"GMB itu rumah kita bersama. Tempat kita pulang di saat rindu datang, membutuhkan pelukan dan dukungan. Pintu GMB akan selalu terbuka untuk kalian, karena GMB adalah keluarga kedua kita bersama" kata Bunda @suraiya_kamaruzzaman 5 tahun silam (2016) di Jakarta.
"Cih!" gumamku dalam hati. Keluarga dari Hongkong? Pengalaman-pengalamanku mengajarkan untuk tidak mudah percaya pada kata-kata manis dan omong kosong seperti itu. Seringkali ketika baru menjadi anggota suatu organisasi/komunitas, kalimat seperti itu seringkali muncul untuk mengambil hati anggota-anggota baru. Pret! Nyatanya yang sering terjadi adalah menghakimi yang berbeda, membicarakan keburukan dari belakang dengan kedok diskusi aka gibah, menusuk dari belakang, dan lainnya yang tak sepantasnya disebut sebagai keluarga. Keluarga dari Hongkong! Tapi, GMB berbeda dari organisasi/komunitas yang pernah kuikuti. Seiring berjalannya waktu, berproses bersama dengan GMB selama sekitar 4-5 tahun membuat prasangka-prasangka burukku mengenai GMB rontok satu per satu. GMB tidak menghakimiku, "mereka" menerimaku seutuhnya sebagai seorang manusia, Bayu Rakhmatullah. Aku pun bebas berekspresi di dalamnya. Menghabiskan waktu bersama GMB merupakan momen-momen yang kutunggu. Aku betah berlama-lama, walaupun hanya duduk bersama, main game Werewolf misalnya. 😅 Tidak lain karena GMB memiliki kondisi lingkungan yang amat mendukung yaitu dipenuhi dengan orang-orang yang tidak mudah puas, terus memperbaiki dan menempa diri. Semangat itu menular kepadaku. Tidak bisa dipungkiri bahwa aku yang sekarang, suka berpetualang, foto dan menulis ala-ala adalah andil dari GMB juga. Dan aku amat bersyukur karenanya. Tentu tak ada gading yang tak retak, begitu juga GMB. Ada banyak drama terjadi. Akan tetapi bukankah wajar ada drama di dalam keluarga? Selama penghuninya senantiasa belajar dari kesalahan, terus memperbaiki diri menjadi orang dewasa yang sesungguhnya, drama-drama tadi hanyalah bumbu-bumbu kehidupan, yang membuat cerita hidup ini makin menarik. HOME Ah, kini aku bisa mengucapkan dengan lantang bahwa GMB adalah keluargaku juga. Penulis: Bayu Rakhmatullah, GMB 2016
0 Comments
Di hadapan kami, duduk satu kelompok anak muda yang berjumlah 3 orang, 2 perempuan dan 1 lelaki. Satu berasal dari Aceh, satu dari Jawa lebih tepatnya Banten dan satu-satunya lelaki berasal dari Sulawesi Selatan. Mereka adalah satu diantara kelompok-kelompok kecil anak muda lainnya yang berjumlah hampir 50 orang. Ini memang tugas kami, alumni yang menjadi panitia, membagi-bagi mereka ke dalam kelompok kecil yang berjumlah 3 orang untuk melakukan perjalanan Adventure dari Yogyakarta ke Jakarta. Perjalanan ini hanya diberi modal uang 100 ribu per orang dan melakukan berbagai aksi sosial di kota-kota yang mereka harus singgah selama 3 hari 2 malam. Ujian yang tidak mudah ketika berhadapan dengan integritas. Inilah yang diajarkan dalam konsep program kami yang disebut Youth Adventure ini. Kegiatan ziarah perjalanan dengan melakukan aktivitas tangan di bawah dan tangan di atas serta merupakan serangkaian menuju Youth Leaders Forum yang merupakan tahapan berikutnya yang harus diikuti oleh pemuda dan pemudi pilihan yang telah lulus seleksi program ini.
Kami menunggu mereka di Gedung PPPON Cibubur Jakarta. Kelompok demi kelompok datang menghadap dan memberikan laporan tentang perjalanan mereka. Sebagai alumni yang juga bertugas sebagai panitia, aku berada di salah satu post yang harus mereka temui. Dari pertama kali mereka duduk di hadapan kami, ada sesuatu yang aneh dengan kelompok ini. Namun, mereka sangat santai dan merasa tidak ada yang berbeda. Kumal dan lelah, sebagaimana anggota kelompok lainnya yang juga telah menghabiskan hari-hari mereka di jalanan. Mereka mengeluarkan telur-telur yang telah berhasil mereka jaga selama perjalanan dan meletakkannya di atas meja kami. Membawa telur mentah dan menjaganya supaya tidak pecah tentu juga bukan sebuah tantangan yang mudah bukan? Namun ini juga merupakan satu tantangan yang harus mereka lakukan. Satu diantara mereka kehilangan telurnya dan hanya 2 yang berhasil. Namun bagaimana dengan tantangan Pisang? “Pisang kalian dimana?” Tanyaku. “Pisang?” sahut mereka hampir bersamaan. Saat itulah mereka sadar bahwa mereka lupa membelikan pisang sebagai salah satu lagi tantangan. Hampir saja mereka sangat berbangga dengan perjalanan mereka dan telah berhasil menyelesaikannya walaupun kehilangan satu telur yang harus dijaga. Mereka saling memandang satu sama lain dan kemudian mengakui bahwa mereka telah melupakan satu tugas mulia ini. Lalu apa hukumannya untuk kelompok ini? Satu telur pecah dan lupa membawa pisang sementara kelompok lain membawanya. Hukumannya adalah, mereka harus mengetuk setiap kamar dan meminta tanda tangan peserta lainnya sebagai tanda bahwa mereka dimaafkan dan diizinkan beristirahat kemudian mempersiapkan diri menuju training dipagi harinya. Kenapa begitu penting soal Pisang ini? Sampai kelompok yang terlupakan harus menjalani hukuman pada saat mereka sedang begitu kelelahan. Ini kegiatan apa? Sampai meminta bawa-bawa pisang segala. Ini yang kami pahami dan pelajari dari setiap pelajaran yang diberikan mentor kami, Azwar Hasan, inisiator dari Gerakan Mari Berbagi. “Karena pisang yang kalian bawa memberikan kalian pelajaran. Di perjalanan kalian diminta menolong orang lain dan menolong diri sendiri. Seperti pisang, menolong orang lain itu harus diwaktu yang tepat dan orang yang tepat atau yang memang pantas dibantu. Jika terlalu cepat dalam memberikan pertolongan, kadang permasalahan tidak akan pernah mendewasakan seseorang. Jadinya emosinya tidak matang karena terlalu cepat ditolong. Jika kelamaan, maka yang harus ditolong keburu sekarat dan kritis, itu juga kadang tidak tepat. Latihan sensitivitas dan belajar membaca situasi sangat diperlukan. Seperti pisang yang harus dimakan disaat yang tepat. Jika belum matang atau putik, pasti rasanya tidak enak, dibiarkan terlalu lama, tanpa adanya sebuah keputusan untuk segera memakannya sampai ia busuk juga tidak akan enak rasanya. Karena yang tepat adalah ketika Pisang matang diwaktu yang pas, dengan aroma wangi dan masih segar maka rasanya pun akan enak. Demikian halnya dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Inilah salah satu pelajaran pisang dalam perjalanan Youth Adventure GMB”. Tentu saja kami takkan melupakan pelajaran ini. Karena tidak hanya peserta yang menjalani perjalanan ini, semua panitia yang terlibat apalagi alumni, kita memahami nilai Pisang dan pelajarannya. Pisang dan sebuah pertolongan yang memberikan arti berarti dalam perjalanan kehidupan kami. Menolong pun butuh seni dalam memahami situasi. Penulis: Agustina Iskandar, GMB 2012 We can not do everything, but we can do something. Start from small thing. Pada tahun 2014 saya mendengar pesan berharga di atas dari Bang Azwar Hasan, inisiator Gerakan Mari Berbagi (GMB). Walaupun sudah sekian purnama berlalu, makna nasihat tersebut tak lekang oleh waktu. Sederhananya, kita dapat berbuat baik dari hal kecil terlebih dahulu. Kita tidak perlu mengerjakan semuanya dalam satu waktu, mulailah dari yang paling kita mampu.
Saya bersyukur menjadi bagian dari Gerakan Mari Berbagi, yang semangat kebaikannya terus menyala hingga kini. Selama enam tahun menjadi alumni GMB, saya berusaha untuk tetap konsisten dalam menebar semangat berbagi. Seperti kita ketahui, sejak awal Maret 2020 ini kita semua sedang dilanda pandemi covid-19. Dampak pandemi meluas sampai sektor ekonomi. Pengangguran meningkat, daya beli masyarakat pun melemah. Meski begitu, semangat berbagi tidak boleh lesu. Justru inilah saatnya kita bersinergi, menguatkan satu sama lain untuk tetap memiliki empati. Berbagi tidak mesti dengan materi, berbagi dapat dengan sharing informasi. Melalui @ayahpedia.id saya dan istri memberikan edukasi kepada para keluarga muda serta mereka yang masih mencari jati diri. Para pemateri yang secara sukarela meluangkan waktu, berbagi ilmu pendidikan keluarga melalui diskusi WhatsApp. Responnya positif, ratusan peserta berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Telah terlaksana 9 kali WhatsApp seminar. Ternyata di luar sana masih banyak yang berburu ilmu pendidikan keluarga. Tanpa keluar rumah, diskusi dan berbagi tetap mengudara tanpa henti. Habis gelap terbitlah terang. Di balik dampak pandemi ini, secercah mimpi dan harapan harus tetap menyala. Pandemi mengajarkan saya untuk bergerak, menguatkan mimpi para petani. Melihat realita para petani yang kesulitan dalam memasarkan hasil pertanian, saya menginisiasi berdirinya sayur online @sayursleman.id. Meski baru berdiri sejak bulan Mei 2020, adanya Sayursleman.id memberikan nafas baru perputaran ekonomi di Kabupaten Sleman. Platform @sayursleman.id memiliki visi untuk melayani pembelian sayur, lauk dan buah berkualitas dengan harga terjangkau. Sayursleman.id telah menjangkau masyarakat dari 10 kecamatan di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kulon Progo. Berawal dari visi tersebut, @sayursleman.id menyediakan produk langsung dari petani di Sleman dan Magelang, dengan jaminan produk segar dan higienis. Layanan cepat delivery order dibagi menjadi dua shift, shift pagi dan sore dengan biaya kirim gratis sampai jarak 11 km. Uniknya lagi, belanja di @sayursleman.id tidak hanya sekadar mencukupi kebutuhan dapur sendiri. Para pembeli dapat juga berbagi, melalui program sedekah sayur yang rutin terlaksana setiap hari. Tentu saja kami tidak sendiri, ada Terminal Sedekah di Dusun Ngemplak, Caturharjo, Sleman yang menjadi tempat berbagi. Antusias para dermawan untuk bersedekah sayur begitu tinggi. Sejak program kolaborasi ini dimulai awal September 2020 hingga pekan ke-4 November 2020, donasi senilai 25 juta rupiah telah tersalurkan. Terima kasih para dermawan. Terharu dan bersyukur, tak kurang 70 warga terbantu setiap harinya. Ada lebih dari 60 donatur, baik yang tinggal di Indonesia, Singapura, Thailand dan beberapa wilayah lainnya telah memberikan kepercayaannya dalam program ini. Para tetangga dan sekitar 15 usaha kecil memengah telah terberdayakan. Mulai dari kerabat yang jualan tahu, bakso, took kelontong, maupun para petani cabe, sayur mayor dan buah. Meskipun belum begitu banyak, namun semua saya syukuri. Semangat memulai usaha @sayursleman.id ini perlu disebarluaskan, agar makin banyak pemuda pemudi yang tergugah berwirausaha. Melalui beberapa webinar dan diskusi, saya sharing awal mula berdirinya @sayursleman.id. Tentu saja, saya pun perlu belajar dari para pihak yang lebih mumpuni. Di bawah bimbingan Rumah Kreatif Sleman, @sayursleman.id terus bertumbuh. Ditambah, untuk program berbagi sayur akan tetap memerlukan bimbingan dari para board Gerakan Mari Berbagi. Ya, semakin banyak kolaborator yang terlibat di program ini, maka dampak yang dihasilkan pasti lebih luas. Dari perjalanan bersama @sayursleman.id ini, saya mengambil beberapa pelajaran berharga. Pertama, pentingnya niat baik dan jujur dalam memulai bisnis. Bagi saya, memulai usaha tidak semata-mata untuk mencari keuntungan, namun ada nilai sosial yang bisa kita berikan kepada orang lain dari usaha yang dirintis. Saya percaya, seiring dengan besarnya nilai sosial yang diberikan, sejalan dengan pertumbuhan usaha yang dikerjakan. Kedua, untuk menjalankan program sosial kemanusiaan seperti sedekah sayur, semua orang dapat terlibat, tidak mengenal latar belakang daerah, agama, pendidikan, dan lain sebagainya. Contohnya adalah asal para donatur yang sangat beragam. Tidak hanya mereka yang muslim saja, rekan-rekan saya yang non muslim juga ikut terlibat. Ya, karena ini adalah misi kemanusiaan, poin pentingnya adalah kebermanfaatan yang dapat diberikan. Saya dan para relawan sedekah sayur akan terus berupaya maksimal, agar kebaikan ini terus berlanjut. Ide dan inovasi terus kami kembangkan, agar @sayursleman.id, @ayahpedia, dan Terminal Sedekah Dusun Ngemplak tetap tumbuh dan menjadi inspirasi kebaikan. Akhir kata, pandemi tidak membatasi kita untuk berbagi dan menginspirasi. Dimulai dari diri saya sendiri untuk selalus semangat, gigih, pantang menyerah, dan yang terpenting mengesampingkan ego pribadi. Yakinlah, jika kita berbuat baik, maka kebaikan serupa dan bahkan berlipat insyaAllah akan menyertainya. Bagaimana dengan kawan-kawan? Let’s do it together! Penulis: Janu Muhammad, GMB 2014 Sikap yang paling mudah adalah mengabaikan kondisi di sekeliling kita dan berkonsentrasi dengan diri sendiri atau hanya dengan orang-orang terdekat dengan kita saja. Namun, pada kenyataannya, jika telah terbiasa menjalankan nilai-nilai yang diajarkan oleh GMB yaitu Living Beyond Yourself, sulit rasanya menutup mata terhadap hal-hal yang terjadi. Setelah sakit satu bulan dan kami tidak pergi piknik, artinya kebanyakan waktu yang kami habiskan hanya di rumah saja atau ke mall untuk belanja Grocery, makan dan kemudian pulang lagi. Bulan maduku dipenuhi rutinitas ini karena kondisiku yang juga sedang sakit mata. Setelah melakukan treatment dari dokter di Maroko, aku kembali bisa melihat dan membaca, sebelumnya padangan mata kabur. Setelah merasa jauh lebih sehat dan aman untuk mata jika kami bepergian, kami memutuskan pergi ke Rabat, ibukota Maroko. Suamiku rindu laut, itulah yang beberapa kali dikatakannya. Sementara kami tinggal di Marakesh, area gersang berpasir yang dekat dengan pegunungan Atlas. Berangkatlah kami ke Rabat. Hari pertama hanya berada di area kota, mengunjungi café, jalan Soekarno dan berfoto di tempat-tempat yang dikunjungi Turis. Hari kedua, kami merencanakan piknik di salah satu pantai di kota Rabat di dekat benteng bersejarah milik negara ini. Laut dan pantai yang indah. Sebagaimana orang-orang lain, kami duduk di pantai menggelar kain dan mulai menikmati makanan yang kami bawa sambil memandangi laut lepas. Orang-orang menjaga jarak satu sama lain, masing-masing dengan keluarga sendiri dengan jarak beberapa meter. Ada yang sibuk berfoto di bibir pantai yang berkarang itu, ada yang duduk di atas batu-batu besar, juga menikmati makanannya. Aku bahagia berada disini, menikmati laut dan siapa yang tidak senang dengan kondisi piknik. Namun hatiku terluka dari dalam. Indahnya pemandangan mengubur rasa bahagiaku pelan-pelan karena pantai ini dipenuhi sampah plastik yang bertebaran hampir di seluruh area pantai. Kuperhatikan anak-anak kecil bermain pasir diantara sampah-sampah ini. Tahukah mereka bahwa sampah-sampah yang dibuang begitu saja ini memiliki kemungkinan membawa virus Corona dari orang yang terinfeksi? Ah apa peduliku jika pun itu terjadi, pikirku. Aku tidak harus bertanggung jawab pada setiap perilaku manusia lain.. Aku tidur di pangkuan suamiku, sebagaimana orang lain bergeming dengan aktivitas masing-masing. Berusaha hanya melihat ke laut lepas dan menutup mata pada apa yang kulihat ini. Namun di tengah kepura-puraan ini, hati yang terluka melihat pantai yang juga mungkin kecewa dengan manusia yang tidak menjaganya. Orang-orang begitu gampangnya membuang sampah sembarangan. Ini Masa COVID-19, dimana satu hal yang mungkin kita lupa, bahwa sampah kita juga membawa potensi terkenanya orang lain akan virus yang sama jika kita tidak menjaganya. Kita dapat memindahkan virus ini begitu mudah, saat orang lain bersentuhan dengan sampah kita. Kupandangi lagi anak-anak kecil yang sedang bermain. Betapa lugunya mereka dan percaya sepenuhnya pada orang-orang dewasa di sekeliling mereka. Semakin mencoba menikmati pemandangan laut, semakin aku mendengar seperti pantai ini memanggil namaku. “Tunggu disini, jaga barang-baraang kita. Aku akan melakukan cleanup sebentar di area kita ini,” Kataku padanya. “Are you sure?” tanyanya ragu. Aku tugaskan ia untuk menjaga barang-barang kami dan kemudian mulailah aku melakukan cleanup selama dua jam. Aku mengumpulkan 10 kantong sampah dari area di sekeliling kami saja. Mungkin aku tak dapat melakukan banyak hal, namun paling tidak 10 kantong sampah telah dipindahkan dan tidak berakhir di lautan. Begitu pun area anak kecil bermain tadi, kini bersih dari sampah yang memenuhi pasir. Aku tersenyum saat mencuci tanganku dan memakai banyak hand sanitizer usai itu. Hidup melampaui kepentingan diri kita sendiri, bagaimana bisa lupa pada nilai yang satu ini. Mudah menutup mata, tak mudah berbuat sesuatu saat kita tahu kita mampu melakukannya. Butuh nyali, kesadaran yang tinggi, keinginan yang tulus bahwa nilai kerelawanan yang kita pelihara akan menolong kita dan sesama. Termasuk menjaga planet ini. Walau sedikit, berusahalah untuk selalu melakukan sesuatu. Jika setiap orang mau melakukannya, maka akan ada gunung kebaikan yang kita ciptakan bersama.
Dari Maroko, aku berbagi cerita, untuk kita tidak lupa pada hal kecil yang dapat kita lakukan dan telah membantu orang lain serta lingkungan kita. Penulis: Agustina Iskandar, GMB 2012 “Kok mereka pada nangis gitu sih? Kok hidupku terkesan hahaha hihihi doang ya dibandingkan mereka?” bisikku pada dua orang yang ada di sampingku empat tahun silam, Kak Dilah dan Kak Andik. Kini aku tidak bisa lagi menyebut hidupku hanya hahaha hihihi doang. Kehidupan telah menamparku, membuatku merasakan keadaan yang belum pernah kurasakan. Aku tidak pernah membayangkan tahun 2020 bakal sekacau ini. Aku ingat sekali ketika awal tahun 2020, aku mengikuti 30 hari bercerita dengan penuh semangat. Berbagai resolusi dan rencana disusun dengan penuh harap. Hingga pada akhirnya wabah Covid datang, menghancurkan hampir semua resolusi dan rencana, terlebih yang berhubungan dengan perjalanan. Awalnya aku masih baik-baik saja. WFH (work from home) dan #dirumahaja bukanlah masalah besar bagiku. Aku juga sempat terkena serangan panik akibat terlalu sering terpapar oleh berita tentang Covid, tapi sekali lagi aku bisa melaluinya dengan cukup mudah. Aku cukup meninggalkan dunia maya, tidak membaca koran, dan mengurangi penggunaan hp secara drastis dalam kurun waktu tertentu. Langkah-langkah tersebut bukanlah perkara sulit bagiku, aku sudah ditempa dengan sedemikian rupa, hingga aku sudah terbiasa. Tanda-tanda Depresi Tapi, lama kelamaan ada yang berubah dari diriku. Jam tidurku kacau. Aku semakin banyak tidur, yang biasanya tidurku 6-8 jam sehari, bisa mencapai 9-10 jam. Ketika bangun di pagi hari, inginnya menarik selimut lagi, tak ada semangat untuk menyambut hari. Ketika malam hari tiba, aku tidur lebih awal dari biasanya, berharap esok hari lebih baik. Ada kabar gembira atau bahkan keajaiban datang. Begitu seterusnya. Namun, kabar gembira dan keajaiban itu tak kunjung datang. Malah kabar buruk dan masalah yang terus datang, seakan-akan hidup ini tak akan membaik untuk beberapa tahun ke depan. Kebanyakan tidur berubah menjadi insomnia. Ini pertama kali bagiku. Aku termasuk orang yang mudah tidur, tinggal niat, beberapa menit kemudian sudah berada di alam mimpi. Insomnia ini sungguh menyiksaku. Tubuh ini amat ingin tidur, tapi tak bisa. Aku ingin sekali memejamkan mataku, tapi juga tak bisa. Jika pun mata ini terpejam, pikiran ini lari ke mana-mana, yang pada akhirnya mata ini kembali terbuka. Bangun lagi. Bajingan!!! Ada banyak sekali yang kupikirkan. Pikiran ini melompat-lompat, dari pikiran satu ke pikiran yang lain, tidak beraturan dan tak bisa dikendalikan. “Bagaimana jika …” “Bagaimana jika …” Terlebih mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi padaku jika keadaan ini tak kunjung membaik. Pada akhirnya bisa terlelap, jika hanya jika pikiran ini sudah lelah untuk berpikir. Ketika insomnia ini berlangsung berhari-hari, tubuh ini jadi lemah akibat kekurangan tidur. Fokus pun ikut terganggu yang menyebabkan produktifitas menurun. Menerima adalah kunci Langkah pertama yang kulakukan untuk mengatasi depresi ini adalah dengan menerima keadaan. Menerima bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Menerima bahwa wabah covid ini, yang menghancurkan semua rencana perjalananku, berada di luar kendaliku. Aku tidak bisa menghentikan wabah ini. Pun aku harus mengakui bahwa aku tidak bisa membuka perbatasan suatu negara, misal Argentina, yang jelas-jelas bukan dalam ranah kekuasaanku. Aku harus menerima bahwa untuk 1-2 tahun ke depan aku tidak bisa melakukan perjalanan panjang ke luar negeri, sesuai rencana awalku. Penerimaan ini membuatku sedikit legawa. Pikiran-pikiran buruk, overthinking, sedikit demi sedikit sirna, karena memang aku sudah tidak berharap banyak lagi. Aku juga mengganti keseluruhan rencanaku. Jauh lebih sederhana memang, tapi mau gimana lagi? Aku harus menyesuaikan dengan keadaan. Selain melalui menerima keadaan, ada tiga hal lain yang juga menyelamatkanku dari depresi ini. Day One – Jurnal Syukur Sudah satu tahun lebih aku menggunakan aplikasi jurnal ini. Beberapa tahun belakangan ini, aku mencoba membiasakan untuk menulis catatan harian. Setelah mencoba berbagai aplikasi, Day One menjadi yang paling cocok denganku. Aku bisa menyertakan foto di dalam jurnalku, dan kelebihan yang lain, apalagi dengan menggunakan akun premium. Ketika wabah Covid dan depresi menyerang, aku terpikir untuk membuat folder baru di aplikasi Day One, yaitu Jurnal Syukur. Aku harus menulis satu hal yang kusyukuri tiap harinya. Aku mengupayakan setiap harinya aku menuliskan hal yang berbeda-beda—dari hari sebelumnya—untuk disyukuri. Walakin pada akhirnya jurnal syukurku dipenuhi dengan berbagai jenis nama makanan—hahaha. Tapi, sungguh menulis jurnal syukur ini setiap hari banyak membantuku. Aku menyadari bahwa bahkan di kondisi kritis sekalipun, masih ada hal yang bisa kusyukuri. Itu memberikan cukup kekuatan padaku untuk terus berjuang menjalani hidup ini. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya Kiranya aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar betapa bagusnya buku ini. Sejatinya, buku ini cocok untuk dibaca pada berbagai kondisi mood, tapi buku ini akan semakin menunjukkan tajinya ketika dibaca pada kondisi perasaan yang kacau—menurutku. Ketika depresi ini melanda, aku membuka kembali buku yang selama ini kusimpan di rakku. Aku belum menyelesaikan buku ini, aku masih di pertengahan. Aku cukup melanjutkan saja, karena aku masih mengingat kisah-kisah sebelumnya. Setiap hari aku membaca buku ini, minimal satu kisah, hingga dua bulan kemudian aku berhasil menyelesaikan ke-108 kisah di buku ini. Buku ini sangat membantuku melewati hal-hal sulit dan menegakkan kembali kepalaku. Merawat Tanaman Kebiasaan baru ini juga timbul saat aku #dirumahaja. Sebelumnya, tugasku ketika berada di rumah hanyalah menyiram bunga di lantai dua. Kemudian, aku merawat tanamanku sendiri di dalam kamarku. Menyiram/merawat tanaman merupakan terapi tersendiri bagiku. Momen ketika aku memberikan air pada tanaman begitu magis. Aku merasa menjadi orang baik ketika melakukannya—hahaha. Merawat tanaman juga bisa diganti dengan merawat hewan, seperti kucing atau anjing. *** Ketiga hal tersebut membantuku melewati ini semua, aku masih berdiri tegak hingga saat ini. Tentu saja aku tidak akan segan-segan meminta bantuan pada tenaga ahli—psikiter—jika ternyata aku masih depresi setelah melakukan ini semua. Aku beruntung bisa melewati masa depresi ini, walakin tertatih-tatih. Setidaknya aku sudah memiliki pengalaman, jika nantinya masa sulit yang lain mendera. Alih-alih menghakimi orang yang depresi dengan cap “kurang bersyukur”, kita sebagai sesama manusia sepatutnya saling mendukung, menguatkan satu sama lain. Setiap orang memiliki kisah dan masalahnya sendiri. Don’t judge people easily!!! Penulis : Bayu Rakhmatullah, GMB 2016 |
|