. The God of love, mercy, compassion and grace. God can talk to us through other religion too.” Saya berpikir dalam hati. Betul juga ya?! Siapa kita manusia, bisa-bisanya membatasi Tuhan ‘mengajar dan membentuk’ kita hanya dengan cara tertentu? Selama ini kita berpikir agama atau kepercayaan kita lah yang paling benar. Yang lain pokoknya salah! Islam didiskriminasi di Australia, Kristen mengalami diskriminasi di Indonesia. Wajar dan alami terjadi, karena ketika kita termasuk dalam kelompok mayoritas ada banyak yang mendukung. Sebelum melalui pengalaman ini, saya sendiri mengakui bahwa saya sering kali ingin mendebat ajaran agama lain. Tapi sekarang berbeda. Sejak bertemu dengan Nora dan Dave, saya belajar bahwa tugas kita adalah membangun kepercayaan dengan teman-teman dengan agama/kepercayaan yang bebeda bukan mengkritisi ajaran mereka. Sebaliknya, “we have to criticize our own tradions/religion.” Berani? Dua hari berikutnya, saya dan Matt (country representative GMB untuk Australia) mempraktikan ini. Tiap jam 6.30 pagi kami duduk dan membahas Alkitab dan berbagi mengenai pendapat masing-masing mengenai ayat yang dibaca. Lucunya, obrolan dan refleksi ayat Alkitab menimbulkan pertanyaan baru tentang suatu konsep menjadi PR pribadi kami untuk mencari tahu. Dave sendiri membuat buku berjudul “Bismillah. Christian Muslim Ramadan Reflections”. Buku ini merupakan hasil refleksinya selama bulan Ramadan terhadap konsep Bismillah. Indah sekali bukan? Belajar tentang agama lain bukan mengubah kepercayaannya, sebaliknya malah membuat Dave makin dalam penghayatannya tentang Tuhan. Pertemuan dengan berbagai orang dari agama dan kepercayaan berbeda selama program homestay ini, membuat saya semakin terbuka terhadap perbedaan dan pilihan hidup. Saya juga menyadari diskriminasi bisa terjadi dimana saja, bahkan di negara sejahtera seperti Australia sekalipun. Tugas untuk menularkan nilai-nilai toleransi ini akan terus berlanjut, dan Gerakan Mari Berbagi menjadi salah satu menjadi agen perubahannya. Embrace the differences. Open your hand. Hold others who are different, not too tight so that they could crush, but hold them gently. – Nora Amath Penulis : Aprida Sondang, GMB 2014
0 Comments
Aku sempat takut dan ragu saat akan beranjak menuliskan cerita ini. Ada banyak nilai kemanusiaan yang tersingkap dari setiap lajur cerita. Hingga akhirnya kutuliskan, namun jangan berharap akan segamblang kenyataanya. Dua lembar? Kurasa cukup untuk satu bab judul Novel.
Cerita ini berawal dari ke-penasaran-an-ku saat ku ketahui host family-ku selama di Brisbane adalah seorang pastur muda yang belum genap 30 tahun. Menarik. Aku berandai-andai membayangkan akan seperti apa kehidupan dua mingguku dirumahnya kelak. Dan beginilah ceritaku. *** Malam itu, malam kedua aku menginap dirumah Brian. Setelah malam sebelumnya Brian mengadakan perkenalan singkat terkait dirinya, keluarganya, dan lingkungan sekitar rumahnya, kini kami berdua duduk menghadap layar tv me-rilex-kan diri sambil melanjutkan proses perkenalan. Aku membuka pertanyaan. Pertanyaan yang membuatku ngos-ngosan menjalani hidup setelahnya. Brian, you said before you are Christian since you’re 19’yo? Could you please explain me? Gayung bersambut, pertanyaan itu disambar dengan lihai dan berhasil membuka lebar diskusi ketuhanan antar 2 insan yang berbeda pandangan. Beberapa kali aku dibuat berpikir keras oleh pertanyaan-pertanyaan simple atas keimanan terhadap tuhanku. Aku deg-degan setiap menjawab pertanyaan yang dilontarkannya. Kutarik jawaban paling bijaksana dari pemikiran filosofis seorang remaja berumur 23 tahun. Pemikiranku (saat itu, setidaknya kupikir itu jawaban bijaksana). “Tuhan punya kriteria tersendiri untuk memasukkan manusia kedalam syurga-Nya. Entah orang itu dari agama Kristen, Budha, Hindu, atau yang tidak beragama sekalipun. Yang bisa manusia lakukan adalah berusaha dengan hati yang tulus, bersih, ikhlas untuk mengharapkan ridhoNya disetiap langkah yang kita ambil. Islam adalah salah satu kunci untuk menuju Syurga, untuk menuju keikhlasan hati mengharap Ridho-nya. Yang kupercaya dan sangat kuyakini, Tuhanku adalah maha adil. Oleh karena itu, setiap kehendak Tuhan, aku yakin bahwa itulah yang terbaik. Apakah ketika Tuhanku memasukkan orang Kristen ke Syurga kemudian aku memiliki kemampuan untuk protes? Tidak sama sekali. Kehendaknya-Nya mutlak. Sekali lagi aku percaya, Tuhanku maha adil dan maha bijaksana”. Pernyataanku disambut hangat oleh Brian. “Not for me. God has His own standard to put one into heaven. God is pure, perfect. None imperfection can be one with perfection. As if a milk is pure, we add a sugar in it, then the milk isn’t pure anymore. It isn’t perfect milk anymore. Also for my God. He is perfect, none can be with him. All mankind is imperfect. None of them will be one with God on heaven. But, there is one way to make mankind becomes perfect after their imperfection. Jesus. Son of God. He will make us perfect in a day we are counted between our good and evil. I do believe on it”. Pernyataan kami berdua menutup diskusi singkat malam itu. Brian mengaku lelah dan pamit ke kamar. Begitupun aku. Bukan untuk tidur. Justru sulit bagiku untuk memicingkan mata barang sesaat. Aku terus terngiang segala cerita masa lampau tentang Jessus dan Rasulku Muhammad saw. Hingga tubuhku lelah berpikir dan tertidur. Minggu kedua aku ke gereja, suasana tak jauh berbeda. Yang Nampak sekali tidak sama adalah jumlah orang yang kukenal. Aku memiliki banyak teman sekarang. Di gereja yang mayoritas penggunanya adalah Chinese Christian, aku mengamati prosesi ibadah dengan duduk di kursi tengah. Hari ini Brian memberikan speech. Oleh karena itu, pagi ini kami berangkat ke gereja lebih awal dari biasanya (minggu lalu). Aku sempat memiliki rasa bersalah yang tinggi terhadap Pricilla, istri Brian karena kelakuanku memadukan dua culture tanpa sengaja, dan gagal. Hal itu tidak akan kubahas disini. Pricilla duduk disampingku. Aku menatap kearah Brian yang siap dengan pembukaan speechnya. Pricilla memberikan sebuah buku tersampul rapih kepadaku. “This is gift from Brian and me”, kusambut hadiah itu dengan sumringah, senyum lebar, dan ucapan “thank you” spontan dari lubuk hati. Seketika kubuka buku tersebut, Pricilla memberiku arahan sesaat, menuju surat Matthew. Ya buku itu adalah Bible, kitab suci umat kristiani. Ada satu paragraph tulisan tangan di halaman depan kitab dan aku gemetar, takut untuk membacanya. Aku memilih menunggu untuk membacanya di momen yang tepat. Saat sendirian. Perhatianku berpindah-pindah, kadang pada Brian yang sedang memberikan speech kadang pada surat yang kubaca. Aku terkejut. Speech yang diutarakanya di depan podium sebagian besar adalah yang disampaikan padaku. Kali itu, aku merasa ditampar berkali-kali. Banyak. Kalimat-kalimatnya seirama dengan kalimat beberapa kiai yang sempat memberikan ceramah dalam kesempatan khutbah. Aku takjub. Beginilah rasanya mendengar kalimat-kalimat yang ditujukan kepadaku, orang yang bukan seagama dengan mereka. Ada kesedihan tersendiri dalam diriku. Entah mengapa, aku tak biasa merasa seperti ini. Aku tidak nyaman saat itu, pikirku memberontak, terlalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan atas keimananku. Aku harus mencari kebenaran atas keimanan yang kubela, atas keislamanku. “Keimanan yang aku ingin bukan-lah keimanan yang tertanam sejak lahir oleh orang tua dan lingkunganku, tetapi keimanan yang aku temukan sendiri. Keimanan yang denganya aku merasa hidup”. Kini misiku adalah menemukan keimanan atas Islam yang kumaksud. Dimulai dari hari ini, diantara dua kitab. Penulis: Tri Handoko, GMB 2014 “Menjadi kaum minoritas di negeri yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama lain adalah sebuah tantangan tersendiri untuk tetap mempertahankan sebuah keimanan. Toleransi agama yang kuat, menjadikan kami merasa nyaman dan terhormat di sini. Batin kami tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali.” Hari Jumat, 14 November 2014 adalah genap satu minggu saya di Brisbane, Australia. Beberapa hari merasakan atmosfer baru di negeri ini telah membuka mata hati dan pikiran saya bagaimana menjadi seorang minoritas di negeri yang mayoritas beragama nasrani ini. Sebagai seorang muslim, tentu tidak mudah untuk tetap menjaga sholat maupun ibadah lainnya di tengah kesibukan kegiatan homestay GMB ini. Berikut adalah sebuah cerita hikmah, ketika kedua kalinya saya berjumpa masyarakat muslim di Brisbane, tepatnya di Holland Park Mosque. Siang itu saya diantar Gwenda untuk menuju masjid di Holland Park, sebuah masjid yang pernah saya kunjungi seminggu yang lalu untuk sholat Jumat. Kami naik mobil, di jalan sempat berhenti selama 30an menit karena macet. Bukan tanpa alasan, ini karena ada G20 Summit. Sekitar Pkl 12.45 saya tiba di depan masjid. Di sana telah berjejer banyak mobil yang diparkir rapi, menandakan sudah cukup banyak jamaah yang hadir. Masjid ini adalah masjid pertama yang berdiri di Australia, sejak 1908 dan direnovasi pada tahun 1970. Masjid ini selalu terbuka untuk umum setiap saat, berbeda dengan beberapa masjid di Australia yang hanya buka pada waktu tertentu. Beberapa fasilitas di masjid antara lain ruang sholat yang cukup untuk sekitar 400 jamaah, ada ruang madrasah/TPA, perpustakaan, pusat buku dan kitab, serta beberapa ruang lainnya. Selengkapnya ada di http://hollandparkmosque.org Sekitar Pkl 13.00 khutbah Jumat dimulai. Materi khutbah masih melanjutkan tentang pentingnya menjaga sholat, di samping kewajiban mencari rezeki. Khatib berpesan melalui bahasa Inggris agar tetap menjaga akidah, menjaga akhlak sebagai seorang muslim, itu adalah anugerah terindah dari-Nya. Betapa bersyukurnya kita, terlahir sebagai muslim, namun tak sedikit yang belum dapat memaknai sampai ke hati, bagaimana Islam mengajarkan kedamaian, mengajarkan sopan santun, mengajarkan makan makanan halal, mengajarkan adab pergaulan. Betapa harus bersyukurnya kita, ketika Tuhan telah memberi banyak kemudahan dalam hidup, namun kita masih sering kufur. “Allah, there is no God but He, the Ever-Living, the Self-subsisting, by whom all subsist. Help us, O Allah Help us, and we bessech Thee not to lend (anyone) help agains us. O Allah, order our affairs for us, and do not manipulate affairs against us. O Allah, make us prosperous and open our hearts for Islam. You only one who know this life, guide us to the right way.” Saya baru kali ini mendengar khutbah dengan bahasa Inggris secara jelas, maknanya dalam dan merasuk ke hati. Baru kali ini, melihat para jamaah sholat benar-benar khusyuk mendengarkan khutbah, tidak ada yang tidur. Apakah ini yang dinamakan khusyuk ? Ketika mata, hati, dan pikiran menjadi satu memuji nama-Nya, dan menangis memohon ampunan-Nya. Pada doa penutup, imam sholat memimpin doa, saya tak kuasa meneteskan air mata. Betapa rindunya saya dengan mamak dan bapak di rumah. Betapa inginnya saya melangkahkan kaki ke masjid setiba di Indonesia nanti. Betapa rindunya moment-moment seperti ini, ketika saya merasa bersyukur berada di antara calon penghuni syurga. Mereka saudara baru saya di sini, yang telah membuka hati ini untuk selalu bersyukur. Selepas sholat Jumat, saya bertemu dengan Pak Rasyid, warga asli Myanmar yang sudah 1 tahun tinggal di sini. Beliau masih berstatus sebagai pengungsi yang telah mendapatkan perhatian dari pemerintah Australia. Beliau telah berkeluarga, istri dari Indonesia dan kini memiliki 5 anak. Dua diantaranya yang diajak adalah Khaled dan Yusuf, dua jagoan kecil yang sholeh dan fasih berbahasa Melayu dan Inggris. Pak Rasyid adalah orang yang berjasa bagi saya, meskipun baru saja kenal. Beliaulan orang pertama yang menyapa saya, mengajak saya berdiskusi tentang kehidupan muslim di sini. “We have muslim people from all the world : Indonesia, Pakistan, Africa, Malaysia, Turki, Maroko, and others.” Sebagai seorang muslim, prinsip yang beliau pegang teguh di sini adalah pentingnya meresapi nilai-nilai Islam secara utuh. Beliau menyampaikan bahwa penghargaan hak beragama di sini sangat tinggi. “Religion is the human right, we can choose it or skip it. People just to make a tolerance.” Agama bukanlah sebuah pembatas aktivitas sehari-hari. Contohnya ketika seorang muslim bekerja di sebuah perusahaan. Pimpinan akan menilai seberapa kondisten kerjanya, tidak melihat darimana ia berasal, dari agama apa ataupun suku apa. Di sini kita memperoleh hak yang sama, bahkan seorang doktorpun bisa jadi gajinya sama dengan tukang service pipa. Kita dihargai karena kemampuan kita. Selepas sholat Ashar, saya dipertemukan Pak Rasyid dengan Pak Ali dan Pak Azhar. Beliau berdua adalah orang Indonesia yang telah cukup lama tinggal di Brisbane. Sugguh, saya bersyukur sekali dapat bertemu beliau. Kami saling berjabat tangan, saling mengucap doa atas pertemuan ini. Kami kemudian duduk di samping masjid. Pak Ali mengawali pembicaraan dengan menanyakan tujuan saya di sini. “Bapak, saya di sini dalam rangka program homestay dari Gerakan Mari Berbagi dengan tujuan belajar memahami keragaman budaya, pendidikan, masyarakat dan lain sebaianya yang menjadi misi GMB,” jawab saya. Saya pun memberikan brosur GMB kepada beliau berdua. Pak Ali, adalah warga asli Bangka Belitung yang sejak tahun 1974 hidup di sini, beliau sudah mempunyai 2 cucu, beristrikan orang Australia. Pak Azhar, adalah seorang akademisi, yang sekarng menempu doctor di sini. Saya melihat beliau adalah orang penting dengan bahasa akademiknya. Saya cukup terkejut di awal, karena beliau berdua sangat menyambut keberadaan saya di sini, beliau berdua menganggap saya sama, tidak ada jarak apapun yang menghalangi diskusi kami. Beliau berdua menceritakan pengalaman-pengalaman selam tinggal di Australia, mulai dari masyarakat muslim sampai hal-hal yang bersifat personal. “Toleransi agama di sini sangat tinggi, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat mau memeluk agama atau tidak,” kata Pak Azhar. “Asalkan kita taat dan berbuat baik, pasti tidak aka nada orang yang berani mengganggu kita di sini,” sambung Pak Ali. Menjadi masyarakat muslim di Brisbane bagi beliau berdua sebenarnya sangat senang. Islam telah mengajarkan nilai-nilai dasar yang seharusnya bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari. Contohnya, sebuah ketaatan terhadap aturan. Orang di sini ketika di traffic light, lampu hijau berjalan, lampu merah berhenti, dan lampu kuning bersiap berhenti. Berbeda dengan di Indonesia yang justru semuanya dianggap hijau. Apakah kita tidak merasa malu sebagai muslim ? Di sini sebenarnya kita telah punya nilai itu. Ketika kecil juga sudah diajarkan untuk disiplin lalu lintas. Namu lihat, ketika justru nilai-nilai itu dihancurkan oleh para orang tuanya sendiri. Anak didik taat lalu lintas, namun ketika membonceng sepeda motor ayahnya yang menerobos lampu merah, nilai-nilai itu hancur. Cerita lain ketika Pak Azhar baru saja datang di Brisbane dan pada saat itu baru ada kampanye calon anggota parlemen, beliau diberi kesempatan langsung untuk bertemu dan menyampaikan “unek-unek atau ususlan” kepada calon anggota dewan itu. Berbeda ya ketika di Indonesia untuk bertemu dewan secara langsung pasti sulit karena adanya jurang pembatas/strata sosial. Kita perlu belajar makna sebuah penghargaan di sini. “Orang-orang di sini mas, mudah sekali mengatakan terimakasih sebagai ucapan apresiasi setiap orang.” Sering saya jumpai, ketika ada seseorang secara tidak sengaja menyenggol atau menghalangi arah jalan seseorang langsung orang yang disenggol itu yang minta maaf. Tapi kenyataannya di Indonesia, bisa jadi justru langsung marah atau mencacimaki. Mereka di sini sangat hormat, bahkan ketika keluar bus pun wajib mengatakan “thank you”. Penghargaan atas jasa orang lain inilah yang membuat adanya kedekatan dan membuang jauh-jauh strata sosial di sini. Hal lain, tentang makna sebuah konsistensi di sini. Pemerintah secara konsisten memberi pelayanan terbaim bagi masyarakatnya, sekolah gratis, kesehatan gratis, semua demi kenyamanan warga. Msyarakatnya pun mendukung penuh setiap program ataupun kebijakan dari pemerintah. Ketika melihat sisi di Indonesia, lihatlah contoh sebuah peraturan “Dilarang merokok di sini, bisa dikenai denda sekian juta rupiah bahkan miliar.” Lalu apa yang terjadi ? Masih ada ya si anggota dewan yang justru melanggarnya, justru merokok di ruang sidang. Apakah itu yang dinamakan konsistensi ? Peraturan dibuat untuk ditaati, bukan untuk dilanggar sendiri. “Orang-orang kita itu aneh mas, banyak aturan, banyak juga yang dilanggar.” Coba belajar dari masyarakat sini yang taat aturan, makanya saya merasa nyaman dan aman di sini. Kata Pak Ali. Pengalaman Pak Azhar ketika pulang ke Indonesia dan akan menyekolahkan anaknya menjadi pelajaran hidup. Ketika itu beliau ingin mendaftarkan anaknya sekolah, banyak tahapan yang harus diproses, syarat yang macam-macam samoai akhirnya beliau angkat tangan dan kembali ke Australia. Di sini, beliau langsung menghubungi sekolah dan membawa persyaratan dokumen lalu menerma jawaban dari staf sekolah, “Sebenarnya Anda tidak perlu menyiapkannya sendiri, biar kami yang urus dan anak Anda bisa langsung masuk kelas, kami utamakan untuk segera masuk kelas.” Pelajaran bagi birokrasi di Indonesia yang masih cukup berbeli-belit. Melihat makna perbedaan di sini belum lengkap rasanya tanpa melihat sisi sosial masyarakat di sini. “Mas, coba lihat orang di depan itu yang baru saja keluar mobil, mas pasti tidak menyangka kalau dia itu doctor, orang yang menyapa kita tadi adalah ustadz terkemuka di sini, orang penting.” Mereka biasa-biasa saja mas, berpakaian sederhana, bahkan mobilnya juga biasa saja, tidak terbayang kan kalau mereka itu orang dengan pencapaian akademik tinggi. Inilah sisi positifnya, antara si doctor atau ustadz ataupun masyarakat biasa sama-sama hidup berdampingan, mereka pakai pakaian yang sama, tidak terkesan mewah ataupun ingin dipuji mas. Bagi kami, pujian akan pencapaian seseorang itu memang perlu, tapi kitanya yang harus tetap jadi orang biasa dan sederhana. Coba lihat sikap Pak Ahok sebagai gubernur Jakarta yang baru, dia tidak mau kan menerima penghargaan sebagai ini itu. Karena memang beliau merasa “Saya ini hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, tidak perlu dapat pujian ini itu, biarkan saya bekerja dulu.” Cukup lama saya mendapat sharing pelajaran hidup dari Pak Ali dan Pak Azhar, bahwa hidup di sini ada manis dan pahitnya. Manis ketika kita merasa nyaman, pahit ketika kadang-kadang dapat fitnah seperti aksi vandalism di masjid orang Indonesia di Brisbane dua bulan kemarin. Ketika saya bertanya,”Apa yang membuat Bapak berdua betah tinggal di sini?” Pak Ali menjawab, “Saya sesungguhnya hanya perlu kebahagiaan hidup, ketenangan batin untuk hidup.” Ketika di sini, saya tidak perlu khawatir dengan keselamatan saya. Contohnya, di Indonesia ketika pulang malam pakai mobil, pasti kita akan takut atau khawatir akan criminal. Ketika di jalan pun khawatir mobilnya dicoret oleh pengemis atau preman. Ketika di sini, saya bisa beribadah dengan khusyuk tanpa kekhawatiran, saya merasa aman dan nyaman hidup di sini. Kalau saja di sana seperti ini, saya akan memilih tinggal di Indonesia. Pak Azhar menambahkan,”Sejujurnya saya ingin pulang mas, namun kualitas hidup di sini jauh lebih baik, saya tetap cinta Indonesia mas sampai kapanpun.” “Menjadi kaum minoritas di negeri yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama lain adalah sebuah tantangan tersendiri untuk tetap mempertahankan sebuah keimanan. Toleransi agama yang kuat, menjadikan kami merasa nyaman dan terhormat di sini. Batin kami tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali.” Lewat perbincangan hangat ini, kami tidak sadar telah menghabiskan waktu sejak jam 2an sampai jam 6 menjelang Maghrib. Saya pun berterimakasih atas silaturahmi beliau berdua, atas sharing pelajaran hidup ini. Selepas Maghrib, saya diajak Pak Ali ke rumah beliau, sekitar 2 km dari masjid. Saya bertemu istrinya yang asli orang Australia dan telah menjadi muslimah. Pak Ali pun memberi hidangan makan malam. Saya bersyukur, malam itu begitu special, penuh pembelajaran. Bertemu masyarakat muslim di Masjid Holland Park bagi saya adalah pengalaman baru, menegtahui kehidupan langsung masyarakan muslim dari berbagai etnis yang telah menjadi kesatuan membentuk komunitas di tengah multikulturalnya Brisbane. Terimakasih Pak Rasyid, Pak Azhar, Pak Ali, dan beberapa kenalan saudara baru di masjid Holland Park. Telah saya temukan sisi kehidupan muslim di sini bersama sikap toleransi dan keterbukaan warga Australia di sini. “Hidup berdampingan dengan umat agama lain telah membawa diri kita untuk semakin bersyukur menerima kenyataan hidup. Bukan hanya bisa menerima, tetapi juga melakukan yang terbaik atas kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitar.” Janu Muhammad Kepada Julie, Camilla, dan Samuel, terima kasih untuk cinta dan kasih sayang kalian. BUKAN gugup ketika presentasi di depan belasan orang asing di Human Rights Commission, atau bersepeda sendirian dan tersesat sendirian di Canberra, bukan pula berbaring tanpa baju di salju Gunung Kosciuszko yang menjadi pengalaman terindahku selama homestay di Australia. Tapi, merasakan cinta tanpa batas dari keluarga lesbian tak beragama dan punya anak hasil donor sperma. Ini adalah cerita yang mengubah pandanganku, mengukuhkan bahwa cinta memang tiada batas. Selama mengikuti homestay program Gerakan Mari Berbagi di Australia, aku tinggal di sebuah rumah indah di 118 Ellendon Street, Bungendore, New South Wales. Bungendore adalah kawasan di luar Canberra. Ini adalah pengalaman pertamaku di Australia, tepatnya pengalaman pertama tinggal di negeri orang-orang berkulit putih dan berambut pirang. Pengalaman pertama berada di tempat dengan suasana dan budaya yang benar-benar berbeda. Aku tinggal bersama keluarga kecil; Julie, Camilla, dan Samuel. Ada anggota keluarga keempat, namanya Honey, seekor anjing persilangan Labrador dan Pudel berusia 10 tahun. Aku menjadi anggota keluarga kelima di rumah ini. Kepala keluarga kami adalah Julie Whitmore, seorang psikolog, perempuan berusia 53 tahun. Ia lahir dan tumbuh besar di sebuah kampung kecil di Melbourne. Ia adalah ibu dari Samuel, satu-satunya anak dalam keluarga ini. Julie kini bekerja sebagai senior conciliator di Australian Capital Terrytory (ACT) Human Rights Commission. Sudah lebih sepuluh tahun ia bekerja di sana. Camilla Greville, adalah pasangan Julie. Ia seorang ahli seni kontemporer yang bekerja di National Gallery of Australia. Camilla lahir dan menghabis masa kecilnya, ikut bersama orang tua yang bekerja di di Papua New Guinea, lalu tumbuh besar di Brisbane, Australia. September lalu ia genap berusia 50 tahun. Samuel adalah remaja yang sedang tumbuh. Kini Sam, begitu ia disapa, berusia 15 tahun dan sekolah di Orana Steiner School di Weston Creek. Ia lahir Agustus 1999 di Downer, Canberra. Sam adalah remaja cerdas dengan wajah tampan. Posturnya tinggi menjuang. Ia sangat menyukai sepak bola, piawai bermain musik, menguasai fotografi dan akhir-akhir ini ia sibuk belajar mengoperasikan peralatan disc jockey (DJ). Ada juga Honey, anjing yang disayangi dan diperlakukan layaknya anak di keluarga ini. Aku bertemu Julie, Camilla dan Samuel di terminal kedatangan domestik Canberra International Airport pada 7 November 2014 malam. Mereka menjemputku ke bandar udara itu karena tidak ingin menyulitkanku pada kedatangan pertamaku di Australia. Pertemuan yang membuat aku gugup, karena sudah lama kunantikan. Aku mendengar nama mereka sejak tiga bulan lalu, tapi tidak mengenal mereka sama sekali. Julie yang pertama menghampiriku di ruang tunggu. Ia langsung menyapa. Camilla dan Samuel berjalan di belakangnya. “Hi Andi…, how are you?” Julie langsung mengenalku karena sebulan sebelum berangkat ke Australia aku mengirimkan foto dan profil video serta informasi singkat mengenai diriku. “Hi…. I’m fine.” Julie tersenyum padaku. Aku membalasnya dan mengulurkan tangan untuk menjabatnya. Kemudian aku menyalami Camilla, tapi tiba-tiba perempuan itu memelukku. Erat, seperti memeluk anggota keluarga yang sudah pergi lama dan baru kembali. Wow…! Aku terkejut dan salah tingkah. Ini belum berhenti, kini giliran Julie yang memelukku. Sungguh, aku jadi kikuk dan tersipu. Dag…, dig…, dug…, jantungku berdegup kencang. Aku dipeluk dua lesbian di depan umum di ruang tunggu bandar udara di Canberra. Samuel kemudian mendekat dan menjabat tanganku. Ia tersenyum ramah. Aku langsung bisa menangkap kesan bahwa ia seorang remaja yang ramah dan baik. Sambutan kedatanganku cukup singkat. Setelah perkenalan itu, Julie memintaku untuk langsung berjalan menuju area parkir, memasukkan ransel ke mobil, lalu pulang ke rumah. Mereka khawatir aku kelelahan setelah penerbangan panjang dari Jakarta - Kuala Lumpur - Gold Coast dan disambung penerbangan lokal Brisbane - Canberra. Di mobil, dalam perjalanan pulang ke rumah, tak banyak yang kami bicarakan. Kaku. Aku masih merasa gugup untuk memulai percapakan. Kusadari ini salah besar. Untungnya ada Samuel. Informasi yang kudapat soal kegilaannya pada sepak bola menjadi modal bagiku mencairkan suasana. Aku mulai bertanya pada Samuel soal klub favoritnya, idolanya dan perkembangan terkini Barclays Premier League, La Liga, Serie A, hingga Bundesliga. Terima kasih untuk Samuel, karena menyelamatkanku malam itu. Sisa momen pertamaku malam itu kuhabiskan untuk makan, berbincang sejenak dan istirahat. Ketika akan masuk ke kamarku, aku mengucapkan “good night” untuk Julie, Camilla, dan tentu Samuel. Ada kejutan lagi. Julie dan Camilla bergantian memelukku dan mencium pipiku, kiri dan kanan. Ini adalah ekspresi rasa sayang, ciuman pipi pertama setelah ibuku melakukannya terakhir kali sebelum ia meninggal dunia lima tahun silam. “Good night, Andi. Have a nice dream,” kata Julie. Ia melambaikan tangan dan tersenyum. Camilla dan Samuel juga. Aku tidur dengan menyisakan penasaran. Apa yang akan terjadi besok antara aku dan keluarga lesbian ini? Bisakah aku bertahan dengan mereka? Terus terang sejak awal aku bingung harus menganggap apa Julie dan Camilla. Soalnya mereka pasangan lesbian. Jika Julie kusebut sebagai kepala rumah tangga, tentu ia bertindak layaknya seorang ayah. Tapi, Julie melahirkan Samuel, memasak, mencuci pakaian, dan mengerjakan tugas-tugas ibu rumah tangga. Tentu ia seorang ibu. Aku memanggi Julie dengan panggilan mom. Sebagai kepala keluarga Julie lebih dominan dalam pengambilan keputusan, meski semuanya selalu dimusyawarahkan. Misalnya soal kegiatan keluarga ini di akhir pekan, pengaturan keuangan, hingga jadwal rutin antar-jemput Sam dari sekolah. Tapi, bukan berarti Camilla seorang perempuan manja dan tidak mandiri. Sehari-hari ia juga menyetir sendiri ke kantor. Keluarga ini punya dua mobil, jadi tidak saling merepotkan ketika pagi berangkat ke kantor. Camilla juga memasak, mencuci piring dan pakaian. Soal kemandirian, nyaris tidak ada perbedaan antara Julie dan Camilla. Aku ikut menyebut Camilla sebagai mom. Sam sangat beruntung punya dua ibu dengan cinta kasih yang sama besar didapat dari keduanya. Jika ibunya yang satu menolak memenuhi permintaannya, misalnya membeli baju baru, Sam akan meminta kepada ibunya yang satu lagi. Terkadang, salah satu ibu setuju dan keinginan Sam tercapai. Tapi, ada kalanya kedua ibu sepakat menolak memenuhi permintaan anaknya. Sam diajarkan untuk mandiri dan tidak manja, meski ia anak tunggal. Aku jadi iri pada Sam. Ia mendapatkan cinta yang sangat besar. Dengan dua ibu, Sam bahkan tidak butuh ayah. Tapi, tetap saja, bagiku ini adalah keluarga yang aneh. Julie dan Camilla berteman sejak mereka kuliah di Australian National University (ANU), lalu memutuskan untuk hidup berpacaran pada tahun 1994. Sebelumnya, mereka adalah dua perempuan patah hati. Julie ditinggal menikah oleh lelaki yang dicintainya setelah beberapa tahun berpacaran. Camilla juga pernah berpacaran dan hubungannya kandas di tengah jalan. Keduanya saling mencurahkan isi hati. Mereka saling mengerti, saling memahami. Lalu rasa cinta itu tumbuh. Julie menyukai Camilla. Ia mencintainya. Dari awal Julie memahami bahwa cintanya pada Camilla adalah hal terlarang. Maka ia menyimpan perasaan itu sendirian, menunggu saat yang tepat untuk menyampaikannya pada Camilla. Julie tidak ingin terburu-buru karena saat itu Camilla sedang menjalin hubungan dengan seorang lelaki, teman kuliah Julie. Ia takut merusak suasana dan Camilla berbalik memusuhinya. Maka ketika Camilla kemudian ditinggalkan oleh kekasihnya, Julie merasa menemukan saat yang tepat. Ia menyatakan cinta, dan Camilla menerima. Mereka berpacaran, tapi harus menyembunyikan kisah mereka dari teman-teman, saudara dan keluarga. Di masa itu, awal tahun 90-an, pasangan homoseksual adalah hal lumrah dan masyarakat di sana menghormati ekspresi itu sebagai hak azasi dan kemerdekaan seseorang. Tapi, Julie dan Camilla masih canggung untuk mengumumkan hubungan mereka, terutama kepada keluarga dan orang-orang terdekat. Baru pada tahun 1995 mereka berani buka-bukaan mengenai hubungan itu. Hal yang paling dikhawatirkan Julie kemudian terjadi. Ibunya sangat marah. Julie kemudian berkomitmen untuk sehidup semati dengan Camilla. Ia mengambil resiko, dengan meninggalkan rumah dan merantau sendirian di Canberra. Ia tidak pulang ke rumah bertahun-tahun. Sekali-kali ia menjenguk ayahnya. Ayah Julie berpikiran lebih terbuka dan bisa menerima keputusan anaknya. Berbeda dengan Julie, Camilla lebih aman. Ayah, ibu dan tiga saudaranya bisa menerima keputusan Camilla untuk hidup bersama Julie sebagai pasangan sesama jenis. Keluarga ini sangat toleran dan plural. Julie dan Camilla kemudian membuat rencana untuk melahirkan anak. Masing-masing satu. Mereka sepakat memutuskan Julie akan hamil lebih dulu, dengan mengandung bayi tabung. Seorang teman, bersedia mendonorkan sperma agar Julie bisa hamil. Dan, berhasil. Setelah perjuangan panjang, pada Agustus 1999 pasangan ini dikaruniai anak laki-laki. Ia adalah Samuel Whitmore. Dua tahun kemudian Camilla yang mencoba untuk hamil dengan donor sperma, seperti yang dilakukan Julie. Ia mencoba beberapa kali, tapi gagal karena keguguran. Keluarga ini tidak berhasil mendapatkan seorang adik untuk Samuel. Kehadiran Sam membawa berkah bagi keluarga ini. Ibu Julie akhirnya memaafkan dan bisa menerima kembali anaknya setelah empat tahun tidak saling bicara. Orang tua Julie akhirnya punya seorang cucu. Di awal-awal perkembangan Sam sebagai bocah, Julie dan Camilla sempat khawatir anaknya kelak akan sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya adalah lesbian, terutama karena keluarga ini tinggal berdampingan dengan para tetangga yang semuanya memiliki ayah dan ibu. Khawatir Sam akan minder dan sulit bersosialisasi. Tapi, kekhawatiran itu tidak terbukti. Kepada teman-teman sepermainannya, Sam dengan bangga mengatakan ayahnya sedang bekerja di Indonesia. Dan memang benar, ayah biologis Sam kini tinggal di Indonesia. Dan tentu, ia sangat bahagia mengaku punya dua ibu yang sangat mencintainya. Teman-teman Sam umumnya sejak awal memahami bahwa Sam adalah anak dari pasangan lesbian, dan itu tidak menjadi masalah bagi mereka. Para orang tua di Australia umumnya membekali anak mereka dengan pemahaman norma-norma sosial yang cukup sejak dini, sehingga toleransi atas perbedaan bisa sangat mudah diterima di masyarakat. Berbeda dengan situasi di Indonesia, di mana pembicaraan orientasi seksual sesama jenis atau memiliki anak dengan donor sperma masih sangat tabu untuk dibicarakan. “Teman Sam, semasa kecil dulu, sering menangis dan mengeluh kepada orang tua mereka. Mereka berharap bisa seperti Sam, hidup dengan dua ibu. Ini berarti ibu-ibu harus merelakan suaminya menikah lagi,” kata Julie, bercerita tentang masa kecil Sam. Mereka Tidak Beragama Bukan hanya aneh karena Julie dan Camilla pasangan lesbian, lalu Samuel adalah anak lahir dari hasil donor sperma, tapi keluarga ini tidak beragama. Ini bukan masalah bagiku, karena aku sendiri memposisikan diri sebagai muslim yang cukup toleran dan menghormati agama dan keyakinan orang lain. Tetap saja, ini adalah hal baru bagiku. Aku harus tinggal bersama mereka. Tapi, aku kemudian sepenuhnya sadar. Bahwa meski keluarga ini tidak beragama, mereka sangat menghormati aku sebagai muslim. Tiga bulan sebelum aku datang, mereka sudah menanyakan apakah aku akan baik-baik saja tinggal di rumah yang memelihara anjing. Sebelum aku tiba, Julie bahkan sudah mengumpulkan informasi tentang ibadah seorang muslim. Ia mencetak jadwal shalat yang didapatnya dari internet, berikut informasi tentang alamat mesjid dan komunitas mahasiswa muslim di Canberra. Aku sangat senang karena mereka peduli dan mau menanyakan itu. Di rumah, aku disediakan kamar khusus. Ini sebenarnya kamar Samuel, yang disiapkan untukku selama aku tinggal bersama mereka. Sebelum aku datang, mereka membersihkan kamar ini, merapikannya. Sprei dan sarung bantal diganti. Karpet diganti, agar tidak ada bekas najis anjing yang tertinggal dan aku bisa shalat tanpa ragu soal kesucian. Padahal sebelumnya aku sudah mengabari, agar mereka tidak terlalu memusingkan soal tempat, apalagi sampai menyediakan ruang khusus shalat. Soal anjing, memang aku kemudian tidak bisa berkutik dan berkomentar banyak. Aku harus beradaptasi dengan Honey, anjing persilangan Labrador dan Pudel kesayangan keluarga ini. Menunjukkan sikap jijik atau keberatan justru akan membuat mereka tersinggung. Maka aku mencoba untuk tak bereaksi belerbihan. Beberapa kali aku sengaja memakai baju lusuh yang sengaja kusiapkan, agar bisa bermain dengan Honey, melatihnya berguling dan menyentuhnya. Aku membiarkan Honey menjilat celana atau bajuku. Jika ia menjilat tanganku, aku akan menyucikannya sebelum mandi dan shalat. Sehari-hari, misalnya sedang dalam perjalanan jauh dan tidak menemukan tempat untuk beribadah, Julie atau Camilla akan menanyakan apakah aku boleh menunda shalat atau menggantikannya ketika di rumah. Mereka menjelaskan padaku bahwa akan sulit menemukan tempat beribadah di luar rumah, dan tidak semua orang di Australia bersikap toleran pada muslim selaku minoritas. Tentu aku tidak keberatan. Begitu juga di hari Jumat, ia menanyakan apakah aku boleh meninggalkan jamaah shalat Jumat. Mesjid berada cukup jauh di luar kota, orang tua angkatku sedang bekerja dan tidak bisa meninggalkan kantor, dan aku tidak tahu jalan menuju mesjid. Aku juga tidak keberatan. Aku meminta mereka tidak khawatir soal itu. Ada yang menarik. Keluarga ini tidak beragama, namun ada beberapa patung dewa Hindu di rumah. Di tengah kolam kecil di halaman dekat kamarku ada Ganesha, dewa ilmu pengetahuan. Tapi, Camilla justru tertarik pada ajaran Budha. Ia tidak menganut, tapi mempelajarinya. Menurut Camilla, ia menemukan kedamaian di sana. Sepintas aku pernah berharap suatu saat Camilla akan mempelajari Islam juga. Hidup Penuh Cinta Selama berada di keluarga ini, khususnya di antara dua ibu angkatku yang lesbian, aku melihat banyak hal menarik. Aku terus berinteraksi dengan mereka dan melihat tingkah laku mereka sebagai pasangan abadi. Sering aku bertanya dalam hati, mengapa mereka bisa saling mencintai? Akankan mereka bersama sampai mati? Mereka sudah tinggal bersama 20 tahun. Aku melihat bagaimana cara mereka saling menyayangi. Setiap pukul 7.30 pagi, Senin hingga Jumat, aku akan berangkat bersama Julie ke kota. Pertama menjemput Yannick (teman sekelas Samuel), mengantarkan ke sekolah, lalu ke kantor. Setiap kali mobil sudah melaju setengah perjalanan, Camilla yang selalu berangkat belakangan sendirian ke kantor akan menelepon Julie. Atau sebaliknya, Julie menelepon Camilla sambil menyetir dan percakapan itu melalui speaker phone. Mereka saling memanggil sayang; honey, darling, sweetie. Lalu menanyakan kabar masing-masing. Padahal, baru setengah jam mereka berpisah. Saat waktu istirahat di kantor, Julie beberapa kali mengajakku makan siang. Tetap saja, mereka melakukan percakapan telepon untuk memastikan semuanya baik-baik saja dan bisa melewati hari yang menyenangkan. Ada kalanya mereka bertingkah seperti pasangan kekasih berusia muda. Misalnya ketika makan malam di rumah, mereka tiba-tiba saling tatap dan saling membuat bentuk wajah aneh; mata juling, bibir monyong. Aku sering tertawa melihat kelakuan mereka. Sering mereka berdua tertawa terbahak-bahak hanya karena kelucuan kecil. Cinta mereka sepertinya akan bertahan sampai mati, karena mereka memiliki dua hal yang belum tentu dimiliki pasangan “nomal”; pertama, mereka saling memahami, mengisi dan memperlakukan pasangan dengan sangat baik. Memperlakukan kekasih selayaknya kekasih. Kedua, pasangan ini bisa menemukan bahagia dari hal sekecil apapun. “Pernah suatu hari kami ribut, cek cok, karena ada kesalahan atau kelalaian saat menjaga Samuel ketika ia masih bayi. Tapi, tidak pernah lebih dari itu. Kami tak pernah bias jauh,” kata Camilla, bercerita tentang satu-satunya masalah rumah tangga yang terjadi antara ia dan Julie. Aku juga merasakan bagaimana pasangan ini menyayangiku. Setiap pagi, Julie atau Camilla akan mengetuk pintuku dan mengucapkan selamat pagi, menanyakan apakah tidurku cukup nyenyak, atau menanyakan apakah aku akan menyiapkan sarapanku sendiri atau mereka yang akan menyajikannya untukku. Mereka sering menelpon untuk menanyakan aku sedang berada di mana dan melakukan apa, untuk memastikan aku baik-baik saja dan tidak tersesat saat bersepeda di jalanan Canberra sendirian. Setiap sore mereka juga menelponku, biasanya menawarkan untuk bertemu di suatu tempat di pusat kota Canberra untuk duduk mengobrol dan minum secangkir hot chocolatte sebelum pulang, atau menanyakan apakah ada sesuatu yang ingin aku beli dan mereka akan membelinya. Ketika aku pulang, anggota keluarga yang lebih dulu tiba di rumah akan menanyakan bagaimana kabarku sepanjang hari, untuk memastikan aku senang dengan kegiatanku. Julie akan menanyakan menu makan malam apa yang aku inginkan. Camilla akan mengajakku berdiskusi. Samuel, jika tidak sedang menyelesaikan pekerjaan rumah, akan mengajakku bermain X-Box, eksperimen fotografi, atau menonton pertandingan sepak bola di televisi. Pada akhir pekan, rutinitas yang kusukai adalah ikut belanja ke farmers market di pinggiran kota Canberra. Pasar ini adalah tempat para petani menjual hasil pertanian organik. Beberapa teman Julie atau Camilla berjualan di sana. Aku sangat senang ikut belanja bersama mereka, karena akan mendapat teman baru. Apalagi, Julie dan Camilla dengan bangga menceritakan ke teman-teman bahwa aku anak angkat mereka. Di akhir pekan lainnya, Camilla mengajak aku ke Kosciuszko, puncak tertinggi di benua Australia. Aku pernah bercerita padanya tentang cintaku pada gunung, juga tentang seumur hidupku aku belum pernah bertemu salju. Juga, tentang keinginanku untuk berbaring di atas hamparan salju tanpa memakai baju setidaknya sekali sebelum aku mati. Ibu angkatku ini menyusun rencana. Ia mengajakku melakukan dua hal sekaligus, ke gunung dan mencari salju. Aku dibuat sangat senang. Satu bucket list telah tercapai. “Satu keinginanmu sudah tercapai, Andi. Soal Amsterdam, aku yakin kamu akan ke sana suatu hari. Berada di Australia hanyalah batu loncatan untuk mencapai Belanda,” kata Camilla, setelah ia memotretku di hamparan salju Kosciuszko. Saat malam tiba, Camilla dan Julie akan memelukku dan mencium pipiku sebelum mengucapkan selamat tidur. Mereka sangat menyayangiku. Aku merasa menjadi bocah lagi. Sayangnya, cerita indah bersama keluarga ini berakhir begitu cepat. Ada rasa sedih dan haru ketika Julie dan Camilla mengatur rencana makan malam untuk perpisahanku pada Selasa malam 18 November 2014. Dalam hati, aku ingin perpisahan ini tidak terjadi. Apalagi sampai ada farewell dinner. Aku merasa ingin tinggal lebih lama, hidup dalam kasih sayang yang menghangatkanku di setiap hari yang dingin di pinggiran Ellendon Street. Tapi, aku harus pulang ke Indonesia. Contemporary Art Gallery di Commonwealth Park adalah tempat terakhir kali aku bertemu Camilla, Rabu 19 November 2014 siang. Ia memelukku erat dan mencium pipiku ketika aku bersiap-siap pergi dan mengucapkan selamat tinggal. Mataku berkaca-kaca. Aku melihat ia sedih saat memelukku dan mengucapkan kata perpisahan. Aku tidak ingin berada lebih lama di sana dan telihat cengeng karena menangis. Aku akan sangat merindukannya. Dan bagian terberat dari perpisahan terjadi lagi. Aku masih harus mengucapkan selamat tinggal dan memeluk Julie serta Sam. Aku menyambangi mereka di 12 Moree Street sore itu, tidak lama setelah perpisahanku dengan Camilla. Ibu dan anak ini memelukku sangat erat, seperti tidak akan membiarkanku pergi. “Don’t leave…!” Samuel memelukku erat. Aku membalasnya, memeluknya lebih erat. Mungkin ia akan kesepian setelah aku pergi, karena tidak ada lagi teman yang bisa diajak untuk bermain X-Box sepulang sekolah, atau bersepeda sepanjang hari, bermain sepak bola, mencoba trik fotografi menjelang tengah malam. Julie adalah orang yang paling banyak menghabiskan waktu bersamaku selama aku di Australia. Aku akan selalu merindukan kenangan ketika setiap pagi ia menyetir dan aku duduk kedinginan di sampingnya. Atau, kenangan ketika kami berdua ke farmers market setiap Sabtu pagi, melatih Honey duduk dan berguling, makan ice cream di tepi Danau Burley Griffin, tertawa terbahak-bahak saat dinner di restoran oriental di Dickson, dan perang bola salju di Kosciuszko. Akan ada banyak ingatan tentangnya. Sulit melepaskan pelukannya. Ia begitu tulus. Sejak pertama bertemu di Canberra Airport hingga berpisah di Moore Street, ia selalu mencoba membuatku bersemangat. Tidak ada hal yang lebih baik yang kudapat selama tinggal di Australia, selain kasih sayang dari perempuan luar biasa ini. Dan akhirnya kami berpisah. Bahkan hanya beberapa menit setelah aku pergi, aku mulai khawatir akan merindukannya esok pagi. Andi Irawan Sydney, 20 November 2014 There is no more interesting thing in Japan except staying with host family and exploring wonderful places. Spending time with new family makes me feel like at home. Moreover, Japan is paradise of wonderful places which always make people never feel bored. This is what i always call “Explore the unspoiled beauty of Japan”.
Taking part in homestay program of Gerakan Mari Berbagai makes my dream to explore the unspoiled beauty of Japan come true. It’s really valuable opportunity for me. As what i planned before, i had prepared some places to visit. Fortunately, i have 4 cities to visit as part of my homestay program’s agenda. They are Tokyo, Yokohama, Kyoto and Osaka. It means that i have my time to explore the wonderful places in those cities. One thing makes me more excited is i have opportunity to visit some ancient cities since i love to learn history. I just feel impressed when step on the cities which is center of civilization in the past. The most gratified thing about exploring wonderful places is confirming some pictures i saw before visit in Japan. It’s fun when see the real one and compare them to the picture which i usually see in internet. That’s all make me feel amazed. Seeing is believing. It’s simple way to make me believe in my self about travel i do. After had a travel in 4 cities in Japan, there are some wonderful places which make my travel impressed. They should not be missed when visit in Japan. As what i stated, i call them the unspoiled beauty of Japan. Here the places: 1. Kamakura, Tokyo Kamakura is ancient city which is located in prefecture of Kanagawa, south west of Tokyo. This is a place i really want to visit. Not only because of the ancient shrine but also the story behind. It’s center of Japan Government in 13th century. Kamakura is often mentioned as a former de facto capital of Japan as the seat of the Shogunate and of the regency during the Kamakura period. Kamakura looks like a city which never die. I can feel how this city take important role for Japan. I can find a way which is used as war strategy in the past. Not only that, i also can enjoy the view of old shrine in highland which stand with other Torii (Big gate of Shrine) and make straight line. It’s amazing. One thing should not be missed in Kamakura is visit to big statue of buddhism. It shows the the grandeur of buddhism in Japan. I enjoy the green view around the big statue which is complete with the shiny sky. 2. Minato Mirai, Yokohama Because i stayed with my host family in Yokohama, i had my time to explore Yokohama more than others. Minato Mirai is always the best choice for sightseeing and enjoy the unspoiled beauty of Japan. For me, Yokohama is a place to enjoy the view of sea. I never feel bored to visit in Minato Mirai although i have 4 times to go there during my homestay program. There are many beautiful views. I can see the view of sea with big wheel near of. Not only that, the big building around the sea make it looks great. The views i really like are two historical ship of Japan. They are Hikawa Maru and Nippon Maru. I feel lucky to see inside of these ships. Many stories about how these ship go around the world at their own period. For me, there are two good places to enjoy view of Minato Mirai. The first is on the ship. I can see the beauty of Yokohama’s sea with the wind which make me feel relax. People who take a walk around in the park and the colorful of trees also become good view. The second is in the tower. Marine tower and Landmark Tower are two towers i choose to see full view of Minato Mirai. The night view is the best because i can see the light which make the sea look colorful. 3. Kinkaku-ji and Fushimi Inari, Kyoto As Kyoto is called “City with thousands of shrine”, so i have to prove it. I have to say that Kyoto is very amazing. It has many shrines and temple which has various shape and story behind. I believe, people will always be excited to explore Kyoto. Many places wait for us to visit. Among the beautiful shrines and temple, Kinkaku-ji and Fushimi Inari are two places which make me impressed. I feel amazed when see them. Kinkaku-ji is a great temple for me. It has gold paviliun which is surrounded by small lake. I believe, i can’t find this scenery in the other place. It looks luxurious with phoenix statue on the top of paviliun. Kinkaku-ji is a proof of the greatness of Japan’s culture since 600 years ago. That’s why Kinkaku-ji is like symbol of Kyoto. Another thing which make Kinkaku-ji different with others is many great leaders in the world do visit every year. Another wonderful place that makes me impressed is Fushimi Inari. It’s a shrine with many orange Torii (gate of shrine). Everything is orange. It’s really amazing. One of the unique thing in this shrine is we can see many statues of fox. They looks like guard that protect the shrine. Another view is a way filled with so many orange torii. Each of torii stands closely and arranged. Not only that, the pole of Torii also has letter of Japanese that has its own meaning. 4. Osaka City I also had my time to visit in Osaka. Osaka is in the Kansai region of Japan. I always love Osaka’s history. It’s been known as the nation’s kitchen and served as center for the rice trade during the Edo period. That’s why i decided to go around Osaka city especially to market and food center. Most of the restaurants have red crab as icon of Osaka. It’s almost everywhere. Traditional food is easily to find. In Osaka, i also found many beautiful rivers and bridges. It’s really beautiful since Osaka’s also known as water metropolitan. Moreover, a travel in Osaka is not complete if not enjoying the bustle and view of high building as part of Osaka as major economic hub. Arnaldi Nasrum, Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 Participant of GMB Homestay Program 2015 Ya, Jepang! Aku mengenalnya dari mereka, para volunteer GMB Young Leaders Homestay Program. Mengantarkan tapakku menjangkau sebuah impian dalam angan. Menambahkan check list pada deretan goal yang menanti untuk dicapai. This’s real, guys. GMB membukakan sebuah pintu bagiku dan pintu itulah yang membukakan puluhan pintu lainnya dalam perjalananku, bahkan tidak hanya pintu yang terbuka melainkan beragam jendela pun terbuka lebar, menyambut hangat dengan kekayaan pengalaman dan nilai. I love you, Bang Az! Berkat kekokohan komitmen, Bang Az membawa kami pada sebuah tantangan besar yang membuat kami menangis pada titik akhir karena suatu keberhasilan dan nilai yang mendewasakan kami.
Aku terharu dengan cara Bang Az mendidik kami, terima kasih atas kesempatan emas yang kau amanahkan. Dan Kak Dede, seorang mentor yang super hebat dan detil. Sering kali aku merasa malu saat Kak Dede terlihat tak pernah lupa tentang apapun dan selalu mengingatkan hal-hal kecil pada kami. Kakak menyiapkan semuanya dengan sempurna, mendidik kami sebagai seorang ayah, kakak, teman, bahkan sahabat. Arigatou gozaimashita. Aku tidak akan pernah berhenti belajar banyak hal dari dua orang ayah teladan di keluarga besarku, Gerakan Mari Berbagi. Terima kasih keluarga besarku, GMB. Kau berada dalam rangkaian coretan berharga pada setiap tapak perjuanganku. Begitu pun hari ini. Coretan menjelang akhir program homestay, aku membuat sebuah catatan kecil yang menyatakan bahwa setelah kembali ke Indonesia, aku harus membuat agenda utama untuk melakukan kunjungan ke lembaga pemerintahan, pendidikan, perusahaan, pabrik industri, komunitas pemuda dan sosial, serta ke suatu tempat yang akan menunjukkan beragam kekayaan Indonesia sebelum aku benar-benar menyatakan, “Iyaa, di negaraku gak ada yang seperti itu”. Miris rasanya saat tahu, menyaksikan langsung, dan mengalami di sini tentang segala sistem yang sangat bersih. Lu tau sampah, Bro? Gue yakin lu tau sampah bahkan yang berserakan di jalan. Di Tokyo, aku cuma sekali nemuin sampah di tempat umum dan itu cuma satu kaleng bir yang nangkring di atas pagar, sumpah itu serasa menang banget saat menemukannya karena setiap aku berjalan, bayangan Indonesia sangat nyata di kepala. Semua ini hal baru bagiku. Setiap kali masuk rumah harus cuci tangan terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas yang lain, gak bisa buang sampah di sembarang tempat sampah karena ada lima deret tempat sampah dengan jenisnya masing-masing. Sampah pun harus disucikan sebelum dibuang, serasa memanusiakan makhluk yang tak hidup karena sampah di sini mampu menghidupi masyarakat Jepang. Sering kali aku berseru, “Buset dah, kagak ada ampas sama sekali mah di sini, semuanya diolah dan bermanfaat lagi!” Kadang aku mikir, buat apa ribet bawa botol minum dari Indonesia kalau aku bisa minum di mana pun di sini, kran air mudah ditemui dan bisa langsung minum sepuasnya. Gak berhenti di situ, guys. Pekerja proyek bangunan waktu itu nyapa dan senyum pada setiap orang yang lalu lalang di hadapannya. Semua detil diperhitungkan seperti tingkat kebisingan pembangunan gedung yang ditayangkan pada satu layar kecil (aku gak tau pasti nama alatnya), so semua orang bisa memantau. Satu nilai utama dari beragam nilai yang diperoleh selama aku di Jepang, ini adalah negara yang memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara optimal dari sekecil-kecilnya sumber daya tersebut dan memberikan peluang serta menyambut hangat seluruh warganya dalam kesetaraan sosial. Jepang mengelolanya secara sistematis dan tentu dengan kesadaran pada hampir seluruh warganya. Jalur kereta hingga lima tingkat di bawah tanah, ini menjelaskan bahwa kemacetan bukan cerminan kota besar, sedikit nyindir lah yaa tapi apa yang sudah aku lakukan untuk Indonesia? Melatih orang-orang difabel dengan berbagai keahlian dan memberikan mereka suatu peluang kerja di setiap tempat yang diakui oleh hukum. Aku belum tahu pasti ini ada atau tidak di Indonesia, tapi aku rasa belum ada, (tolong koreksi aku kalau ini keliru). Tuhan, sedih rasanya menyaksikan banyak perbedaan dengan Indonesia. Aku kagum dan kadang sedih bahkan benci pada Jepang, negara ini sama sekali tidak membuatku tersesat karena Jepang memberikan semua petunjuk secara jelas. Semua berjalan secara rapi dan terstruktur. Masyarakatnya menyambut tamu sebagai keluarga baru. Aku kagum dan cinta pada kondisi ini. Namun, aku sedih menyaksikan orang yang aku tau mereka tidak bodoh, bahkan sangat cerdas menjadi seorang homeless. Yap, banyak sekali yang tercatat dalam perjalanan ini. Pemikiran sementara yang membedakan Indonesia dan Jepang adalah bukan hanya soal suka atau tidak suka, tetapi suatu kebiasaan yang tertanam secara utuh dan menjadi suatu pola dan budaya hidup masyarakat Jepang yang membuat negara ini maju dan besar di mata dunia. Indonesia pun mampu untuk itu tanpa menghilangkan karakter asli masyarakat Indonesia yang akan menjadi pondasi terbentuknya sistem baru yang rapi dan bersih. I love, Indonesia!. Kyoto, 2014/11/26. Penulis : DevI, GMB 2014 Setiap orang memiliki episode hidup masing-masing, aku, kamu dan kita semua. Saya percaya dengan kalimat diatas, ya setiap orang memiliki perjalanan dan kisah hidup berbeda-beda. Mungkin sebagian besar orang menganggap perjalanan keluar negeri identik dengan belanja, jalan-jalan ketempat hiburan atau berfoto ria ditempat-tempat terkenal. Agak sedikit berbeda dengan saya karena perjalanan ini merupakan perjalanan pertama saya keluar negeri yaitu ke Australia tepatnya di Brisbane. Perjalanan ke negeri kangguru kali ini merupakan impian saya sejak lama sehingga perasaan campur aduk antara gugup dan takjub. Gugup karena berhadapan langsung dengan orang berbeda Bahasa, warna kulit, makanan, pergaulan dan budaya serta takjub dengan segala aturan yang berlaku di negara ini. Brisbane adalah sebuah kota kecil yang sangat rapi dari penataan bangunan, alur lalu lintas, penanganan sampah, masalah listrik, dan hal lain yang penting menurut penduduk setempat. Di kota ini semuanya seakan hidup dalam keteraturan dan tidak merusak satu-sama lain. Saya sangat terkesan dengan banyaknya hal baru yang saya temukan disini, dari suara burung ditengah kota hingga anjing yang begitu ramah pada orang disekelilingnnya. Kota ini tertata dengan rapi dan sangat bersih, listrik tidak pernah padam selama saya disini, tidak macet, dan udara juga sangat bersih karena banyaknya ruang terbuka dan pohon-pohon tumbuh subur bisa dijumpai dimana saja. Disini burung-burung bisa terbang bebas tanpa merasa terganggu oleh orang disekitarnya bahkan sesekali mendekati kerumunan orang yang seolah-olah mereka yakin bahwa mereka tidak dibunuh. Keadaan ini sangat berbanding terbalik dengan Indonesia dimana orang-orang bebas memperdagangkan dan mengoleksi burung kesukaan mereka, disini pemerintah setempat menerapkan aturan yang sangat ketat terkait kepemilikan burung. Setiap pemilik burung harus memiliki lisensi, proses untuk mendapatkan lisensi tersebut sangat lama dan tidak semua orang bisa mendapatkan lisensi tersebut. Penerapan aturan dilakukan untuk menjaga kelestarian satwa yang ada disini.
Selain peraturan tentang kepemilikan burung, disini juga pemerintah sangat memperhatikan tentang penebangan pohon dan penggunaan lahan, semua harus dilakukan sesuai dengan porsinya, sehingga tidak heran bahwa disini pohon sangat banyak dan udara begitu segar pastinya. Saya tidak menjumpai lahan kering dan kotor melainkan lahan yang begitu hijau sejauh mata memandang. Dengan penduduk yang tidak terlalu padat sehingga kota ini merupakan kota yang sangat bagus untuk melakukan perjalanan dan proses belajar. Memiliki mobil adalah hal biasa disini dan hampir semua orang disekitar tempat tinggal saya memiliki kendaraan roda empat itu. Selama disini saya sangat jarang melihat polisi maupun karyawan SPBU karena disetiap lampu merah dan SPBU telah dipasang CCTV dan polisi memantau perkembangan lalu lintas melalui CCTV tersebut. Sama halnya di SPBU, proses pengisian BBM dilakukan secara mandiri oleh pembeli dan pembayarannya bisa menggunakan kartu kredit atau tunai pada petugas di kantor SPBU tersebut. Pelanggaran lalu lintas di kota ini sangat kecil karena sebagian besar pengendara mengerti aturan dan mereka juga harus memiliki surat izin mengemudi. Penggunaan transporasi public sangat popular disini dan akses transportasi juga mudah didapatkan, hampir daerah kita bisa menemukan tempat khusus tuk menunggu bus. Bagi orang baru kita tidak perlu khawatir karena petunjuk dan rute bus sudah jelas, kalau kesasar sopir bus dan orang-orang sekitar sangat rama dan membantu menunjukan arah bila kita tersesat disini. Australia merupakan negara yang menjamin kebebasan beragama bagi semua penduduknya, kebebasan ini bukan hanya isapan jempol belaka tapi memang di implikasikan dalam kehidupan nyata sehingga kerukunan beragama disini sangat terjaga lagi pula kebanyakan orang disini tidak mau membahas masalah agama karena menurut mereka agama adalah hal personal. Disini tidak ada orang yang mempermasalahkan apa agamamu yang ada hanyalah ruang untuk melakukan aktivitas keagamaan masing-masing tanpa merusak atau membujuk orang lain tuk masuk keagama lain sesuai dengan kepercayaan orang tersebut. Sebagai seorang muslim dinegara yang mayoritas kristen saya merasa aman menjalankan ritual keagamaan saya dimana pun. Berkunjung kenegara luar yang menjadi ketakutan utama saya adalah soal makanan, toilet dan kondisi cuaca yang sangat berbeda dengan kondisi cuaca di Palu. Saya sangat sensitive dengan makanan apalagi disini saya tinggal dengan keluarga baru yang begitu taat pada apa yang diimaninya dan sangat mungkin bagi mereka mengajak saya makan babi atau makanan sejenisnya yang dilarang oleh apa yang saya Imani. Tapi saya tidak menemukan itu disini, selama 21 hari saya mendapat perlakuan yang sangat baik menurut saya, dimana keluarga angkat saya tidak makan daging babi selama saya disini bahkan gereja tempat ibadah mereka pun tidak menyuguhkan daging tersebut karena mereka tahu saya muslim. Mendapat perlakuan seperti ini saya berguman pada diri sendiri alangkah indahnya hal seperti ini di wujudkan di lingkungan kita, sehingga tidak ada gesekan-gesekan terhadap umat beragama. Penulis: Yaumil Masri, GMB 2014 Sejak dua hari yang lalu sebenarnya saya mulai kangen dengan berbagai hal yang berbau Indonesia. Saya tidak tahu mengapa. Homesick (kangen rumah) ini datang terlalu cepat dari yang di perkirakan. Saya baru saja 5 hari di Tokyo, tapi seolah-olah saya sedang berada dalam mimpi panjang dan tak tahu kapan akan terbangun.
Hari ini merupakan hari ke-empat saya bersama host family. Sesuai dengan rencana, hari ini kami akan mengunjungi beberapa tempat di Tokyo dan bertemu beberapa teman Mrs. Kyomi di Restoran Italia. Sejak terbangun saya sudah merasa malas mengikuti kegiatan hari ini. Karena ketika saya di ajak keluar masuk toko branded dan berkumpul dengan orang-orang high class, saya merasa itu bukan dunia saya. Apalagi obrolan mereka yang tidak saya mengerti sama sekali. Bukan saja masalah bahasanya melainkan juga gestur tubuh dan cara bicara mereka. As we know, orang Jepang itu seperti orang jawa yang kurang bisa mengekspresikan apa yang dia rasakan. Sedih atau senang semua lebih banyak datarnya. Setelah berkeliling seharian, sesuai rencana hari ini kami akan memasak makanan Indonesia. Mereka sudah pesan supaya saya bisa masak nasi goreng original rasa asli Indonesia. Karena nasi goreng yang biasa di jual di restoran biasanya sudah di modif sesuai dengan lidah warga negara dimana restoran itu berada. With my pleasure, saya mulai memotong berbagai sayuran dan bumbu seperti bawang dan cabe. Ohya cabe rawit sangat sulit di cari di Jepang ya, saya membelinya ketika lewat di pasar Asia saat di ajak jalan-jalan bersama Lizar dan ayah angkatnya (sekali lagi saya merasa beruntung). Harganya pun lumayan mahal. Cabe dengan jumlah seukuran 2000 rupiah di Indonesia di jual 200 yen atau sekitar 20.000 rupiah di Jepang. Very expensive. Tidak lupa saya juga membuat minuman khas Indonesia. Wedang jahe lah pilihan saya. Bukan saja karena udara auntumn Japan sangat dingin melainkan juga karena ayah angkat saya sedang terkena flu. Jadi saya rasa wedang jahe adalah pilihan terbaik untuk menjaga badanya tetap hangat. 45 menit pun berlalu. Nasi goreng, mie goreng dan wedang jahe telah siap di sajikan di atas meja. Seusai mengucapkan “itadakimas” (selamat makan) kami lalu melahapnya. Sesekali di tengah makan mereka mengucapka “oishi”, kalau dalam bahasa Indonesia berarti enak. Saya hanya berfikir, mungkin mereka cuman menyenangkan hati saya saja. Jadi saya hanya menjawab “arigato gozaimas” (terima kasih) tanpa embel-embel apapun. Ketika acara makan selesai seperti biasanya kami ngobrol tentang banyak hal. Namun kali ini ada yang berbeda. Hari ini mereka tidak menanyakana bagaimana perasaan saya dengan kegiatan saya hari ini. Padahal mereka melihat wajah saya secara langsung yang kusut kayak cucian kotor. Mereka malah lebih excited untuk bicara tentang Indonesia. It’s okay mungkin mereka masih kebawa rasa nasi goreng Indonesia yang saya buat. Mereka mulai bercerita tentang makanan, pakaian dan keadaan yang mereka temui saat mereka mengunjungi Bali tahun lalu. Saya mendengarkan dengan seksama dan memberi respon sebisanya. Sampai akhirnya saya di buat terkejut oleh Granpa (Ayah Mrs. Kyomi) yang bergumam dengan bahasa yang sulit saya mengerti. Ternyata ayah Mrs. Kyomi mencoba menyanyikan sebuah lagu Indonesia. Lalu dia menanyakan tentang lagu tersebut kepada saya. Saya mencoba memperhatikan ucapan bibirnya dengan seksama. Karena pronounciation orang Jepang saat berbicara Bahas Indonesia sangat sulit di mengerti. And finally I find what he says. Dia sedang berusaha menyanyikan ‘Nona manis siapa yang punya....’. ahaaa....!. Sayapun berusaha meluruskan pronounciation yang salah. Lalu melanjutkan nyanyian nya. Sampai akhirnya kami semua yang berada di meja makan menyanyi bersama (saya, Mr. Takashi, Mrs. Kyomi, Ariko, Granda and Granma). Rasa sedih yang saya rasakan langsung lenyap. Sesekali kami tertawa terbahak. Mendengar granma salah mengucapkan kata-kata. Lalu mengulangnya kembali dan tetap salah. Namun granma tetap tak pantang menyerah hingga dia dapat melakukannya dengan baik. Yeey! Congratulation granma, jangan mau kalah dengan granpa yaa,.heee :D Mereka sangat terlihat senang menyanyikan lagu itu. Saat melihat mereka tertawa, dalam hati saya berkata. Mungkin inilah yang dinamakan bahagia. Sesuatu hal kecil yang bisa kita pahami lalu syukuri. Selama ini saya kemana saja. Mungkin memang banyak acara yang akan membuat bosan, namun kenapa saya tidak berusaha membuka diri untuk menikmatinya. Kita tak pernah tahu kapan yang kita lalui ini akan terulang kembali. Mungkin memang akan terulang atau bahkan tidak terulang sama sekali. Kalaupun terulang pasti rasanya tak akan sama. menyanyikan lagu yang berisi lirik yang sama itu mudah namun menjadi akan sulit jika kita tidak pernah belajar melakukannya. Sama dengan melihat orang beradaptasi dengan sesuatu yang baru itu gampang namun akan menjadi sangat sulit ketika kita tidak belajar memulainya. Jadi makna sedih itu bukan karena kita menangis namun tak ada yang menemani dan menenangkan. Melainkan sedih itu saat kita menangis namun tak berusaha untuk tersenyum padahal saat itu kebahagiaan di depan mata kita. Homesick itu akan semakin berat di rasakan tapi akan menjadi ringan saat kita berusaha menikmati apa yang ada di depan kita sekarang. Terimakasih keluarga baruku. Terimakasih karena telah mengajakku tertawa hari ini. So, lets sing together...’nona manis siapa yang punya, nona manis siapa yang punya, nona manis siapa yang punya, yang punya kita semua................’. (Written on 11 November 2014, by Tarikem Saryam) Ikutan Menyambut Natal? Kenapa enggak!
Natal merupakan moment yang sangat menggembirakan, orang-orang menyambutnya dengan penuh suka cita, bahkan sebulan sebelum waktunya sudah banyak persiapan yang dilakukan seperti yang saya dan komunitas gereja lakukan. Kami membuat beragam handicraft hiasan natal yang unik. Saya juga tidak mau ketinggalan pastinya, walaupun hasilnya kita lihat nanti, yang penting seru nya, hehe! Terdapat sekitar lebih kurang 7 meja, setiap meja sudah tersedia masing-masing bahan yang sudah siap untuk dikerjakan. Sebelum memulai, kami berdoa bersama. Dan uniknya dari keseluruhan orang yang ada di dalam gereja ini, hanya saya muslim dan memakai kerudung, tapi bagi saya ini merupakan moment spesial , dimana mereka menerima saya tanpa melihat saya memakai kerudung, saya muslim, dan saya juga merasa ini merupakan pengalaman unik dimana baru pertama kali bagi saya membuat hiasan natal di gereja, dan saya dapat ikut berpartisipasi untuk dalam perayaan upacara keagamaan saudara-saudara saya walaupun mereka bukan seagama dengan saya. Suasana ramai mulai terdengar, setiap orang berupaya memberikan hasil terbaik dalam karyanya. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia ada dalam kegiatan ini, menariknya dari kegiatan ini hanya khusus bagi wanita, hanya terdapat beberapa orang pria yang rambutnya mulai memutih yang menyiapkan hidangan bagi kami. Setelah selesai membuat hasil kerajinan, saya pun berkeliling untuk menyapa orang-orang disana, mereka sangat ramah, mereka menanyakan saya berasal dari mana, dan sedang melakukan apa disini dan tanpa diduga seorang nenek yang bernama Susie mengahdiahkan gantungan hiasan natal yang ia buat sendiri. Sangat senang bisa berbagi disini. Berbagi meski berbeda, Indah Rastika Sari Diskusi pagi ini di SBS bersama Mas Ricky adalah agenda yang tidak direncanakan namun sangat membekas. Setelah menyelesaikan berita untuk 2 segmen, Saya dan Mas Ricky memutuskan untuk menikmati indahnya suasana pagi di SBS ditemani kopi hangat, sebelum take recording di studio. Well, I like it, very much. Dalam suasana hangat dan penuh semangat, kami duduk di tengah ruangan lantai dasar, tempat dimana sebagian pegawai lainnya, talent, host, pembawa berita, bahkan manager divisi berlalu-lalang. Nggak ada suasana gosip-menggosip, semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing; mengejar deadline, tugas, semuanya harus selesai tepat waktu dan "on time". Yeah… disini diskusi aneh itu dimulai. Random sih sebenarnya, tapi mencakup semua hal yang ingin aku tahu untuk saat ini.
Diskusi dimulai dengan membahas 2 hal yang membuatku "stres" dan menjadi pikiran, pagi siang malam, selama beberapa hari disini adalah : 1. Bahasa. "Waduuhh,,, beruntung banget ya mereka yang terlahir di negera yang menggunakan bahasa inggris dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang terbiasa dari kecil dengan kehidupan yang serba independent, lingkungan yang disiplin, bersih, praktis dan sejenisnya" 2. Sistem. "Betapa majunya sistem disini, dalam hal apapun; transportasi, infrastruktur, pendidikan, kesehatan. Bahkan hanya untuk sekedar membayar parkir saja, dilakukan di awal dan tidak lagi dengan tenaga manusia, semuanya dengan mesin, dan itu benar-benar bikin bingung abisss !!! Mau parkir aja ribet euuyy.. -,-' Pembahasan mulai menarik ketika Mas Ricky menceritakan tentang bagaimana beliau bisa pindah dan tinggal di Australia, sudah 40 tahun lebih di Australia dengan modal awal hanya 2000 AUD. Can you imagine that ??? As we know, di zaman Soeharto terjadi rasis yang sangat tinggi di Indonesia, China cukup sulit mendapat tempat di masyarakat, sehingga mas Ricky (yang merasakan zaman itu) dengan kondisi keuangan yang kurang begitu baik memutuskan untuk pidah sekolah ke Australia, dengan hanya membawa uang 2000 AUD. Satu-satunya alasan memilih Australia adalah karena murah, setidaknya untuk saat itu. Hm… sebenarnya di Jerman juga murah sih, tapi bahasanya itu loh,, bikin puyeeng. Mas Ricky stres berat selama 1 bulan pertama karena "Bahasa", same with me. Ahahah, umum banget terjadi ya pada semua orang. Then, ia mulai menghafal minimal 3-4 kosa kata baru di setiap harinya untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya. Well, he did it hingga ia lulus sebagai Sarjana Enginering dan mulai bekerja. Good suggestion, I'll try it Menit berlalu berganti jam, dan sampai pada pembahasan mengenai keinginanku untuk melakukan hal yang sama. Yap, Aku ingin melanjutkan kuliah di luar negeri, melihat dunia luas dengan lebih bijaksana, make up my mind, and find mysef, bahkan to good to be true kalo aku bisa tinggal di menetap di luar negeri ! Wow,,, it will be great ! But, Did you know what he has said to me ? Mr. Ricky : "Sher, kalau kamu berpikir akan jadi seorang profesor, yeah you can. Atau mungkin seorang profesional ? I trust, u can reach it faster. You like entertainment ? You have gotten it. But, tempatmu itu bukan di luar negeri. Tempatmu itu di Indoensia. Indonesia butuh kalian para pemuda. Bayangkan jika Tuhan menganugerahkan kemampuan pada manusia dan kita membatasi diri untuk mengembangkan kemampuan itu ! Betapa egoisnya kita sebagai manusia ! 2 hal yang akan menghalangimu kalo kamu di negeri orang : 1. Kamu perempuan dan 2. Kamu bukan orang lokal. Hanya 2-3 orang Asia yang bisa jadi Menteri sepanjang negara Australia ini merdeka. Ayolah, berpikir lebih visioner, Sher ! Jangan egois… (sambil tersenyum) Sherly : "Whaatt ? What did you mean ?" Mr. Ricky : "Think it by yourself, please" Sherly : "Homework again ?? Arrggghhh !!!!" Sherly Annavita |
|