Sebentar lagi Ashar tiba. Aku dan Arnald duduk di salah satu sudut Mallioboro dengan pikiran tak keruan. Kami sudah menghabiskan setengah hari berkeliling Mallioboro, tetapi masih belum menemukan kelompok sasaran yang kami cari. Mereka orang-orang yang tepat dan pantas mendapatkan pertolongan kami. Sesuai dengan konsep kompetisi yang kami ikuti ini bahwa kegiatan sosial akan dilakukan di setiap kota yang kami singgahi. Kegiatan tersebut harus tepat sasaran dan impactnya dapat dirasakan langsung olehbeneficiaries. Sebenarnya mudah bagi kami untuk menolong siapa saja yang kami temui. Tetapi, lagi-lagi segala sesuatu harus sesuai dengan konsep yang telah disusun. Perjalanan ini bukan sekedar perjalanan biasa yang kami lakukan dengan jalan-jalan di suatu kota lalu menikmati tempat-tempat wisata yang ada. Ini bukan tentang liburan seperti itu, ini merupakan perjalanan tentang sebuah misi berbagi.
Sudah satu jam lebih kami duduk disana dan melepas lelah sambil terus berpikir tentang kegiatan sosial di Yogyakarta ini supaya dapat berhasil seperti yang kami inginkan. Akhirnya aku mengajak Arnald untuk shalat Ashar dulu dan berdoa semoga setelah itu ada pencerahan tentang kegundahan yang sedang kami hadapi. Hal ini benar saja terjadi, Setelah shalat Ashar, aku dan Arnald memutuskan untuk kembali ke jalan Mallioboro yang padat dan ramai. Tetapi saat sedang berjalan di dekat rel kereta api, kami dihadapkan pada suatu pandangan yang menegangkan. Tiga bocah menyeberang rel kereta api saat pintu gerbang untuk pedestrian dan pengendara kendaraan sudah ditutup karena kereta api akan segera lewat. Dua bocah laki-laki melompat pintu gerbang yang hanya setengah meter itu dan sudah berhasil menyeberang. Sementara satu orang lagi adalah gadis kecil yang sedang mencoba mengikuti tingkah kedua temannya itu. Tapi sepertinya ia kurang berani untuk melakukannya. Akhirnya ia putuskan untuk menunggu kereta lewat dan gerbang dibuka. Aku menarik napas dalam-dalam melihat tingkah mereka. Sungguh berbahaya apa yang dilakukan anak-anak ini. Bagaimana kalau mereka kalah cepat dengan kereta lalu ditabrak. Bermacam pikiran buruk melintasi pikiranku. Pada saat yang sama tiba-tiba ide cemerlang di kepalaku muncul. Aku memberitahu Arnald bahwa mereka targetnya. Mudah bagiku untuk melakukan identifikasi sebelum memutuskan mereka layak atau tidak untuk mendapatkan bantuan kami. Pengalamanku sebagai volunteer yang mengajar anak-anak marginal bertahun-tahun sudah cukup menjadi modal bagiku. Apalagi setelah mendengar satu kalimat yang keluar dari salah seorang mereka membuatku tertegun. “Kalian tidak sekolah?” tanyaku pada mereka, mungkin itu pertanyaan keempat setelah pertanyaan basa basi sebelumnya dalam proses identifikasi yang kami lakukan. “Kami sudah tidak sekolah mbak, tapi kami ingin kembali ke sekolah suatu hari nanti”. Itu Dimas yang bicara. Bocah yang masih duduk kelas 1 SMP namun putus sekolah karena tidak ada biaya. Dimas tinggal berpisah dari ibunya. Ia tinggal di sebuah kos-kosan dekat rel kereta api dengan abangnya. Abangnya sudah menikah dan Dimas menyewa kamar sendiri seharga 200 ribu perbulan. Uang yang dikumpulkannya dari hasil mengamen. Marta, gadis ini bertubuh kecil dan berparas imut. Kulitnya hitam terbakar matahari. Marta masih duduk di kelas 4 SD dan memiliki nasib yang sama dengan Dimas yakni putus sekolah karena tidak ada biaya. Yang terakhir namanya Marsel. Dia yang paling tua dalam tim kecil ini. Nasibnya juga sama dengan kedua temannya. Putus sekolah pada kelas I SMA. Berhubung dia yang paling tua maka dia sering dipercayakan untuk mengambil keputusan dalam tim kecil ini. Setelah berdiskusi akhirnya mereka sepakat untuk menerima bantuan kami. Disamping menjadi pengamen mereka akan merangkap profesi satu lagi sebagai pedagang asongan. Aku meminta mereka masing-masing untuk menulis surat yang isinya impian-impian mereka di masa mendatang. Lalu aku dan Arnald juga menulis surat untuk mereka. Setelah saling bertukar surat, No. Hp, dan Facebook. Kami menyusuri jalan Mallioboro dan memasuki sebuah swalayan untuk belanja barang dagangan asongan. Mereka sangat bersemangat dan terlihat begitu bahagia ikut memilih-milih barang dagangan. Kami membeli tissue, permen, snack dan beberapa barang lainnya. Setelah merasa cukup, aku dan Arnald mengajak mereka makan sambil mengajari mereka berbisnis. Dimas yang paling antusias dan mengerti dengan cepat setiap penjelasan yang kami berikan. Mereka bertiga berjanji akan berjuang dengan berdagang dan mengamen lalu mengumpulkan sebagian uang untuk ditabung. Uang itu akan digunakan untuk biaya sekolah mereka suatu hari nanti sesuai dengan impian mereka yang ingin kembali ke bangku sekolah. Rasanya tidak ada hal yang lebih membahagiakan dihari itu selain melihat senyuman di wajah mereka dan janji mereka untuk kembali ke bangku sekolah. Mereka anak-anak yang tinggal di lingkungan rel kereta api dan menyimpan impian masa depan. Seperti Dimas yang ingin jadi musisi, Marta yang ingin jadi Guru dan Marsel yang ingin punya pendidikan tinggi. Surat yang mereka tulis ini akan jadi saksi suatu saat tentang mereka anak-anak rel dan impian-impian mereka. Agustina Cakrawala Club Jogja, 27 Agustus 2013
0 Comments
Leave a Reply. |
|