Aku sempat takut dan ragu saat akan beranjak menuliskan cerita ini. Ada banyak nilai kemanusiaan yang tersingkap dari setiap lajur cerita. Hingga akhirnya kutuliskan, namun jangan berharap akan segamblang kenyataanya. Dua lembar? Kurasa cukup untuk satu bab judul Novel.
Cerita ini berawal dari ke-penasaran-an-ku saat ku ketahui host family-ku selama di Brisbane adalah seorang pastur muda yang belum genap 30 tahun. Menarik. Aku berandai-andai membayangkan akan seperti apa kehidupan dua mingguku dirumahnya kelak. Dan beginilah ceritaku. *** Malam itu, malam kedua aku menginap dirumah Brian. Setelah malam sebelumnya Brian mengadakan perkenalan singkat terkait dirinya, keluarganya, dan lingkungan sekitar rumahnya, kini kami berdua duduk menghadap layar tv me-rilex-kan diri sambil melanjutkan proses perkenalan. Aku membuka pertanyaan. Pertanyaan yang membuatku ngos-ngosan menjalani hidup setelahnya. Brian, you said before you are Christian since you’re 19’yo? Could you please explain me? Gayung bersambut, pertanyaan itu disambar dengan lihai dan berhasil membuka lebar diskusi ketuhanan antar 2 insan yang berbeda pandangan. Beberapa kali aku dibuat berpikir keras oleh pertanyaan-pertanyaan simple atas keimanan terhadap tuhanku. Aku deg-degan setiap menjawab pertanyaan yang dilontarkannya. Kutarik jawaban paling bijaksana dari pemikiran filosofis seorang remaja berumur 23 tahun. Pemikiranku (saat itu, setidaknya kupikir itu jawaban bijaksana). “Tuhan punya kriteria tersendiri untuk memasukkan manusia kedalam syurga-Nya. Entah orang itu dari agama Kristen, Budha, Hindu, atau yang tidak beragama sekalipun. Yang bisa manusia lakukan adalah berusaha dengan hati yang tulus, bersih, ikhlas untuk mengharapkan ridhoNya disetiap langkah yang kita ambil. Islam adalah salah satu kunci untuk menuju Syurga, untuk menuju keikhlasan hati mengharap Ridho-nya. Yang kupercaya dan sangat kuyakini, Tuhanku adalah maha adil. Oleh karena itu, setiap kehendak Tuhan, aku yakin bahwa itulah yang terbaik. Apakah ketika Tuhanku memasukkan orang Kristen ke Syurga kemudian aku memiliki kemampuan untuk protes? Tidak sama sekali. Kehendaknya-Nya mutlak. Sekali lagi aku percaya, Tuhanku maha adil dan maha bijaksana”. Pernyataanku disambut hangat oleh Brian. “Not for me. God has His own standard to put one into heaven. God is pure, perfect. None imperfection can be one with perfection. As if a milk is pure, we add a sugar in it, then the milk isn’t pure anymore. It isn’t perfect milk anymore. Also for my God. He is perfect, none can be with him. All mankind is imperfect. None of them will be one with God on heaven. But, there is one way to make mankind becomes perfect after their imperfection. Jesus. Son of God. He will make us perfect in a day we are counted between our good and evil. I do believe on it”. Pernyataan kami berdua menutup diskusi singkat malam itu. Brian mengaku lelah dan pamit ke kamar. Begitupun aku. Bukan untuk tidur. Justru sulit bagiku untuk memicingkan mata barang sesaat. Aku terus terngiang segala cerita masa lampau tentang Jessus dan Rasulku Muhammad saw. Hingga tubuhku lelah berpikir dan tertidur. Minggu kedua aku ke gereja, suasana tak jauh berbeda. Yang Nampak sekali tidak sama adalah jumlah orang yang kukenal. Aku memiliki banyak teman sekarang. Di gereja yang mayoritas penggunanya adalah Chinese Christian, aku mengamati prosesi ibadah dengan duduk di kursi tengah. Hari ini Brian memberikan speech. Oleh karena itu, pagi ini kami berangkat ke gereja lebih awal dari biasanya (minggu lalu). Aku sempat memiliki rasa bersalah yang tinggi terhadap Pricilla, istri Brian karena kelakuanku memadukan dua culture tanpa sengaja, dan gagal. Hal itu tidak akan kubahas disini. Pricilla duduk disampingku. Aku menatap kearah Brian yang siap dengan pembukaan speechnya. Pricilla memberikan sebuah buku tersampul rapih kepadaku. “This is gift from Brian and me”, kusambut hadiah itu dengan sumringah, senyum lebar, dan ucapan “thank you” spontan dari lubuk hati. Seketika kubuka buku tersebut, Pricilla memberiku arahan sesaat, menuju surat Matthew. Ya buku itu adalah Bible, kitab suci umat kristiani. Ada satu paragraph tulisan tangan di halaman depan kitab dan aku gemetar, takut untuk membacanya. Aku memilih menunggu untuk membacanya di momen yang tepat. Saat sendirian. Perhatianku berpindah-pindah, kadang pada Brian yang sedang memberikan speech kadang pada surat yang kubaca. Aku terkejut. Speech yang diutarakanya di depan podium sebagian besar adalah yang disampaikan padaku. Kali itu, aku merasa ditampar berkali-kali. Banyak. Kalimat-kalimatnya seirama dengan kalimat beberapa kiai yang sempat memberikan ceramah dalam kesempatan khutbah. Aku takjub. Beginilah rasanya mendengar kalimat-kalimat yang ditujukan kepadaku, orang yang bukan seagama dengan mereka. Ada kesedihan tersendiri dalam diriku. Entah mengapa, aku tak biasa merasa seperti ini. Aku tidak nyaman saat itu, pikirku memberontak, terlalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan atas keimananku. Aku harus mencari kebenaran atas keimanan yang kubela, atas keislamanku. “Keimanan yang aku ingin bukan-lah keimanan yang tertanam sejak lahir oleh orang tua dan lingkunganku, tetapi keimanan yang aku temukan sendiri. Keimanan yang denganya aku merasa hidup”. Kini misiku adalah menemukan keimanan atas Islam yang kumaksud. Dimulai dari hari ini, diantara dua kitab. Penulis: Tri Handoko, GMB 2014
0 Comments
Leave a Reply. |
|