Malam itu nama-nama anggota di Cakrawala Writing Clubdiundi untuk sebuah perjalanan Backpacker di empat kota sekaligus melakukan kegiatan sosial di setiap kotanya. Ini kompetisi yang diadakan oleh advisor kami. Awalnya aku berharap Arief akan bersamaku. Tetapi kemudian nama Arnald terpilih untuk menjadi pasanganku. Aku bahagia saat itu karena Arnald adalah sosok yang menyenangkan.
Lalu yang terjadi selanjutnya adalah kami menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Menyusun setiap perencanaan anggaran, perencanaan kegiatan sosial dan segala persiapan lainnya. Arnald berjanji bahwa perjalanan ini akan menjadi surga bagi kami berdua. Tentu saja aku sangat bahagia berharap benar-benar bisa melihat surga dalam perjalanan ini. Benar saja, aku bahagia sekali. Apalagi saat di Jogja, kami menghabiskan waktu bersama untuk jalan-jalan di Mallioboro dan melakukan kegiatan sosial. Mungkin manisnya perjalanan ini masih belum seberapa diuji. Ujian yang sebenarnya mulai terlihat setelah dua hari di perjalanan. Saat lelah mulai terasa, tidur tidak nyenyak dan energi mulai terkuras untuk jalan kaki yang terlalu lama, pikiran yang juga terasa lelah untuk berpikir tentang kegiatan-kegiatan sosial di setiap kota. Perjalanan dari Jogja ke Semarang hanya butuh tiga jam. Walaupun begitu, akibat kami melanggar kedisiplinan yang telah kami buat sendiri dan baru sampai di Semarang jam 2 pagi. Kami kewalahan mencari penginapan sampai akhirnya menemukan sebuah penginapan di Pecinan Semarang setelah dibantu oleh tukang becak. Keesokan harinya emosi aku mulai melonjak. Saat Arnald sibuk dengan teman-teman di BBM-nya. Dia menghabiskan banyak waktu untuk BBM sampai aku tidak dianggap penting. Pada saat jalan kaki menuju lokasi kegiatan sosial dia juga membicarakan tentang teman-teman BBMnya. aku masih menahan diri untuk tidak marah. Walaupun pada saat itu, aku sudah tidak sabar untuk marah dengan sikapnya. Karena kami berdua selalu berbicara tentang the most important time is now. Bagaimana bisa dia melupakan prinsip yang telah kita anut selama ini. Disamping itu, kami berdua juga berprinsip bahwa the most important person is people around you now. Tentu saja aku sangat kecewa ketika ternyata aku menjadi tidak penting baginya selama perjalanan. Setidaknya itulah yang ku rasakan. Bang Az memang benar. Dia adalah Advisor komunitas Cakrawala Club dan orang yang juga memberikan kami kesempatan untuk melakukan traveling ini. Dia pernah bilang aslinya seseorang akan terlihat dalam perjalanan ini. "Semakin kalian jauh berjalan, semakin akan terlihat seperti apa aslinya seseorang. Konflik pasti akan terjadi karena setiap orang berpikir tidak sama satu sama lain. Tergantung seperti apa kalian menyikapinya". Begitulah yang ku ingat kalimat penutupnya di pertemuan terakhir kali sebelum ekspedisi ini dimulai. Apa yang dikatakan bg Az sangat benar. Aku mulai muak dengan semua ini. Sama sekali tidak bisa dibiarkan. Arnald terus mengabaikanku selama perjalanan. Bahkan perjalanan dari Surabaya menuju Bali yang menempuh waktu 12 jam. Amarahku memuncak, namun ku pilih cara yang lebih bijak untuk menyampaikannya. Melalui surat, hanya dengan cara itu aku tidak perlu berkoar-koar dengan emosi yang menebar-nebar. Cukup dengan kata-kataku yang tajam. Aku rasa itu akan mewakili perasaanku. Mobil travel yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah makan di perjalanan dari Surabaya menuju Bali. Malam masih belum benar-benar larut saat semua penumpang turun dari mobil dan menikmati makan malam di warung tersebut. Setelah makan, aku berpikir inilah saat yang tepat untuk memberikan suratku kepadanya. Arnal membaca setiap kalimat yang ku tuliskan untuknya. Dia menyunggingkan senyumnya. Senyum yang makin membuatku kesal. Dia selalu memberikan senyum menjengkelkan itu tiap kali membaca surat dariku. Ini merupakan surat yang ketiga ku tulis untuknya. Surat yang mewakili amarahku tiap kali aku ingin memaki dia karena ulahnya. Ringkasan surat yang ku tulis untuknya kira-kira begini isinya "Kamu seorang partner yang luar biasa. sebagai seorang partner kamu sosok yang sempurna untukku. Kamu hanya seorang partner dan akan selalu jadi partner bukan sebagai sahabat. Aku tidak penting bagimu. Raga kamu bersama aku tapi jiwa dan pikiranmu bersama dunia BBM dan teman-temanmu disana. Sudah sejauh ini kita berjalan dan aku tidak melihat surga yang pernah kita sepakati. Bahwa kita akan menciptakan surga dalam perjalanan ini. Kalau kamu sibuk dengan duniamu maka aku kehilanganmu. Kamu harus tahu apa itu arti kesepian karena kita cuma berdua dalam tim ini. Kalau tidak saling memberikan perhatian, apa yang dapat dibanggakan dari perjalanan kita?". Ternyata surat itu berfungsi dengan baik. Arnald mengurangi aktifitas BBMnya. Ia mulai memberikan perhatian padaku. Hebat, dia juga sepertinya menyadari apa yang telah ia lakukan. Kebersamaan aku dengannya kian dekat saat kami mengetahui bahwa Arief dan Alfi sebagai tim kedua ternyata tidak melakukan perjalanan ini. Maka lengkaplah kebersamaan ini. Aku memiliki Arnald seutuhnya dan kami akhirnya menciptakan surga itu. Menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di pantai sambil bergandengan tangan, menatap bintang-bintang dan mendengar gemuruh ombak sambil memandang ke laut lepas. Malam itu juga kami membicarakan lagi mimpi-mimpi kami tentang keliling Eropa bersama. Surga itu bertambah indah saat bg Az memperkenalkan kami kepada teman-temannya yang baru pulang naik gunung Rinjani. Mereka menghabiskan dua hari liburan di Bali sambil melepas lelahnya mendaki gunung. Mereka adalah bg Eqi, bg Adrian, bg Freddy dan Kak Eva. Bersama teman-teman bg Az, kami menikmati hari indah di laut Bali. Bermain Paraseiling, naik Banana Boat dan mencicipi makanan khas Bali. Everything look beautiful. "Kamu tahu, menurut aku surga itu adalah saat kita main bersama-sama dan menghabiskan waktu di pantai serta jalan-jalan". Arnald menghiburku dengan kalimat itu atas rasa bersalahnya karena tidak membangunkanku malam terakhir di Bali untuk menghabiskan semalam lagi di pantai bersama. Aku mengamuk karena kami melewatkan malam minggu terakhir di Bali hanya dengan tidur di kamar hotel. Dia menenangkanku saat aku bilang bahwa dia telah membuat aku tidak melihat surga semalam. Namun, kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan Arnald benar. Surga itu sudah kami rasakan bersama saat kami menikmati perjalanan ini. Bukan hanya di Bali tapi mulai dari Jogja, Semarang dan Surabaya. Aku paham maksud kalimatnya bahwa surga itu ketika kami 'main bersama-sama'. Tak bisa ku pungkiri ia sangat benar bahwa itulah surga sebenarnya saat kami dapat merasakan kehadiran satu sama lain dalam jiwa kami dalam perjalanan ini. My traveling is my heaven. Agustina Anggota Cakrawala Club Bali, 31 Agustus 2013
0 Comments
"Saya tidak mengerti kenapa di Indonesia, orang begitu sering melanggar janji. Kalau ada janji bertemu datangnya telat, mahasiswa yang dikasih tugas juga melanggar deadline dan selalu saja ada alasannya. Padahal kalau sudah bilang ya, matipun salah". Begitu kalimat yang paling sering diulang-ulang olehnya.
Sebagai advisor Cakrawala club menulis, dia selalu mengajarkan kami tentang arti disiplin dan jangan melanggar deadline. "Keterlambatan itu mahal harganya. Coba kalian bayangkan, misalnya kalian diberi tugas oleh dosen lalu mengerjakannnya semalam sebelum dikumpul. Tiba-tiba kejadian listrik mati, file hilang dimakan virus, printer rusak dan lain sebagainya. Begitupun dalam perjalanan nanti, kalau kalian lalai dan tidak disiplin misalnya ketinggalan bus atau kereta, pasti akan lebih mahal". Peringatan ini terus menerus ditujukan kepada kelompok kami yang akan melakukan traveling ke empat kota. Bg Az benar, bahwa kami akan belajar banyak hal dalam perjalanan ini. Seperti pada saat kami membuat rincian budget untuk traveling. Aku dan Arnald lupa memasukkan dana-dana secara detail. Misalnya dana untuk beli minuman selama perjalanan dan dana untuk masuk toilet umum. Sungguh kami melupakan hal-hal kecil ini. Karena aku kira awalnya bg Az akan memeriksa semua anggaran yang kami ajukan dan dia pasti merevisinya. Tetapi di luar dugaan karena ternyata bg Az tidak merevisi sama sekali. Dia mau mengajarkan kepada kami seperti apa sensitif terhadap hal-hal yang kecil. Dia selalu bilang bahwa yang membedakan kita dengan orang lain adalah rasa sesnsitivitas dan sebatas mana kita mampu memahami hal-hal yang sifatnya kecil. Kami merasakan perjuangan ini semakin berat setiap harinya. Dana menipis karena budget yang kami ajukan sendiri. Belum lagi kami tidak disiplin karena melanggar jadwal yang telah kami susun padahal jadwal-jadwal itu merupakan jadwal bus dan kereta. Kami ketinggalan bus terakhir menuju ke Semarang. Jadilah kami terlunta-lunta di terminal sebelum akhirnya memutuskan untuk naik mobil Inova yang ditawarkan para calo di terminal. Harga ini jelas-jelas lebih mahal dari yang seharusnya kami bayar dengan naik bus biasa. Kami tidak punya pilihan dan keputusan pun diambil. Kami berangkat ke Semarang dengan merogoh kocek yang lebih mahal. Kemahalan ini terus berlanjut. Karena sampai di Semarang sudah jam dua pagi. Kami tidak memiliki banyak waktu untuk mencari penginapan. Akhirnya memilih sebuah penginapan di daerah Pecinan Semarang. Tetap saja harganya lebih mahal dari yang ditargetkan awalnya. Begitu juga dengan jadwal selanjutnya yang ditempuh dari Semarang menuju Surabaya. Kami sampai di terminal pada jam 11 malam. Tentu saja angkot sudah berhenti beroperasi pada jam segitu. Alhasil, kami mengorbankan lagi uang lebih untuk membayar taksi. "Keterlambatan itu mahal", kata Arnald kemudian. Sambil tersenyum ke arahku yang ku balas dengan senyum termanisku. Dari senyuman itu kami sama-sama tahu bahwa kami telah belajar sesuatu. Terkadang manusia itu keras kepala. Nasehat bagai angin lalu kalau belum merasakan akibat yang akan dialami. Beberapa hal yang sangat kami sadari adalah kalau ke depan kami bekerja dan disuruh menyusun budget lagi maka kami akan lebih perhatian pada hal-hal yang detail dan meletakkan dana tak terduga dalam rinciannya. Disamping itu tidak melanggar disiplin dan terlambat mengerjakan sesuatu karena kerterlambatan mahal harganya. Agustina Anggota Cakrawala Club Surabaya (30 Agustus 2013) Sebentar lagi Ashar tiba. Aku dan Arnald duduk di salah satu sudut Mallioboro dengan pikiran tak keruan. Kami sudah menghabiskan setengah hari berkeliling Mallioboro, tetapi masih belum menemukan kelompok sasaran yang kami cari. Mereka orang-orang yang tepat dan pantas mendapatkan pertolongan kami. Sesuai dengan konsep kompetisi yang kami ikuti ini bahwa kegiatan sosial akan dilakukan di setiap kota yang kami singgahi. Kegiatan tersebut harus tepat sasaran dan impactnya dapat dirasakan langsung olehbeneficiaries. Sebenarnya mudah bagi kami untuk menolong siapa saja yang kami temui. Tetapi, lagi-lagi segala sesuatu harus sesuai dengan konsep yang telah disusun. Perjalanan ini bukan sekedar perjalanan biasa yang kami lakukan dengan jalan-jalan di suatu kota lalu menikmati tempat-tempat wisata yang ada. Ini bukan tentang liburan seperti itu, ini merupakan perjalanan tentang sebuah misi berbagi.
Sudah satu jam lebih kami duduk disana dan melepas lelah sambil terus berpikir tentang kegiatan sosial di Yogyakarta ini supaya dapat berhasil seperti yang kami inginkan. Akhirnya aku mengajak Arnald untuk shalat Ashar dulu dan berdoa semoga setelah itu ada pencerahan tentang kegundahan yang sedang kami hadapi. Hal ini benar saja terjadi, Setelah shalat Ashar, aku dan Arnald memutuskan untuk kembali ke jalan Mallioboro yang padat dan ramai. Tetapi saat sedang berjalan di dekat rel kereta api, kami dihadapkan pada suatu pandangan yang menegangkan. Tiga bocah menyeberang rel kereta api saat pintu gerbang untuk pedestrian dan pengendara kendaraan sudah ditutup karena kereta api akan segera lewat. Dua bocah laki-laki melompat pintu gerbang yang hanya setengah meter itu dan sudah berhasil menyeberang. Sementara satu orang lagi adalah gadis kecil yang sedang mencoba mengikuti tingkah kedua temannya itu. Tapi sepertinya ia kurang berani untuk melakukannya. Akhirnya ia putuskan untuk menunggu kereta lewat dan gerbang dibuka. Aku menarik napas dalam-dalam melihat tingkah mereka. Sungguh berbahaya apa yang dilakukan anak-anak ini. Bagaimana kalau mereka kalah cepat dengan kereta lalu ditabrak. Bermacam pikiran buruk melintasi pikiranku. Pada saat yang sama tiba-tiba ide cemerlang di kepalaku muncul. Aku memberitahu Arnald bahwa mereka targetnya. Mudah bagiku untuk melakukan identifikasi sebelum memutuskan mereka layak atau tidak untuk mendapatkan bantuan kami. Pengalamanku sebagai volunteer yang mengajar anak-anak marginal bertahun-tahun sudah cukup menjadi modal bagiku. Apalagi setelah mendengar satu kalimat yang keluar dari salah seorang mereka membuatku tertegun. “Kalian tidak sekolah?” tanyaku pada mereka, mungkin itu pertanyaan keempat setelah pertanyaan basa basi sebelumnya dalam proses identifikasi yang kami lakukan. “Kami sudah tidak sekolah mbak, tapi kami ingin kembali ke sekolah suatu hari nanti”. Itu Dimas yang bicara. Bocah yang masih duduk kelas 1 SMP namun putus sekolah karena tidak ada biaya. Dimas tinggal berpisah dari ibunya. Ia tinggal di sebuah kos-kosan dekat rel kereta api dengan abangnya. Abangnya sudah menikah dan Dimas menyewa kamar sendiri seharga 200 ribu perbulan. Uang yang dikumpulkannya dari hasil mengamen. Marta, gadis ini bertubuh kecil dan berparas imut. Kulitnya hitam terbakar matahari. Marta masih duduk di kelas 4 SD dan memiliki nasib yang sama dengan Dimas yakni putus sekolah karena tidak ada biaya. Yang terakhir namanya Marsel. Dia yang paling tua dalam tim kecil ini. Nasibnya juga sama dengan kedua temannya. Putus sekolah pada kelas I SMA. Berhubung dia yang paling tua maka dia sering dipercayakan untuk mengambil keputusan dalam tim kecil ini. Setelah berdiskusi akhirnya mereka sepakat untuk menerima bantuan kami. Disamping menjadi pengamen mereka akan merangkap profesi satu lagi sebagai pedagang asongan. Aku meminta mereka masing-masing untuk menulis surat yang isinya impian-impian mereka di masa mendatang. Lalu aku dan Arnald juga menulis surat untuk mereka. Setelah saling bertukar surat, No. Hp, dan Facebook. Kami menyusuri jalan Mallioboro dan memasuki sebuah swalayan untuk belanja barang dagangan asongan. Mereka sangat bersemangat dan terlihat begitu bahagia ikut memilih-milih barang dagangan. Kami membeli tissue, permen, snack dan beberapa barang lainnya. Setelah merasa cukup, aku dan Arnald mengajak mereka makan sambil mengajari mereka berbisnis. Dimas yang paling antusias dan mengerti dengan cepat setiap penjelasan yang kami berikan. Mereka bertiga berjanji akan berjuang dengan berdagang dan mengamen lalu mengumpulkan sebagian uang untuk ditabung. Uang itu akan digunakan untuk biaya sekolah mereka suatu hari nanti sesuai dengan impian mereka yang ingin kembali ke bangku sekolah. Rasanya tidak ada hal yang lebih membahagiakan dihari itu selain melihat senyuman di wajah mereka dan janji mereka untuk kembali ke bangku sekolah. Mereka anak-anak yang tinggal di lingkungan rel kereta api dan menyimpan impian masa depan. Seperti Dimas yang ingin jadi musisi, Marta yang ingin jadi Guru dan Marsel yang ingin punya pendidikan tinggi. Surat yang mereka tulis ini akan jadi saksi suatu saat tentang mereka anak-anak rel dan impian-impian mereka. Agustina Cakrawala Club Jogja, 27 Agustus 2013 (Coretan Perjalanan Puncak RInjani)
Bang Az 'Bang, kalaupun mereka sudah turun, kita tetap harus sampai ke puncak ya.' Suara letih itu menaikkan asaku yang tinggal sehela napas lagi. Freddy, teman baruku dalam perjalanan mendaki Puncak Rinjani telah menyindir kelelahan fisik dan mentalku dalam kegelapan malam menjelang subuh yg mencekam itu. Benar kata Botot berulang kali ''puncak itu terlihat dekat dimata tapi jauuuh di kaki.’ Aku belajar banyak dari pendakian pertamadalam hidup ini. Semangat saja tidaklah cukup jika tidak disertai mental yang kuat ketika badai menerjang, jurang dikiri kanan yg siap menelanmu hidup-hidup. Mata terus merenggek-rengek memohon tidur sekejap karenasudah melek sepanjang hari dan malam yang tidak biasa. Ingin kubiarkan mataku terpejam sesaat tapi aku takut. Setiap godaan itu dating aku ingat pesan pak ketuaku, Todi, 'jangan kau tergoda utk istirahat panjang karena kau tdk akan mampu melanjutkan perjalanan yang tersisa'. Saat itu, aku mulai menanyakan ulang ' seperti inikah hidup? Jangan terlalu lama istirahat dalam menempuh perjalan hidup ini karena kau tak akan mampu melanjutkan sisa hidup ini karena terlalu nyaman?' Ada saatnya untuk rehat sejenak mencerna perjalanan yang kita lewati, tapi hidup harus terus dijalani karena dia tidak akan berhenti terlepas kita siap atau tidak. Life must go on! Entahlah! Kurasakan betis dan dengkul protes minta berhenti. Batin menjerit: 'Sudah! Sudahlah! Berhentilah dan kembali saja ke tenda! Apa yang kau cari memaksa diri ke puncak 3726mdpl itu. Tidak ada toh yg perlu kau buktikan. U've got what you need in your life. Cannot be better than this! You almost got everything, why doing this?' Sementara sisi batin lain trus menggelora ' ayok, lihat Eva yg jalan setapak demi setapak dan terlihat tidak berdaya sudah jauh di depan kamu, masak kamu ga bisa! Eva adalah anggota tim kami yang terlihat secara fisik lemah dan sangat slow dalam banyak hal, tapi dia berhasil mencapai semua target akhir dengan sangat baik. Dikiri kanan menuju puncak aku melihat bule2x yg sudah berumur terus berjalan pelan tapi pasti. Memang ada yg pingsan tapi kemudian bangkit lagi hingga mencapai puncak gunung tertinggi ke-3 di Indonesia itu. Aku kembali mengingat kata2x ajakan freddy diatas dan melihat dia terus melangkah dengan kaki dan badan gementar tapi tidak mau menyerah. Kata2x ajakan itu benar2x menghilangkan semua raguku. Terima kasih Frett. Barangkali hidup juga begitu ya, kadang ucapan dan perhatian orang sekitar kita membuat kita kuat (atau lemah) dalam menempuh perjalanan hidup ini. Saat itu aku terus berjanji pada diriku sendiri untuk mengucapkan hal2x baik karena aku tidak pernah tahu pengaruhnya terhadap hidup seseorang, persis seperti ajakan Freddy utk melanjutkan perjalanan apapun yang terjadi. Kehadiran seseorang ketika kita berada dalam titik terlemah membuat semuanya bisa walaupun mungkin kita tidak berbuat dan tidak berkata apapun. Kehadiran kita dengan hati dan keikhlasan, barangkali sudah lebih dari yang dibutuhkan orang tersebut. Ya dengan ikhlas, bukan dengan ego diri apalagi kesombongan yang mencelakakan. Momen ketika jalan sangat terjal berbatus cadas dengan tingkat elevasi mungkin sekitar 25-30 drajat dan debu yang menyiksa muka mata dan hidung, seperti mengingatkanku akan realita kehidupan yang sering tidak mudah. Take the bright side of it! challenge makes you think and smarter, otherwise tidur aja dirumah berleha-leha dan spa…bosen juga kan? Freddy, Eva, dan orang2x itu terus berjalan menempuh asa yg tersisa memberiku semangat untuk melangkah. No poin of return!!! Begitu bisikku. Kuterapkan prinsip yg kulihat dari Eva selama pendakian ini : 'pelan tapi pasti, aku ambil 10 langkah lalu berhenti dalam 7 hitungan dan kuucapkan trima kasih pada diri sendiri atas setiap kemajuan 10 langkah itu. Terus aku praktekkan strategi ini mulai jarak sekitar 2 atau 3 kilo dari puncak hingga aku sampai di titik Puncak Rinjani itu. Alhamdulillah! Puji Tuhan! Akhirnya aku sampai di titik puncak yang sudah kuperjuangkan siang dan malam semala beberapa hari ini. AKu pilih spot yang membuatku leluasa mengamati tingkah perilaku manusia yang sampai dipuncak ini. Mereka pasti orang2x hebat yang sudah menaklukkan perjalanan yang sangat tidak mudah ini. Hampir semua berfoto ria. Jelas terlihat pancaran kepuasaan dan perasaan haru, bahagia, feeling so good dari raut muka itu. Namun cara gesture mereka tidak bisa bohong, semua lelah dan letih yang ditahan. Ada yang hanya berdiri kaku mengagumi keindahan panorama di puncak gunung itu seolah tidak mau beranjak dari sini. Ada juga yang cas cis cus foto sekitar beberapa menit dan lalu turun lagi. Perilaku yang terakhir ini aku kurang paham. Why so rush for going down while you are here? Kok semuanya terburu-buru ingin terus turun. Bukankah tujuan utamanya dari sejak keberangkatan adalah menuju titik puncak ini? Setelah berhari-hari berharap, begadang dan berjuang untuk sampai disini, lantas langsung turun lagi? So, apa yang kita cari ya? Aneh ya? Biasalah otak ini ga bisa diam, coba mencari jawabannya. Aku menemukan hypothetical answer-nya : barangkali titik akhir dalam perjalanan hidup itu tidak pernah ada, ketika kita mencapainya, titik itu menjadi titik awal menuju titik akhir baru yang tercipta dari kombinasi impian dan harapan baru kita. Kalau tebakan jawaban itu bisa diterima, berarti mencapai titik akhir itu penting, namun yang lebih penting lagi adalah proses menjalani setiap langkah yang dibuat menuju titik yang ingin dicapai tersebut. So, again, it’s not about the end but the process, dong! I don’t really know…jalanin aja yok! Yang pasti pengalaman ini menyakinkanku untuk: pertama, nikmati setiap langkahmu dalam hidup ini, tidak perlu buru-buru dan memaksa diri. Enjoy aja! Kedua, istirahatlah sejenak karena kamu pasti lelah sudah menempuh perjalanan panjang tapi jangan terlalu lama karena kamu akan merasa terlalu nyaman dan takut untuk melangkah lagi. Perjalanan menuju Puncak Rinjani bukanlah sekedar menguji ketahananan fisik tapi juga uji nyali dan jiwa. Sebuah proses mengenal diri dan kawan2x kita secara lebih jujur dan tanpa manipulasi. Kita tidak mungkin bersandiwara ketika dihadapkan pada situasi hidup atau mati. Disinilah ketika egoisme diri bertempur dengan kesetiakawanan, kesombongan berhadapan dengan kerendahan hati, definisi sabar yg perlu diberikan makna ulang. Aslinya keluar. Disinilah saat saat terdekat dengan diri kita sendiri atau kawan terdekat kita saat itu.. Semua akan teruji terhadap apa yang kita pikirkan dan ucapkan. Palsu atau tulus? Botot mengira kalau si bule itu sudah gila membangun ‘tenda’ tempat buang air besar. “ untuk apalah dia buat ‘tenda’ segala untuk hanya buang hajat itu, kan tinggal pilih mau e’ek dimana aja terserah, wong luas begitu gunung ini. Mau di pasir, di rumput, di batu, di dekat pohon, tinggal pilih aja kok…. Gila kali ya bule ini..” umpat Botot dan cerita ke kita semua. Apa yang terjadi? Tengah malamnya, dia kebelet dan perutnya mulas. Angin kencang dan dinginnya udara puncak gunung, melebihi udara dalam kulkas, tidak memungkinkan anda buang hajat di alam terbuka begitu saja. ‘tenda’ yang dibuat bule itulah menjadi penyelamatnya malam itu. Dia pengguna pertama ‘tenda’ WC itu. Another lesson of life, hah! Terima kasih Todi yg telah membuat perjalanan ini menjadi nyata dan kau menjadi jembatan kita semua. Kau tunjukan bagaimana menjadi manusia dengan persiapan matang dan target yg jelas. Kau ajarkan ketegasan itu untuk mencapai hasil yg maksimal. Kepemimpinan yg tegas dalam situasi kritis adalah bukan untuk dinegosiasi. well done! Kau ajarkan kapan harus tegas, kapan harus mengalah kecuali ketika pose dan foto.. hahaha. Terima kasih Botot yg mengajarkan bagaimana hidup ini dapat dijalankan dengan canda tawa yang cerdas walaupun dalam kondisi terdesak e'ek jagungmu itu! Tantangan dalam pendakian kemarin menjadi lebih mudah ketika kau buat semuanya terlihat ringan karena celotehanmu terdengar lucu tapi tetap indah dan cerdas. Tidak murahanlah. I missed that all. Eki yang memberikan contoh mencoba mengerti yang lain tanpa menuntut untuk dimengerti. What's a nice man! Eva yang mengajarkan sabar dan pelan tapi pasti mengejar apa yang dia mau dan tidak perlu teriak2x dan buru2x, menikmati setiap langkah yang ditapaki dalam bingkainya sendiri. Freddy, what's a good mate in a very difficult situation, you must be a good person to go through in difficult life times. Kalian sahabat-sahabatku yang hebat yang telah memberikanku pengalaman hidup baru untukku. Aku belajarbahwa hidup bukanlah mencapai target saja (ends) tapi proses dan cara menuju kesanalah membuatnya bermakna dan lebih indah. Trima kasih sobat baruku. Puncak Rinjani, 20130828. Aku dan Arnald duduk di sebuah pohon Beringin di Jalan Mallioboro Yogyakarta. Hari masih siang saat kami memutuskan beristirahat sejenak setelah lelah berkeliling observasi lokasi untuk kegiatan sosial kami.
“Ternyata nggak mudah seperti yang dibayangkan. Menolong orang itu tidak mudah”, aku sudah menebak Arnald pasti akan mengatakan ini dalam perjalanan. Hanya aku tidak tahu kalau dia mengatakannya secepat ini. “Sekarang kamu tahu kan, tidak mudah untuk turun langsung ke dalam masyarakat. Kemana perginya semua teori-teori yang kamu pelajari. Di kampus, boleh mengaku diri menjadi mahasiswa yang cerdas dan hebat tapi untuk apa semua itu kalau hal yang seperti ini saja kita tidak bisa melakukannya. Kamu bisa bayangkan bagaimana para pemimpin di negeri kita yang hanya bicara teori tapi mereka tidak pernah merasakan hidup di tengah-tengah masyarakat biasa dan tidak pernah tahu seperti apa penderitaan yang dialami oleh rakyat. Bersyukurlah untuk kesempatan ini karena disini proses belajar dimulai”. Aku berceramah pada Arnald seperti seseorang yang sudah sangat berpengalaman. Walaupun sebenarnya tidak ku mungkiri, aku memiliki beberapa pengalaman ini. Perjalanan kami baru saja dimulai. Jogja adalah kota pertama, sementara masih ada Semarang, Surabaya dan Bali. Kami ditantang oleh advisor club menulis kami untuk melakukan traveling di empat kota. Bukantraveling biasa, karena kami harus melakukan kegiatan sosial di setiap kota yang kami singgahi sebelum melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Adapun social project ini bukan sembarangan. Kami harus melakukannya dengan penuh pertimbangan yakni menolong orang yang memang membutuhkan pertolongan tetapi yang ditolong harus mendapatkan impact dari pertolongan yang kami berikan. Untuk itu bukanlah hal yang mudah memilih target tersebut yang dimulai dengan proses observasi, identifikasi lalusocial activity. Kami kewalahan menelurkan ide yang kreatif dan disinilah kami sekarang duduk termangu di bawah pohon beringin. Saat sedang menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus di bawah pohon beringin itu tiba-tiba pandanganku mengarah kepada seorang nenek sedang menawarkan jeruk kepada orang-orang yang lalu lalang. Jauh di seberang jalan, aku terus memperhatikan nenek itu memanggil-manggil orang yang lewat sambil memikul bakul besar di punggungnya yang semuanya berisi jeruk. Adapun jeruk yang ditawarkannya adalah jeruk segar yang sudah dipacking dalam plastik putih olehnya. Aku memperhatikan nenek itu hampir setengah jam. Sampai akhirnya dia kelelahan di bawah terik matahari yang menyengat kulit. Dia memutuskan untuk duduk beristirahat di bawah pohon beringin yang di bawahnya terdapat bangku semen. Bangku itu biasannya dijadikan tempat singgah para pelancong dan penduduk lokal untuk sekedar istirahat berteduh ataupun nongkrong. Tidak hanya duduk saja, nenek itu tetap memegang plastik yang berisi jeruk untuk ditawarkan kepada orang-orang yang lewat di dekatnya atau yang duduk di sekelilingnya. Tidak ada satupun yang membeli jeruk nenek yang malang itu semenjak aku memperhatikannya dari tadi. Hal ini membuat aku sedih teringat perjuangan seorang nenek tua renta berjalan kesana kemari dengan memikul jeruk di tubuhnya yang jumlahnya puluhan kilo itu. Dengan badannya yang bungkuk ia sama sekali tak menyerah demi berharap ada orang yang membeli jeruknya walaupun hanya satu kantong plastik. Hatiku terasa tersayat, sakit sekali. Teringat mungkin nenekku seumuran dengannya. Bagaimana kalau yang sedang jualan itu adalah nenek aku sendiri. Berjalan di bawah terik matahari dengan beban di punggung bungkuknya dan menjajakan dagangan seperti yang dilakukan si nenek. “Nald, kamu tunggu disini. Aku mau bertemu nenek yang sedang jualan jeruk disana. Barangkali ada yang dapat kita lakukan untuk membantunya”, aku bergegas meninggalkan Arnald dan menyeberang jalan. Aku memang sengaja tidak mengajak Arnald Karena melihat wajahnya yang diliputi kelelahan. Ia baru saja tiba semalam dari Jakarta. Sementara aku sudah tiba dua hari sebelumnya. Ada urusan yang harus dikerjakan makanya aku berangkat sendirian dan menunggu dia di Jogja. Aku duduk disamping nenek itu. Dia langsung menawarkan jeruk kepdaku seperti yang ia lakukan sebelumnya kepada orang lain. Proses identifikasi dimulai, aku ambil jeruk di tangannya sambil bertanya tentang jeruk yang ia jual. Pembukaan yang bagus karena informasi demi informasi dituturkan oleh si nenek. Jeruk ini ia beli di pasar di dekat kampungnya lalu ia jajakan jeruk ke Mallioboro. Jarak dari kampungnya ke Mallioboro sekitar 17 km. Setiap hari ia naik bis untuk bisa tiba di Mallioboro. Namanya Marto Nuhun, usia 87 tahun. Di desa ia tinggal bersama kedua anaknya yang sudah memiliki keluarga masing-masing. Suaminya mengalami kelumpuhan seluruh badan dan tidak dapat bekerja lagi. Makanya Mbah Marto, begitu ia menyuruhku memanggilnya, ia harus berjuang untuk biaya hidupnya dan suaminya itu. Aku melihat matanya berkaca-kaca saat ia menuturkan cerita tentang keluarganya. Kerut yang memenuhi seluruh kulit wajah dan tubuhnya menggambarkan betapa ia sudah hidup dalam kepedihan yang berkepanjangan. Namun, aku dapat melihat dia seorang pekerja keras yang ingin hidup mandiri dari anak-anaknya tanpa harus meminta-minta kepada mereka. Sesekali ia mengelap mukanya dengan kain gendongan bakulnya itu supaya keringat tidak menyebar ke wajahnya. Giginya ompong dengan suara yang parau saat ia bicara semakin menambah rasa sayangku padanya. Dia memang bukan siapa-siapa bagiku. Tetapi kebersamaan dengannya selama setengah jam dan menjadi pendengar saat ia bercerita telah membuat aku merasa ia bukan lagi orang asing bagiku. Aku memperhatikan kakinya, terlihat kuku-kukunya yang hitam dan kotor. Bagaimana bisa mbah Marto ini berjalan berjam-jam di atas aspal di tengah terik panas matahari ini. Aku tawarkan diri untuk membelikan sandal untuknya berharap hal tersebut dapat membantunya. “Nggak usah nak, mbah jatuh kalau pakai sandal”,begitulah kalimat yang diucapkannya saat aku menawarkan bantuan. Ku perhatikan lagi kakinya dengan lebih seksama. Ternyata kaki-kakinya kelihatan bengkok. Pantas saja dia tidak bisa memakai sandal. Aku bayangkan saat ia berjalan menggunakan sandal pasti ia akan jatuh tergelincir atau tersungkur di jalan. Lalu aku menawarkan diri membelikan topi untuknya saat aku memperhatikan di sekeliling ada banyak perempuan yang menjajakan daganganya dan mereka menggunakan topi untuk melindungi wajah dari sengatan matahari. “Jangan nak, mbah tidak bisa pakai topi, mumet, pusing”, ujarnya kemudian sambil memegang kepala. “Terima kasih, Terima kasih”, katanya lagi sambil memegang tanganku. Niat baikku tidak bersambut. Bukan karena ia tidak mau menerima tapi karena kedua benda yang aku tawarkan itu memang tidak ia butuhkan bahkan dapat mencelakakannya. Kalau dipaksakan memakai benda tersebut, bisa dibayangkan sandal dan topi itu dapat membuatnya celaka atau mungkin membunuhnya saat ia terjatuh karena pingsan atau tersungkur di jalanan tertimpa beratnya jeruk-jeruk yang ia bawa. Tidak selamanya niat baik membantu orang lain akan sesuai dengan yang kita inginkan. Kadang segala sesuatu tidak sesuai pada tempatnya. Setidaknya aku sudah belajar dari kejadian ini. Akhirnya aku hanya membeli satu plastik jeruk dari mbah Martun berharap dapat sedikit meringankan bebannya. Setelah menerima uang dariku, ia segera pamitan sambil salaman denganku dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Lalu kuperhatikan ia berlalu dari hadapanku di tengah kerumunan orang-orang yang berlalu lalang di jalan Mallioboro. Hatiku perih. Aku kembali ke tempat Arnald beristirahat dan ia baru saja bangun dari tidurnya sekejap. Aku ceritakan tentang apa yang aku lakukan. Ternyata menolong orang itu tidak mudah. Kembali teringat kata-kata Arnald. Aku belajar dari mbah Marto hari ini. Usia dan fisiknya yang mulai rapuh sama sekali membuatnya tidak manja dengan berharap belas kasihan dari orang-orang. Ia mau berjuang dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki demi keberlangsungan hidup dirinya dan suaminya yang sedang lumpuh di rumah. Sementara masih banyak para pengemis yang fisiknya sehat dan usia muda dengan entengnya memohon belas kasihan kepada orang tanpa mau berusaha. Menurutku, mbah Marto salah satu pahlawan yang dimiliki bangsa ini dan contoh yang dapat ditiru kemandiriannya. Setidaknya pahlawan bagi keluarganya. Agustina Anggota Cakrawala Club Jogja 27 Agustus 2013 Melirik sekilas judul di atas, tulisan ini seperti mengarah kepada kisah para pendaki gunung Rinjani. Seperti apa perjuangan mereka dan semua suka duka yang mereka hadapi pada saat mendaki tersebut. Tetapi sama sekali bukan tentang itu. Ada yang lebih dari itu karena aku telah belajar dari mereka para pemberani.
Aku salah seorang yang beruntung bertemu dengan orang-orang seperti mereka. Karakter yang berbeda-beda namun memiliki hati seluas samudera. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa Bali akan sangat menyenangkan dengan adanya mereka. Kami berkenalan di hotel Subak Bali yang berada di Jalan Arjuna, Legian. Hotel ini lumayan strategis karena posisinya yang dekat dengan pantai Kuta. Disamping itu hotel ini juga dekat dengan restorant, cafe dan pusat belanja oleh-oleh khas Bali yang terpampang di sepanjang jalan Legian. Disanalah aku dan Arnald menginap. Lelah setelah berjuang melakukan Traveling yang penuh tantangan disertai aktivitas sosial di setiap kota sebelumnya telah hilang dari tubuh dan pikiran kami. Yang tersisa adalah perasaan bahagia menunggu detik-detik berlalu sambil menikmati keindahan Bali. "Hai, saya Andrian, temannya bg Azwar", aku menyambut uluran tangan yang hangat itu. Dalam hati aku bergumam, ini yang namanya Andrian. Karena sebelumnya aku sudah mendengar namanya dari bg Az. Andrian Sinaga adalah nama orang yang membooking kamar hotel untuk kami pada saat kami check in. Berikutnya disusul oleh Freddy, Eva dan Eqi. Wajah-wajah ini sungguh berbeda, aku kira awalnya mereka semua pasti bapak-bapak atau ibu yang umurnya jauh lebih tua. Mungkin sebaya bg Az atau di atasnya. Tapi, diluar dugaan. Mereka masih kelihatan muda, ganteng-ganteng dan cantik. Bahkan bg Freddy sekalipun yang sudah menikah masih kelihatan sangat muda. Tidak ada yang terlalu istimewa dari perkenalan di senja menjelang magrib itu. Namun, paling tidak kehangatan yang mereka berikan di tatap muka awal telah membuat aku membuka seluruh hatiku untuk mengenal mereka dengan lebih. Kedekatan kami semakin terasa saat duduk di Blue Ocean Cafe. Malam itu kami menikmati makan malam yang spesial. Apalagi aku dan Arnald disuruh pesan apa saja yang kami suka. Tentu rasa bahagia tak terkira setelah perjalanan sebelumnya kami selalu perhitungan dalam makanan dengan menahan diri supaya ongkos perjalanan bisa mencukupi. Bukan makan malam biasa. Karena aku dan Arnald mempresentasikan hasil perjalanan kami di tiga kota sebelumnya dan juga kegiatan sosial yang kami lakukan di tiap kota tersebut. Mereka semua menikmati cerita-cerita kami. Aku sangat bahagia melihat mereka memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan saat kami presentasi. Aku berada di awan saat itu. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh mereka satu persatu. Tentu saja dengan senang hati kami menjawab pertanyaan seputar kegiatan sosial kami. Misalnya, seperti pendekatan-pendekatan apa yang kami lakukan sehingga diterima di lingkungan target sasaran kami terutama komunitas marginal. Kami bahagia dapat membagi tips-tips yang kami lakukan. Keistimewaan dari pribadi pendaki ini membuat aku merasa nyaman berada bersama mereka. Misalnya bg Andrian, dia orang yang sangat fashionable. Aku suka cara dia bersikap tegas. Jiwa leader terlihat jelas dalam dirinya. Seperti dia mengomentari dan memberi usul mengenai pakaianku dan Arnald saat kami akan bersenang-senang di pantai menikmati Paraseiling dan Banana Boat. Aku suka sekali caranya berbicara memperlihatkan kepeduliannya kepada orang lain. Beberapa kali aku mendapatkan perlakuan yang menyenangkan darinya. Bg Freddy, dia lelaki dewasa yang luar biasa menurut aku. Apalagi tentang nasehatnya mengenai proses kehidupan. Dia bercerita tentang perusahaannya dan bagaimana sebenarnya sebuah proses mempengaruhi kehidupan seseorang. Dia bilang, mereka semua bisa seperti sekarang adalah karena mereka dulunya telah melalui proses-proses itu dengan baik. Aku senang mendengar dia berbicara dan dia juga suka mendengarkan orang lain bicara. Eva, dia satu-satunya perempuan diantara para pendaki Rinjani ini. Wajahnya lembut sekali dan bicaranya pelan. Aku melihat sikap penyabar yang tak terbatas dari perempuan ini. Aku sempat berpikir bagaimana perempuan selembut dia mau bersusah-susah mendaki gunung. Ada pelajaran yang juga luar biasa berharga dari kak Eva. "Untuk apa kamu hidup di dunia ini?", pertanyaan itu menyentakkan hatiku saat tiba-tiba dilontarkannya kepadaku. "Untuk bersyukur kepada Tuhan atas apa yang diberikanNya dalam hidupku", aku menjawab sekenanya. Seperti yang selama ini ku yakini bahwa hidup itu untuk bersyukur setiap harinya. "Hidup itu untuk mencari ridha Allah, kemanapun kita pergi yang paling penting dapat menemukan ridha Allah", demikian kalimatnya. Masih banyak sekali petuah-petuah dari perempuan hebat ini yang diajarkannya untukku. Darinya aku mengerti tentang hidup mencari ridha Tuhan dimanapun. Bg Eqi, ini dia lelaki yang luar biasa sekali. Aku paling banyak menghabiskan waktu dengan sosok yang satu ini. Karena bg Eqi menginap lebih lama di hotel saat teman-teman yang lain memutuskan untuk kembali ke rumah lebih cepat. Bersamanya aku telah belajar bagaimana arti hidup dengan menjelajah. Bersahabat dengan alam, gunung, pantai dan kota. Bg Eqi tidak suka keramaian. Dia lebih sering memilih untuk berjalan-jalan ke tempat-tempat yang lebih sepi. Seperti pantai, dia lebih memilih pantai-pantai yang tidak ramai dikunjungi. Jiwa petualangnya jelas sangat terlihat ketika dia bicara dan bercerita tentang tempat-tempat yang ia kunjungi. Dia lelaki yang tenang dan kalau sudah bicara penuh dengan pertanyaan-pertanyaan dan juga penjelasan yang mudah dimengerti. Mereka teman-teman bg Az yang luar biasa. Dari pertemuan dengan mereka aku melihat bagaimana mereka bersikap rendah hati kepada orang lain. Mereka orang-orang yang mau menghargai kehidupan dan tahu bagaimana caranya melalui hidup dengan cara yang lebih baik. Memanfaatkan kesempatan yang ada dan mau keluar dari comfort zone untuk menikmati tantangan yang ada di depan mata. Dari para pendaki ini aku tahu, bahwa hidup memang akan selalu begitu. Berada diantara pilihan yang harus dipilih. Meninggalkan comfort zone untuk mendapatkan sesuatu yang istimewa atau berada di comfort zone dan tidak pernah mencoba. Seperti mereka yang telah menakhlukkan gunung-gunung termasuk Rinjani, maka aku tahu jiwa apa yang mereka miliki dalam hidup ini. Semua sikap yang mereka tunjukkan adalah cerminan perjuangan yang telah mereka lakukan. Manusia, memang butuh keluar dari zona nyamannya untuk mengenal siapa dirinya. Itulah sebuah proses yang tidak semua orang memahaminya. Mungkin banyak orang yang mau menjalani proses dalam kehidupan tetapi kemudian hanya sedikit orang yang mengerti tentang proses yang ia jalani dan lebih sedikit lagi orang yang mau mengambil pelajaran dari proses tersebut. Aku tidak lagi heran, kenapa mereka menjadi leader di perusahaan-perusahaan mereka saat ini. Leader yang hebat karena mereka telah menunjukkan seperti apa melawan diri sendiri dalam menakhlukkan tantangan-tantangan. Para pendaki Rinjani itu telah menunjukkan kepadaku arti menikmati hidup bukan sekedar menjalaninya dengan menghabiskan sisa umur dalam kehidupan ini. Agustina Cakrawala Club Bali, 31 Agustus 2013 Rincian anggaran telah selesai, begitupun dengan rancangan kegiatan dan Trip Plan Management lainnya. Semua sudah beres, bahkan packing barang akan segera dilakukan. Perjalanan ini akan menjadi suatu perjalanan yang indah. Arnald partnerku dalam perjalanan ini adalah sosok yang menyenangkan.
Ini baru namanya kompetisi. Unik dan penuh tantangan.traveling ke empat kota dan melakukan kegiatan sosial di setiap kota yang disinggahi. Hadiah liburan di Bali menanti. Tentu saja rasa bahagia tak terkira apalagi kalau teman satu tim dalam perjalanan adalah orang yang menyenangkan. “Hallo Gus, gua keterima. Gua lulus ke Cina” suara Arnald via telephone terdengar bahagia walaupun nada bicaranya berat. “Selamat ya. kamu memang pantas lulus”,ujarku. “Tapi ada masalah, gua nggak bisa berangkat bareng lo ke Jogja. Ada hal yang harus gua urus dulu untuk persiapan program ini”. Kelulusan Arnald di program Jakarta Sister City untuk berangkat ke Cina memang ku harapkan. Tapi ia tidak berangkat bersamaku ke Jogja adalah hal buruk yang tak pernah ku bayangkan. Bagaimana aku akan berangkat sendiri. Naik kereta api malam hari selama 8 jam menuju Jogja akan membuatku bosan dan ketakutan sendirian. Rasanya seperti mimpi. Rasa sedih dan takut akan kesepian menjalari hatiku tiba-tiba. Ini tidak sesuai rencana, ini seperti hukuman. Tetapi walau bagaimanapun aku harus tetap melanjutkan perjalanan ini. Ada ataupun tidak adanya Arnald. Kompetisi ini harus diteruskan walaupun terkesan cacat ketika ada anggota tim yang tidak bisa berangkat. Arnald memang berjanji akan menyusulku ke Jogja nantinya. Tetapi aku tidak ingin berharap banyak lagi. Takut kecewa ketika ia tidak jadi datang. Aku seperti De Javu. Dulu pernah kejadian saat akan traveling ke Malaysia, tiba-tiba teman seperjalanan denganku membatalkan keberangkatannya sehari sebelum berangkat. Namun, aku tetap meneruskan perjalanan sendirian dan rasanya menyakitkan ketika itu terjadi. Hatiku sempat memberontak. Kenapa harus terjadi lagi. Tetapi ya sudahlah mungkin memang saatnya melakukan segala sesuatu sendirian agar mandiri. Arnald mengantarku ke stasiun Pasar Senen dan kami berpisah disana. Dia meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tentu saja aku berharap akan baik-baik saja. Bismillah, aku berangkat. Kereta Progo yang aku tumpangi mulai berjalan menuju Jogja. Perjalanan belum lama saat kereta berhenti di stasiun Jatinegara. Aku tidak menghiraukannya dan terus saja dengan kesibukanku membaca buku-buku yang memang sengaja aku bawa. Setelah setengah jam kereta tidak berjalan aku mulai bertanya-tanya. Ada yang aneh melihat orang-orang sibuk mondar mandir dan sebagian keluar dari kereta. Anehnya lagi bukan hanya kereta yang ku tumpangi yang berhenti di stasiun itu tapi ada beberapa kereta lainnya. Aku tanya pada ibu yang duduk di sampingku. Ia baru saja duduk dan sepertinya habis berjalan-jalan di gerbong kereta lainnya. “Ada apa bu? kok keretanya nggak jalan ya dari tadi?” tanyaku padanya. “Itu ada tawuran di depan. Tawuran warga Klender katanya jadi semua kereta di suruh berhenti”. Begitulah jawaban si ibu. Rasa gelisah tiba-tiba menjalari hatiku. Bagaimana kalau tiba-tiba warga menyerang kereta yang ku tumpangi. Mereka melempari batu atau sebagainya. Seperti yang dulu sering ku saksikan berita-berita di TV. Contohnya seperti pendukung tim sepak bola Bonek Surabaya yang pernah menyerang kereta. Pikiranku berkecamuk, aku tidak lagi berkonsentrasi pada buku-bukuku. Aku terus memperhatikan orang-orang yang keluar dari gerbong gerbong kereta. Entah mereka ingin mencari udara segar sementara kereta berhenti atau ingin mencari tahu apa yang terjadi. Walaupun jarak tawuran dengan stasiun lumayan jauh. Syukurlah kereta berjalan setelah satu setengah jam berhenti. Aku bisa tenang karena kereta mulai berjalan. Akhirnya ku putuskan meneruskan bacaanku lagi. Baru 5 menit aku membaca. Tukkk!! Sebuah suara kembali membuyarkan konsentrasiku. “Ada yang lempari batu di jendela”, kata ibu di samping sambil menunjuk ke jendela kaca di sampingku duduk. Aku terkejut bukan kepalang melihat jendelanya retak. Masih untung, karena batu yang dilempar bukan batu besar jadi kacanya hanya retak tidak hancur bertaburan. Kalau saja batunya besar, maka wajahku adalah sasarannya. Aku tidak bisa membayangkan wajahku dipenuhi darah terkena serpihan-serpihan kaca jendela kereta itu. Jantungku kembali berdegup kencang. Ini tidak seperti yang diharapkan. Perjalanan ini harusnya baik-baik saja. Bagaimana ini, Arnald tidak ada disampingku. Maka tidak ada yang menjagaku dalam perjalanan ini. Aku serahkan nyawaku pada Tuhan seutuhnya. Aku sudah benar-benar pasrah. Ya sudahlah. Apapun yang terjadi, aku harus melanjutkan perjalanan ini. Masih ada 6 jam perjalanan lagi. Aku harus menenangkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, sungguh ini perjalanan yang menyiksaku. Kelas ekonomi yang ku tumpangi ini benar-benar sesak dengan lautan manusia. Seorang bapak yang duduk berhadapan denganku sungguh menganggu kenyamananku selama perjalanan. Kakinya saat ia tidur mengarah kepadaku. Menyatu bersama kakiku mungkin lebih tepatnya pahaku. Aku tak bisa bergerak terjepit oleh kedua kaki panjangnya. Belum lagi ketika ia terlelap, ia meletakkan kedua kakinya ke atas tempat dudukku dengan posisinya yang mengangkang ke arahku. Bisa dibayangkan bagaimana aku terjepit di tengah-tengah kakinya kalau aku boleh kasar aku terjebak di antara selangkangannya. Ini membuatku tidak bisa tidur sama sekali dengan hatiku yang dipenuhi sumpah serapah untuk lelaki di depanku itu. Coba saja Arnald ada disampingku maka bapak ini pasti tidak akan berani bersikap tidak sopan seperti itu dan kalaupun dia melakukannya harusnya Arnald tidak membiarkan itu terjadi. Semuanya memang di luar dugaanku. Harapan tinggal harapan. Perjalananku penuh ujian. Pagi menyapa. Akhirnya aku bisa melihat kota Jogja setelah pertarungan yang hebat semalam. Sesampai di asrama Aceh, tempat aku menumpang nginap selama di Jogja, aku menyadari ada yang aneh dengan celanaku. Ternyata celanaku robek di bagian pantat. Robeknya besar pula dan menuntut aku harus membeli celana baru. Karena aku hanya membawa dua buah celana jeans. Aku mencoba mengingat episode yang membuat celanaku bisa robek. Kejadian itu pada saat duduk di bangku kayu menunggu kereta di Pasar senen. Sepertinya tersangkut di paku atau sejenisnya. Namun, aku tidak menggubrisnya. Baru setelah sampai di Jogja aku melihatnya. Sial, lagi-lagi hal yang tidak menyenangkan terjadi. Apa boleh buat, celana baru harus segera dibeli. Aku menghabiskan satu hari penuh keesokan harinya sambil menunggu Arnald datang menyusulku dan tidak ada kebahagiaan yang lebih besar saat itu selain melihat Arnald tiba di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Ia benar-benar datang menyusulku. Perjalanan dimulai dari Jogja lalu ke Semarang. Pagi pertama di Semarang, aku kembali diuji. Kabar buruk, ayahku kecelakaan parah dan sedang dirawat di IGD Rumah Sakit Umum di Aceh. Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis menahan emosi kesedihan ini. Lagi-lagi, aku tidak bisa kembali. Perjalanan ini harus diteruskan. Sangat bersyukur ibuku menenangkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ibu bilang bahwa aku harus menyelesaikan apa yang sudah aku mulai kerjakan. Perjalanan aku teruskan kembali sampai semua social project terlaksana dengan baik di setiap kota. Bahkan di Surabaya sebagai kota berikutnya. Bali, akhirnya kami dapat melihat kemenangan ini bersama setelah kelelahan luar biasa di dalam perjalanan beberapa hari sebelumnya. Sungguh cobaan yang tidak sedikit ketika ujian datang dan segala sesuatu tidak sesuai yang diharapkan. Namun, aku berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengajarkan arti kesabaran dan kerja keras juga kepada partnerku Arnald yang berjuang bersama-sama. Ketika harapan berbalik, maka saat itu pilihan diuji. Menyerah atau melanjutkan apa yang sedang diperjuangkan. Aku telah belajar dari perjalanan ini. Agustina Anggota Cakrawala Club Jogja, Semarang, Surabaya dan Bali (24-30 Agustus 2013) Bang Az
Pernahkah sobat meletakkan telapak tangan ke dalam lemari es dan biarkan selama 1 menit saja? Berapa lama sobat bias bertahan dalam kedinginan yang tidak berkompromi itu. Bagaimana rasanya?Hampir seperti itulah dinginnya pagi itu, barangkali sedikit berlebihan tapi itu gambaran yang bisa dirasakan.Itu adalah senin terakhir di bulan Agustus 2013 dan pagi pertama bagiku untuk mendaki Puncak Gunung Rinjani.Lama sudah aku tidak merasakan dinginnya udara pagi yang memalaskanku untuk membuka selimut yang kupeluk erat-erat sejak kedatangan di desa di kaki bukit pengunungan itu.Badan ini sudah terlalu biasa bermanja mesra dengan hanya sehelai baju tipis dan bahkan sering tidak digunakan ketika sedang berada di rumahku di Jakarta karena hawanya yang puuanas. Dalam kedinginan dan keenganan bergerak dalam dekapan lipatan sarung pagi itu, ketua tim pendakian kami teriak ‘ banguuuuuun!!! mandi…mandi..!!! kita harus jalan paling telat jam tujuh kalau tidak nanti kalian tidak akan tahan teriknya matahari selama pendakian.” Cepat-cepat ku lirik jam tangan hitamku, jam menunjukan pukul enam pagi. Aku punya satu jam untuk berberes dan sarapan pagi. “ huuuuh!!!! “ malasnya untuk bangkit dan masih ingin rasanya menikmati indah pelukan hawa dingin pagi Gunung Rinjani ini, sambil bergosip ria dengan sobat-sobat baru yang kocaknya bisa ngalahin si Sule itu. Kelihatannya semua masih bermalas ria, ada yang masih dibaluti sarung dan selimut, ada yang sudah menghirup kopi sambil melipatkan kaki dan tangan untuk mengumpulkan kehangatan. Aku buka ranselku dan aku cari-cari handuk untuk melangkah mandi di pagi yang dingin itu.Kubongkar semua isi ranselku.Tak kudapatkan juga handuk. “aduuuh!!!, I don’t like this happen, this is not me at all!!” Teriak kesal dalam hatiku. Ini ga mungkin terjadi, aku sering travel tapi memang belum pernah berangsel ria dan naik gunung seperti ini. Aku bolak balek lagi isi ransel itu dan memang ternyata tidak terbawa. “aku harus mandi di pagi ini!” batinku menyakinkan berulang kali. Semalam aku tidak mandi. Walaupun perasaan kotor akan debu jalanan yang menempel dari perjalanan seharian dari Jakarta-Lombok tidak bisa diusir, namun tertutup oleh lembut sejuknya hawa pengunungan di kaki bukit Gunung Rinjani itu. Ya, aku harus mandi karena nanti makin ke atas pasti makin dingin dan pasti makin tidak mudah untuk menguyur badan dengan air dingin. “Apapun yang terjadi, aku harus mandi pagi ini!mandi, mandi, mandaiiiii” sekali lagi pikiranku memaksa ku untuk mandi karena pasti karena alasan kesehatan. Bagiku mandi itu malam itu biasanya jauh lebih penting dan wajib hukumnya, karena malam hari kita tidur dan menghirup napas dan badan haruslah dalam keadaan bersih. Debu-debu yang menempel kotor tidak pernah kita tahu apa isi didalamnya dan pastilah menjadi asal muasal masuknya penyakit ke tubuh kita. “semalam aku tidak mandi , jadi aku harus mandi pagi ini sebelum berangkat. Titik.” Kupaksakan diriku melawan godaan nikmatnya sejuk dinginnya udara pagi itu dan seolah mengatakan “tak perlu kau mandilah, semuanya toh baik-baik saja dan nikmati saja hari-harimu, tak usah kau risaukan, apalagi kau tak bawa handuk!”. “ tidaaaak, aku harus mandi, tapi handukku dimana!” it is a big deal for me! Gaimana mau mandi dan mengelap air di badan dan biasanya aku selalu meminta handuk kering dan harum selama bertahun-tahun dan sekarang tidak ada handuk untuk mandi. ‘Aduuh, aku ga bawa handukni!” celotehku tanpa sadar keluar dari mulutku tanpa bermaksud memproklamirkan kegundahanku antara mandi dan tidak karena persoalan handuk itu. Tanpa basa basi, Eki, teman yang baru kukenal beberapa jam sejak di Bandara Praya Lombok itu, dengan cepat menawarkan ‘pake aja ni bang handukku!’ sambil mengeluarkan handuk tipisnya berwarna abu-abu muda. “kamu gaimana? Ada handuk lain?’ sahutku cool mencoba basa-basi. Padahal ingin rasanya melonjat dan gembiranya hatiku dan berharap dia tidak menarik kembali tawarannya itu. “ gampang bang!” Aku benggong aja.Speechless, antara senang dan binggung. Aku ga tahu maksud ucapan Eki ‘gampang, bang’ tapi aku coba terjemahkan dalam bingkai kepentinganku sendiri bahwa dia punya cadangan. Jadilah aku mandi dipagi itu dengan handuk yang masih kering dan masih wangi.Sempurnalah perjalananku pagi ini dan tidak ada yang saat yang retak saat awal melangkah mendaki di jam tujuh pagi hari senin itu.Eki teman baruku telah menyempurnakan pagiku di kaki Gunung Rinjani. Senyum sumringgah melebar ditiap wajah kami berenam di sepanjang perjalanan, semua saling ‘meledek dan bercanda’ mengambarkan keriangan hati dan harapan yang mengunung akan indahnya perjalanan ini. Perjalanan yang ditemani oleh porter yang sama jumlahnya dengan anggota tim trekking ini dan membuat kami tidak ada beban di punggung dalam pendakian ini. Kembali ke handuk.Handuk abu-abu sangat membantuku dalam perjalanan, tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk melap badan basah setelah mandi tapi juga sering aku pakai menutup bantal tiupan supaya lebih empuk untuk mengantarkanku ke dunia mimpi yang indah di tengah dinginnya malam.Eki-pun menjadi kawan setenda setenda sejak dari awal hingga akhir pendakian ke Puncak Gunung Rinjani.Kebersamaan ini membuat aku makin mengenal Eki.Seorang yang ceria dan sangat senang bergaul dan satu hal yang aku perhatikan sangat suka berbagi dan cenderung mengalah untuk kebaikan bersama dan harmoni kelompok. Selama pendakian ini, tanpa aku sadari aku perhatikan berhari-hari, handuk apa yang dipakai oleh Eki untuk mandi dan sering aku terkadang lupa aku pinjam handuk dia. Ada suatu waktu dia mau mandi waktu dipinggir Danau Segara Anak, dia mencari handuk dan aku tidak pernah melihat handuk itu. Betapa kagetnhya aku melihatnya eki memakai baju atau kain ( yang jelas bukan handuk) berbahan catoon untuk mandi. “haah!! benar kamu Eki, tidak punya handuk, kenapa kau kasih ke aku!” terus aku membatin, menerka-nerka, kok ada manusia seperti ini mengorbankan dirinya untuk orang lain. Tapi aku lupa menanhyakan lebih lanjut karena aku disibukan oleh packing yang harus kuselesaikan dalam waktu 15 menit. Dari kejadian ini, aku belajar lagi tentang kehidupan. Barangkali kecil soalan handuk ini, tapi aku percaya dari hal-hal kecil seperti ini sebenarnya mencerminkan hal-hal besar dari seseorang. Sikap dan reaksi spontan seseorang adalah cerminan paling jujur dari sebuah kepribadian, karena itu adalah bahasa dan pantulan dari dimensi alam bawah sadar seseorang yang tidak bisa dibuat-buat, ditambah, dikurang atau dipoles.Karena reaksi spontan ini tidak pernah tidur walupun jasad kita tertidur dan dia terbentuk dari akumulasi perjalanan hidup kita sejak dilahirkan hingga saat ini.Dari cara menawarkan dan gesture tubuh yang terlihat (expression given off-nya) seseorang kita bisa mengerti makna yang tersirat dibalik tawaran dan ungkapan kata dan sikap. Handukku itu seolah menjadi miliku selama pendakian Gunung Rinjani itu dan Eki tidak pernah sedikitpun meliriknya walaupun tergeletak disamping ranselnya karena kami satu tenda.“Peminjaman yang benar-benar ikhlas” pikirku.Ikhlas adalah kata yang sangat mudah diucapkan berulang kali namun menjadi sangat sulit ketika berhadapan dengan diriku sendiri. Ikhlas menjadi jampi-jampi untuk membujuk orang lain mengikuti kemauan aku tapi sering tidak berlaku ketika aku harus melakukannya untuk orang lain. Eki melakukannya dengan sangat baik dalam handuk abu-abu ini.terima kasih sobat baruku. Aku tidak tahu kamu sadar atau tidak, aku belajar darimu bahwa memberi atau berbagi memang harus dilakukan tanpa harap yang dapat mengecewakan kita kelak.Handukmu itu memberikan pelajaran baru bagiku. Berbagi dengan keihklasan itu memberikan pelajaran untuk diriku bawha bukanlah besarnya dalam berbagi tapi ketulusan dalam berbagi walaupun relatifkecil menjadi sangat berarti dalam membantu orang tersebut.Barangkali kecil bagi kita namun bisa berarti besar untuk orang yang sedang membutuhkannya. Terima kasih Eki dengan pelajaran berbagi dengan tulus tanpa berharap kembali. Trekking Gunung Rinjani, Agustus 2013. |
|