“Kok mereka pada nangis gitu sih? Kok hidupku terkesan hahaha hihihi doang ya dibandingkan mereka?” bisikku pada dua orang yang ada di sampingku empat tahun silam, Kak Dilah dan Kak Andik. Kini aku tidak bisa lagi menyebut hidupku hanya hahaha hihihi doang. Kehidupan telah menamparku, membuatku merasakan keadaan yang belum pernah kurasakan. Aku tidak pernah membayangkan tahun 2020 bakal sekacau ini. Aku ingat sekali ketika awal tahun 2020, aku mengikuti 30 hari bercerita dengan penuh semangat. Berbagai resolusi dan rencana disusun dengan penuh harap. Hingga pada akhirnya wabah Covid datang, menghancurkan hampir semua resolusi dan rencana, terlebih yang berhubungan dengan perjalanan. Awalnya aku masih baik-baik saja. WFH (work from home) dan #dirumahaja bukanlah masalah besar bagiku. Aku juga sempat terkena serangan panik akibat terlalu sering terpapar oleh berita tentang Covid, tapi sekali lagi aku bisa melaluinya dengan cukup mudah. Aku cukup meninggalkan dunia maya, tidak membaca koran, dan mengurangi penggunaan hp secara drastis dalam kurun waktu tertentu. Langkah-langkah tersebut bukanlah perkara sulit bagiku, aku sudah ditempa dengan sedemikian rupa, hingga aku sudah terbiasa. Tanda-tanda Depresi Tapi, lama kelamaan ada yang berubah dari diriku. Jam tidurku kacau. Aku semakin banyak tidur, yang biasanya tidurku 6-8 jam sehari, bisa mencapai 9-10 jam. Ketika bangun di pagi hari, inginnya menarik selimut lagi, tak ada semangat untuk menyambut hari. Ketika malam hari tiba, aku tidur lebih awal dari biasanya, berharap esok hari lebih baik. Ada kabar gembira atau bahkan keajaiban datang. Begitu seterusnya. Namun, kabar gembira dan keajaiban itu tak kunjung datang. Malah kabar buruk dan masalah yang terus datang, seakan-akan hidup ini tak akan membaik untuk beberapa tahun ke depan. Kebanyakan tidur berubah menjadi insomnia. Ini pertama kali bagiku. Aku termasuk orang yang mudah tidur, tinggal niat, beberapa menit kemudian sudah berada di alam mimpi. Insomnia ini sungguh menyiksaku. Tubuh ini amat ingin tidur, tapi tak bisa. Aku ingin sekali memejamkan mataku, tapi juga tak bisa. Jika pun mata ini terpejam, pikiran ini lari ke mana-mana, yang pada akhirnya mata ini kembali terbuka. Bangun lagi. Bajingan!!! Ada banyak sekali yang kupikirkan. Pikiran ini melompat-lompat, dari pikiran satu ke pikiran yang lain, tidak beraturan dan tak bisa dikendalikan. “Bagaimana jika …” “Bagaimana jika …” Terlebih mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi padaku jika keadaan ini tak kunjung membaik. Pada akhirnya bisa terlelap, jika hanya jika pikiran ini sudah lelah untuk berpikir. Ketika insomnia ini berlangsung berhari-hari, tubuh ini jadi lemah akibat kekurangan tidur. Fokus pun ikut terganggu yang menyebabkan produktifitas menurun. Menerima adalah kunci Langkah pertama yang kulakukan untuk mengatasi depresi ini adalah dengan menerima keadaan. Menerima bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Menerima bahwa wabah covid ini, yang menghancurkan semua rencana perjalananku, berada di luar kendaliku. Aku tidak bisa menghentikan wabah ini. Pun aku harus mengakui bahwa aku tidak bisa membuka perbatasan suatu negara, misal Argentina, yang jelas-jelas bukan dalam ranah kekuasaanku. Aku harus menerima bahwa untuk 1-2 tahun ke depan aku tidak bisa melakukan perjalanan panjang ke luar negeri, sesuai rencana awalku. Penerimaan ini membuatku sedikit legawa. Pikiran-pikiran buruk, overthinking, sedikit demi sedikit sirna, karena memang aku sudah tidak berharap banyak lagi. Aku juga mengganti keseluruhan rencanaku. Jauh lebih sederhana memang, tapi mau gimana lagi? Aku harus menyesuaikan dengan keadaan. Selain melalui menerima keadaan, ada tiga hal lain yang juga menyelamatkanku dari depresi ini. Day One – Jurnal Syukur Sudah satu tahun lebih aku menggunakan aplikasi jurnal ini. Beberapa tahun belakangan ini, aku mencoba membiasakan untuk menulis catatan harian. Setelah mencoba berbagai aplikasi, Day One menjadi yang paling cocok denganku. Aku bisa menyertakan foto di dalam jurnalku, dan kelebihan yang lain, apalagi dengan menggunakan akun premium. Ketika wabah Covid dan depresi menyerang, aku terpikir untuk membuat folder baru di aplikasi Day One, yaitu Jurnal Syukur. Aku harus menulis satu hal yang kusyukuri tiap harinya. Aku mengupayakan setiap harinya aku menuliskan hal yang berbeda-beda—dari hari sebelumnya—untuk disyukuri. Walakin pada akhirnya jurnal syukurku dipenuhi dengan berbagai jenis nama makanan—hahaha. Tapi, sungguh menulis jurnal syukur ini setiap hari banyak membantuku. Aku menyadari bahwa bahkan di kondisi kritis sekalipun, masih ada hal yang bisa kusyukuri. Itu memberikan cukup kekuatan padaku untuk terus berjuang menjalani hidup ini. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya Kiranya aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar betapa bagusnya buku ini. Sejatinya, buku ini cocok untuk dibaca pada berbagai kondisi mood, tapi buku ini akan semakin menunjukkan tajinya ketika dibaca pada kondisi perasaan yang kacau—menurutku. Ketika depresi ini melanda, aku membuka kembali buku yang selama ini kusimpan di rakku. Aku belum menyelesaikan buku ini, aku masih di pertengahan. Aku cukup melanjutkan saja, karena aku masih mengingat kisah-kisah sebelumnya. Setiap hari aku membaca buku ini, minimal satu kisah, hingga dua bulan kemudian aku berhasil menyelesaikan ke-108 kisah di buku ini. Buku ini sangat membantuku melewati hal-hal sulit dan menegakkan kembali kepalaku. Merawat Tanaman Kebiasaan baru ini juga timbul saat aku #dirumahaja. Sebelumnya, tugasku ketika berada di rumah hanyalah menyiram bunga di lantai dua. Kemudian, aku merawat tanamanku sendiri di dalam kamarku. Menyiram/merawat tanaman merupakan terapi tersendiri bagiku. Momen ketika aku memberikan air pada tanaman begitu magis. Aku merasa menjadi orang baik ketika melakukannya—hahaha. Merawat tanaman juga bisa diganti dengan merawat hewan, seperti kucing atau anjing. *** Ketiga hal tersebut membantuku melewati ini semua, aku masih berdiri tegak hingga saat ini. Tentu saja aku tidak akan segan-segan meminta bantuan pada tenaga ahli—psikiter—jika ternyata aku masih depresi setelah melakukan ini semua. Aku beruntung bisa melewati masa depresi ini, walakin tertatih-tatih. Setidaknya aku sudah memiliki pengalaman, jika nantinya masa sulit yang lain mendera. Alih-alih menghakimi orang yang depresi dengan cap “kurang bersyukur”, kita sebagai sesama manusia sepatutnya saling mendukung, menguatkan satu sama lain. Setiap orang memiliki kisah dan masalahnya sendiri. Don’t judge people easily!!! Penulis : Bayu Rakhmatullah, GMB 2016
0 Comments
Leave a Reply. |
|