Suatu hari mama angkat bertanya kepadaku, “kenapa kamu menggunakan jilbab?” Pertanyaan ini sudah menjadi ekspektasi sebelum keberangkatanku ke Belanda. Sebelum berangkat, anganku berkata banyak sudah termasuk berbagai asumsi bagaimana menjadi minoritas di negara orang.
Di Indonesia, saya seorang pemuda yang memeluk agama Islam, agama yang sudah menjadi mayoritas. Sangat berbanding terbalik ketika di Belanda, agamaku menjadi minoritas. Tapi dari situ aku mengenal dan merasakan perbedaan dalam kedamaian. Masih kuingat dalam memoriku ketika di Utrecht, salah satu kota di Belanda. Pertanyaan mama yang sudah menjadi dugaan sebelumnya terlontarkan kala itu ketika usai makan malam. Saya duduk di samping mama, bercerita santai tentang hari-hari yang dijalani berikut pengalaman yang saya rasakan. Bercerita begitu mengalir saja, mengenai studi, karir, asmara, parenting hingga keyakinan. Mama memeluk Protestan dan papa memeluk Katolik, saya sendiri memeluk Islam. Mama bertanya kepadaku mengenai alasan mengapa menggunakan jilbab, aku menjadi lebih ke kebutuan emosional dimana merasakan kedamaikan ketika ada kain menutupi kepala. Kemudian, mama memberi motivasi dan menunjukkan berita di Belanda mengenai perempuan muslim yang menjadi mahasiswa teladan di salah satu perguruan tinggi di Belanda. Aku tersentuh, beberapa praduga benar adanya. Namun, ada praduga lain yang hanya praduga semata. Menjadi minoritas itu kupikir membutuhkan effort lebih, namun ternyata menjadi minoritas adalah indah. Pertama ketika itu aku bertemu sesame muslim di jalan, kemudian saya disapa dengan senyum. Seketika hati bergetar, merenungi diri kemudian berefleksi. Kedua, ketika di tempat makan mereka tidak menawarkan serta menghidangkan makanan yang tidak dianjurkan menurut keyakinanku. Kupikir, mereka berdiri dengan ego nya, namun ternyata orang-orang banyak yang berpikir terbuka, menciptakan kedamaian dan toleransi satu sama lain. Ini pengalaman saya pertama ke luar negeri. Jika ditanya apakah gugup, pastinya saya gugup. Budaya di Belanda signifikan berbeda dengan budaya yang ada di Indonesia. Saya memiliki latar belakang dari suku Jawa, yang notabennya dikenal sebagai sungkan. Namun di Eropa, budaya tidak begitu. Harus bisa menyampaikan dengan jelas dan to the point. Ada suatu titik, dimana saya teringat perjuangan sebelum berangkat ke Belanda ini. Saya tidak menyangka, mimpi ini didukung oleh semesta. Bahkan ketika saya sempat melupakan mimpi ini, semesta meminta saya untuk memperjuangkan kembali. Ketika itu saya seorang mahasiswa di salah satu kampus di Jawa Barat. Kuliah sambil bekerja menjadi hal yang wajar bagi saya. Pasalnya disamping kebutuhan, saya memang harus melatih diri agar bisa mandiri dan tidak mudah merepotkan orang. Memilih program homestay ini bukan tanpa pertimbangan. Tantangan menderai, namun harus dilewati sebaik mungkin. Selagi kita masih mendengarkan suara hati kita, tidak ada yang salah. Pun demikian ketika memilih memutuskan mengikuti homestay program ini. Tak kurang usaha yang dilakukan, usaha konkrit dengan bekerja serabutan; sebagai peneliti, translator, hingga tukang pijit dan pastinya usaha doa agar senantiasa dikuatkan niat. And now, it has succeeded! Anisa Nur Ropika Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018
0 Comments
Kurang lebih 35 hari aku di Belanda. Jujur saja setiap harinya, tak henti-hentinya aku kagum dan sedih. Iya, aku kagum karena begitu jauh-lebih bagusnya Belanda ini dibanding negeriku. Begitu juga sebaliknya, aku juga sedih. Jangan bilang aku berlebihan, memang begitu kenyataanya. Sering kali temanku selalu mengingatkanku untuk tidak membandingkan karena itu tidak apple to apple. Iya, aku sadar memang bukan dua hal yang bisa dibandingnkan. Satunya negara maju, satunya negara berkembang. Hanya saja, aku keras kepala untuk selalu membayangkan andai saja negeriku bisa sehebat ini. Lagi-lagi dalam otak dan hatiku selalu bilang dalam diam, kapan negeriku bisa sekeren ini.
Pada beberapa hari pertama, temanku mengatakan bahwa aku hanyalah seorang wisatawan. Oleh sebab itulah aku hanya tau sisi baiknya saja, wajar saja kalau aku terkagum-kagum, katanya. Tapi nyatanya, kekagumanku bertahan hingga hari terakhir aku berada disana. Setiap makan malam, diskusi dengan berbagai latar belakang orang Belanda, mengamati dan merasakan secara langsung, menjadikanku sadar akan berbagai hal. Dalam tulisan ini, kuingin membandingkan yang mungkin beberapa tahun lagi (harusnya kurang dari 20 tahun ya) keadaan Indonesia di tahun itu. Terlihat secara kasat mata, tidak ada perbedaan yang sangat signifikan antara orang kaya dan orang tidak kaya di Belanda. Hal ini ternyata dipengaruhi karena pajak yang diberlakukan oleh pemerintah sangat tinggi. Bahkan, penduduk yang memiliki penghasilan tertentu dalam kategori tinggi harus membayar pajak lebih besar daripada penghasilan bersih yang didapatkannya. Pajak bisa lebih dari 50% dari pendapatannya, bayangkan saja hak yang diterima lebih kecil dari kewajibannya. Sistem pajak yang demikian memang dimaksudkan untuk memperkecil gap kelas ekonomi sosial yang terjadi dimasyarakat. Dari kebijakan ini saja, terjadilah banyak efek domino yang menciptakan negara Belanda bisa sehebat ini. Misalnya, pastinya pemasukan negara lebih tinggi sehingga dana dapat dialokasikan kedalam berbagai hal lain. Damainya suasana antar masyarakat yang tidak saling menjatuhkan karena status ekonomi dan juga tidak ada lingkungan yang terlihat kotor karena banyak gelandangan atau masyarakat miskin. Tingkat kesejahteraan yang tinggi berbanding lurus dengan besarnya harga barang dan jasa. Menurut saya parameter kesejahteraan dapat juga dilihat dari kemudahan dalam menjalankan dan mengatur suatu kehidupan, yang kuncinya adalah aksesbilitas. Dapat dirasakan secara nyata, begitu nyamannya hidup di Belanda. Kata objektif yang mewakili kenyamanan ini adalah terorganisir. Hampir segala-galanya sudah memiliki sistem yang baku. Baik itu, transoportasi, energi yang digunakna dalam rumah tangga, pengaturan limbah/sampah, air, dan lainnya. Jauh lebih mahal biaya hidup disana, namun memag sebanding dengan apa yang didapatkan. Misalnya, untuk berpergian berjarak 20 km maka ongkos yang dikeluarkan setara dengan satu kali makan siang pinggiran (kebab). Transportasi umum yang digunakan adalah bus atau kadang jenis mobil MPV yang jadwalnya teratur, bersih, bagus dan menjangkau hingga ke pedesaan. Begitu juga dengan gas yang digunakan sudah saling terintegrasi menggunakan pipa untuk memenuhi semua kebutuhan, baik itu pemanas, kompor, atau air panas. Air yang digunakan untuk mandi juga bisa digunakan untuk air minum konsumsi langsung. Jalan raya baik di kota maupun di desa, menyediakan alokasi untuk kendaraan bermotor, sepeda dan pejalan kaki. Selain masih banyak lagi berbagai sistem yang teratur lainnya. Hal lain yang sangat saya rasakan adalah rasa saling menghargai yang tinggi. Bagaimanapun kondisi fisik, keyakinan kepada Tuhan, jenis pekerjaan, latar belakang sekolah dan perbedaan lainnya berhak untuk dihargai. Urusan personal tidak pernah dijadikan masalah bersama. Setiap orang saling menghargai satu sama lain, tidak ada justifikasi apapun untuk setiap hidup orang lain. Hingga pada suatu hari aku mikir, apa definisi cantik di sini?, ku tahu kalau di ngaraku definisi cantik itu ada standar selayaknya model iklan sabun di TV. Sudah biasa melihat pasangan yang sangat berbeda, misal orang hitam dengan orang putih. Hubungan orang tua yang telah bercerai tetap baik dengan keluarganya, dengan terang ke publik mana yang orang tua kandung dan bukan. Tidak ada yang perlu ditutupin dalam hal itu, orang tua biologis mereka menyebutnya. Aku yang menggunkan hijab juga tidak meraskan diskriminasi sama sekali selama menjalankan aktivitas. Kesadaran setiap individu akan penerimaan setiap jenis perbedaan dan ketidak ikut campuran dalam urusan personal, menyebabkan kehidupan damai. Budaya olah raga dimiliki hampir setiap orang, pemerintah memberikan perhatian khusus untuk ini. Terdapat sekitar 100 klub olah raga dalam satu daerah. Setiap anak akan menjadi anggota suatu klub, bagi anak yang kurang mampu akan disubsidi oleh pemerintah. Pemerintah menganggap hal ini penting karena olah raga berdampak secara langsung terhadap kualitas hidup seseorang. Ketika kualitas hidup bagus maka akan banyak dampak postif yang diperoleh oleh pemerintah, seperti produktivitas tinggi, biaya kesehatan turun, dan lainnya. Selain itu terdapat olah raga khusus untuk atlet atau masyarakat yang sudah tua, contohnya sepak bola berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk memfasilitasi orang yang kondisi fisiknya tidak sebagus anak muda, sehingga meskipun sudah tua tetap bisa berolah raga untuk menjaga kesehatannya. Selain itu, secara langsung kami dapat berdiskusi dengan mantan perwakilan daerah setara dengan DPRD yang baru sekitar satu tahun lalu pensiun. Faktanya, tidak ada fasilitas semewah di negeri kita, misalnya mobil dan sopir. Bahkan, untuk seseorang berkedudukan setara Bupati/walikota rumah dinaspun harus meneyewa. Gaji seorang DPRD sangat kecil, oleh sebab itu harus ada kerja lainnya untuk memenuhi kebutuhan finansial. Seolah-olah perwakilan rakyat yang didapatkan juga melalui partai dan dipilih secara langsung oleh rakyat adalah sebuah kerjaan sampingan. Semua biaya yang digunakan oleh pemerintah ditampilkan secara transparan. Apabila aset seseorang meningkat secara aneh, seseorang secara personal dapat mencurigai dan melaporkan untuk kemudian ditelusuri. Hampir tidak ada korupsi di negeri itu. Prostitusi dan minuman beralkohol dilegalkan dengan tujuan untuk mempermudah kontrol. Pernah suatu suatu hari di tahun 1953, Belanda tertimpa bencana banjir. Setelahnya, tidak pernah lagi. Negara Belanda yang berdiri di bawah permukaan laut menyebabkan 1/3 bagian dari Belanda adalah air. Tapi nyatanya, toh tidak pernah lagi ada banjir. Bangsa Belanda ini mengetahui apa kelemahannya dan kemudian paham betul bagaimana mencegahnya. Sejujurnya masih banyak lagi yang bisa dikagumi dari negri ini. Begitu banyak kenyataan yang menyadarkan ku betaapa banyaknnya PR negeri kita. Negara kita begitu kaya akan semua hal, namun begitu banyak yang masih harus diperbaiki untuk mewujudnkan kesetaraan dengan negara maju. Utamanya adalah pola pikir. Ingin sekali ku mengajak banyak orang untuk melihat dunia yang luas ini agar mereka sadar, hidup ini bukan hanya tentang dia dan keluagranya. Aku sayang dengan negeriku ini, sebisa mungkin akan ku kontribusikan sesuatu untuk negeri ini. Aku berharap begitu juga dengan kalian yang membaca ini, ayo kita sibukkan dengan membuat suatu karya demi menjadikan negeri kita lebih baik lagi. Sudahi urusan ikut campur urusan personal, hargai apapun pilihan hidup orang lain. Indahnya, apabila setiap orang diantara kita bahu membahu untuk memperbaiki negeri ini. Kurang dari 20 tahun, mari kita buat Indonesia menjadi negara maju. Terimakasih Gerakan Mari Berbagi, Japfa Foundation, Waskita, PT Bukit Asam, PT Garam, dan Dauky telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk melihat dunia lebih luas. Harapannya, apapun yang didapat akan berguna untuk banyak orang. Hesti Ghassani Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018 “Wangi keju, semerbak tulip memanggil-manggil….
Ingin ku segera wujudkan….” Sepenggal lirik dari yel-yel kelompokku, tim homestayer (peserta kegiatan The Youth Leadership Homestay Program Netherlands 2018), membayangi kami berempat (aku, Pika, Hesti, dan Diana) selama hampir setahun, yaitu sejak pengumuman peserta yang lolos menjadi homestayer Belanda hingga hari keberangkatan kami pada tanggal 27 Maret 2018. Awalnya, kami hanya bermimpi bahwa kami akan tertegun melihat menara kincir angin secara langsung untuk pertama kalinya atau memakan roti lapis keju sambil memandangi kebun bunga tulip yang bermekaran. Tak disangka, imajinasi tersebut menjadi nyata setelah kami harus berganti pesawat sebanyak dua kali, Kuala Lumpur dan Abu Dhabi selama perjalanan menuju Amsterdam. Perjalanan ini serasa mengingatkan saya akan pengalaman saya di Youth Adventure dan Youth Leadership Forum 2016. Saat itu, saya harus menempuh perjalanan selama tiga hari dua malam dari D.I. Yogyakarta menuju D.K.I Jakarta melalui dua kota kecil Jawa Tengah, Kutoarjo dan Slawi bersama dua rekan saya yang memiliki latar belakang yang berbeda. Untuk kali ini, saya juga menjalani perjalanan jauh dengan tiga rekan saya (yang juga memiliki latar belakang yang berbeda) dan kembali mengalami pengalaman berharga. Tak tanggung-tanggung, kami akan berpetualang di negeri kincir angin, Belanda. Perjalananan ini bukan berarti kami dibekali secara finansial sepenuhnya oleh Gerakan Mari Berbagi. Kami harus berjuang untuk mencari pundi-pundi uang sebagai biaya perjalanan pulang-pergi (asuransi perjalanan, visa, tiket, dan paspor) serta uang saku (termasuk kebutuhan transportasi) selama tinggal di Belanda. Seratus dua puluh juta dalam waktu kurang lebih sembilan bulan. Untunglah, kebutuhan akomodasi ditanggung oleh keluarga angkat. Perjuangan mencari pundi-pundi uang menguras waktu, tenaga, biaya, hingga emosi. Tak jarang, dinamika kelompok pun terjadi karena hal ini. Karena pengalaman pra-program ini, saya seringkali merenung bahwa program homestay bukan perjalanan wisata atau pertukaran pemuda biasa. Ini adalah proses pendewasaan yang melibatkan ketekunan dan kesabaran dalam memperjuangkan sesuatu. Bukan hasil yang dicapai, namun proses mencapai hasil tersebutlah yang harus diresapi dan dimaknai. Beruntunglah kami bahwa perjuangan ini berbuah manis. JAPFA Foundation, JNE, Waskita Karya, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Garam Persero serta rekan-rekan donator pribadi dari kalangan Board Member GMB bersedia mendukung kami dalam segi finansial untuk mewujudkan perjalanan impian ini. Perjalanan yang mendewasakan kami dalam menerima serta bertoleransi akan nilai-nilai baru di Belanda. Inilah proses ‘tangan di bawah’ yang kami jalani selama kurang lebih sembilan bulan, persis yang pernah saya rasakan di program Youth Adventure 2016 dengan melibatkan satu nilai inti GMB, voluntarism. Akhirnya perjuangan tersebut terbayar pada 28 Maret 2018. Hari itulah kami tiba di Bandara Schipol, Amsterdam dan berjumpa dengan salah satu keluarga angkat kami, Vital van der Horst. Saat itu, rintik-rintik hujan kecil dan angin menyambut kami. Cuaca yang tidak mendukung tidak menghalangi rasa bahagia kami saat menginjakkan kaki kami di Amsterdam. Perjalanan itu berlanjut dengan berbagai kejadian kecil yang tak terduga akibat gegap budaya atau culture shock seperti munculnya genangan air dan asap akibat salah mengoperasikan mesin cuci piring milik keluarga angkat, kekecewaan akibat salah membeli paket data tanpa kartu perdana, dan lain-lain. Gegap budaya juga saya rasakan ketika saya merasakan kesulitan menemukan tempat ibadah katolik untuk mengikuti misa trihari suci paskah (kegiatan keagamaan katolik-red) di sekitar tempat tinggal keluarga angkat saya, Breukelen. Awalnya saya bingung, mengapa gereja katolik di Breukelen yaitu gereja St Johannes de Doper tidak terbuka untuk kegiatan ibadah, namun hanya digunakan sebagai tempat konser paduan suara atau tempat pameran. Ternyata, hal itu tidak hanya saya temui di desa Breukelen tetapi juga di kota-kota besar seperti Rotterdam, Utrecht, dan lain-lain. Alasan klasik, banyak orang yang tidak tertarik lagi untuk datang ke gereja sehingga banyak gereja ditutup. Akhirnya, saya mengikuti ibadah Jumat Agung dan Minggu Paskah di gereja Protestan, Pauluskerk. Hal menarik pada ibadah tersebut, rekan saya beragama Hindu (Diana) dan Islam (Hesti dan Pika) ikut serta hadir dalam ibadah tersebut. “Aku khawatir nih Kak. Takut dilihat ramai-ramai sama umat gereja gara-gara hijabku”, bisik Pika saat berjalan menuju gereja. “Ga usah cemas. Cuek aja, Pik”, balasku sambil menenangkan Pika. Diluar ekspetasi Pika (juga saya sendiri), semua umat yang hadir tak memandangi Pika dan Hesti yang menggunakan hijab secara berlebihan. Bahkan, pendeta yang memimpin ibadah serta pengurus gereja juga senang menyambut kami dan berdialog akan keberagaman. Rasa toleransi sangat kental kami rasakan. Lagi, kami merasakan nilai utama GMB lainnya yaitu sharing in diversity atau berbagi dalam keberagaman terjadi di program ini. Tak berhenti sampai situ saja, saya merasakan hal berharga yang saya temui di perjalanan ini. Ketulusan. Ya, ketulusan dari salah satu orangtua angkat kami, Gerard Geerdink dan Jet Geerdink. Mereka tulus menerima kami untuk hadir di hidup mereka, tak hanya sebatas rumah tinggal. Setiap menjelang makan malam, mereka selalu menanti cerita pengalaman kami selama menjelajahi kota-kota Belanda. Banyak renungan yang reflektif dituangkan kepada kami selayaknya antara bapak-ibu dan anak kandung. Bahkan tak hanya itu saja, mereka juga ikut membantu dalam berkoordinasi dengan instansi yang kami kunjungi seperti WaterNet, pihak yang bertugas mengolah air minum untuk Amsterdam dan pemerintahan lokal Stichtse Vecht. Gerard juga mengajak salah satu orangtua angkat homestayer 2016 lalu, Niek de la Haije untuk menemani kami berkunjung ke pabrik pengolahan roti Ribbink's Specialiteiten Bakkerij, pabrik Keju Van Der Arend, lokasi pra-pengolahan air minum milik WaterNet. Kunjungan ke tempat tersebut merupakan hasil perwujudan Gerard dalam memenuhi harapan kami yang ingin sekali belajar mengenai produksi keju, roti, dan air minum di Belanda. Suatu ketika, rekan saya Diana dan Hesti bertanya kepada Gerard dan Jet mengenai alasan mereka untuk menampung dan berbagi ruang dengan kami. Mereka mengakui bahwa mereka sukarela untuk membagikan ruang hingga waktu dengan kami tanpa ada niat mengharapkan imbalan. Mereka ingin membagikan ilmu serta pengalaman mereka kepada kami yang baru menginjakkan kaki di benua Eropa pertama kalinya dengan senang hati. Mereka mengakui ada perasaan bahagia ketika bisa berbagi berbagai hal kepada kami. Mereka tidak lagi memikirkan berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan untuk berbelanja bahan makanan yang porsinya melebihi dari mereka biasanya. Begitu juga, mereka tak keberatan untuk membagikan waktu mereka untuk kami dan tak pernah membiarkan kami hanya berdiam diri di rumah tanpa mendapatkan suatu pengalaman berharga bagi kami. Nilai living beyond yourself yang selama ini saya dengar dari inisiator GMB, Bang Az menjadi nyata terlihat depan saya melalui tindakan Gerard dan Jet. Tentu ada nilai sharing in diversity juga dilakukan oleh Gerard dan Jet kepada kami, berbagi tanpa memandang latar belakang dan RAS. Bukan hanya sekedar keju, bunga tulip, boerenkool (hidangan khas Belanda), kincir angin, atau raja Willem-Alexander yang menjadi hal baru kami temui selama kami tinggal di Belanda selama kurang lebih sebulan, melainkan nilai-nilai utama GMB yang selama ini dibagikan oleh Bang Az menjadi nyata kami temui. Tak hanya itu saja, saya dan rekan saya; Diana, Hesti, dan Pika juga bahagia karena dapat memiliki keluarga angkat yang terikat secara emosional di luar Indonesia. Terima kasih kepada Gerakan Mari Berbagi, sponsor yang telah mendukung kami (JAPFA Foundation, JNE, Waskita Karya, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Garam Persero, serta donatur pribadi dari kalangan board member dan relasinya), mentor kami (Ka Tyas, Wine, dan Arnald), dan rekan-rekan GMBers yang telah mendukung kami selama proses seleksi hingga keberangkatan. Ini moment of change saya, bagaimana denganmu? Katherina Liandy Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018 “Take your time. This is your home too. Feel free and help yourself!” Ujar salah satu host family kami— Vital, begitu kami sampai di rumahnya. Rumah Bambu yang akan selalu mudah ditemukan seantero Breukelen raya! Tak lama ia melanjutkan, “I’ll go to the market for our dinner.” Tentang Vital dan Wine-nya. Hari itu adalah dinner pertama saya di Belanda. Pasta sayur saya sudah habis saat itu. Begitu pula Vital dan ketiga kawan saya. Lalu ia mengambil sebotol wine, mulai menuangkan di gelasnya. Kepada kami, ia juga mempersilakan untuk mengambil jika mau. Tanpa komando, kami langsung hujani Vital dengan berbagai pertanyaan. “Tell us, how you become a local politician?” Vital mulai bercerita. Dengan santai ia menjawab, “Beberapa teman di Breukelen merekomendasikan saya.” Selama sebulan tinggal di Breukelen, saya tahu alasannya karena loyalitas dan kepedulian dia terhadap orang-orang di sekitarnya. Di Belanda, lanjutnya, bekerja sebagai pelayan masyarakat merupakan sebuah pekerjaan kerelawanan. “But I enjoyed it!” Ujarnya. Ah ya, kini Vital telah pensiun dan menikmati hari-hari dengan bebas sebagai pebisni. Pembahasan berlanjut. Kami juga bercerita tentang kegiatan kami di Indonesia. Lama-lama, kami membahas hal-hal personal. Vital pun dengan santai bercerita kepada kami. Katika kami bertanya soal masukan untuk tantangan hidup yang kami akan lewati, selalu dengan santai ia menjawab, “If there is no problem, don’t make a problem.” Malam itu kami bercerita banyak, bertanya banyak dan tertawa banyak. Lelah perjalanan Indonesia – Belanda teralihkan. Bersama Vital, pengalaman dinner pertama saya di Belanda terasa sangat berkesan. Hari-hari berikutnya, dinner menjadi hal yang selalu saya nantikan. Bersama siapapun dan kapanpun. Malam lain, kami duduk di sebelah meja makan, di sofa yang menghadap televisi. Saat itu kami usai menghadiri pengukuhan pemerintah lokal, tempat di mana Vital pernah bekerja. Dia beranjak, mengambil sebotol wine. Yap, Vital mengaku setiap hari bisa menghabiskan satu botol wine. “Anyone?” Tanya dia. Wine dan Vital adalah kombinasi cerita-cerita dan moment saling mengenal satu sama lain itu dimulai. Bagi dia, setiap hari adalah pesta, sejauh ada wine di sana. Obrolan bisa ngarul-ngidul ke mana-mana setelahnya. Kadang kami membahas kehidupan percintaan. Kehidupan personal sampai hal-hal lain tentang hidup kami masing-masing. Kadang kami tak kenal waktu. Dari langit masih cerah pukul 20.00 sampai dengan gelap dan bahkan kadang sudah berganti hari. Kendati beberapa kali saya sudah menguap, tak ada tanda-tanda kalimat penutup. Pembicaraan masih berlanjut. Sampai benar-benar keluar kalimat “Okay, it’s time to bed” barulah pembicaraan usai. Begitulah hari-hari dengan Vital. Hanya sebentar kami bersamanya. Setelahnya, ia pergi ke Yogyakarta selama sebulan. Setiap cerita yang ia sampaikan menjadi jembatan saya menganal ia. Meski saya yakin tidak akan pernah bisa benar-benar mengenalnya. Saya tidak pernah memikirkan akan bertemu Vital sebelumnya namun di setiap perbincangan yang kami lakukan, rasanya saya selalu merasa dekat. Bertemu Cerita dan Makanan Pengobat Rindu Saya masih mengingat betul rasa opor ayam, gado-gado dan bala-bala buatan Renie malam itu. Renie adalah teman Vital yang juga tinggal di Breukelen. Dari rumah Vital bisa berjalan kaki 10 menit jika jalannya pelan-pelan sambil lihat pemandangan. Bahkan saat menulis ini, rasanya masih terbayangbayang oleh lidah saya. Enak parah! Hebatnya seorang Vital bagi saya, dia tak hanya mengenalkan dirinya. Lebih dari itu, ia mengenalkan lingkarannya kepada kami; memperkenalkan teman-teman dan keluarganya. Pertama kali bertemu Renie adalah saat kami hadir di acara pengukuhan pemerintah lokal saat itu. Tak tanggung-tanggung, Renie mengobati rindu saya pada masakan tanah air saya. Saat itu, tak ada seorang pun yang tidak nambah! Kalau saja perut saya masih muat, saya mau nambah terus! Renie lahir di Bandung. Renie kecil juga tinggal di Bandung selama setahun. Ibunya juga orang Indonesia. Ia pernah mendapat penghargaan langsung dari raja karena pengabdiannya terhadap masyarakat selama 16 tahun. Sama seperti Vital, ia juga seorang yang bekerja untuk pemerintahan lokal. Bisa saya sebut pekerja sosial di Breukelen dan Stichtse Vecht. Bagi Renie, bekerja di pemerintahan lokal adalah hal yang menyenangkan. Ia menikmati pekerjaan ini. Ia suka ada di ranah lokal karena kedekatan yang terjalin dengan masyarakat di lingkungannya. Di sini, bekerja sebagai pegawai pemerintahan adalah pekerjaan yang bersifat kesukarelawaan. Gaji yang didapat juga lebih kecil dari mereka yang bekerja di sektor swasta. “Karena itu, saya punya pekerjaan lain juga untuk menambah penghasilan saya,” terangnya. Selain Renie, kami juga bertemu dengan Grace. Ibu Grace. Seorang Maluku yang lahir dan tumbuh besar di Belanda. Dinner dengannya menggunakan bahasa Indonesia. Rasanya lucu bicara dengan bahasa Indonesia yang benar. Lebih terkesan kaku dan terbata-bata. Tapi saya senang! Kali ini Soto turut menghangatkan dinner kami. Saya juga nambah (lagi!). Kami nyanyi lagu Dingin milik Hetty Koes Endang. Tepatnya, hanya Ibu Grace yang nyanyi kami hanya takjub mendengarkan seseorang menyanyi lirik bahasa Indonesia dengan aksen Belanda. Lalu tertawa bersama keras-keras. Hahaha! Hal yang menarik, Ibu Grace mengawali cerita tentang dirinya dengan presentasi. Ia menceritakan pekerjaan ayahnya. Bagaimana ayahnya bertemu dengan ibunya ketika bertugas di Belanda. Ayah dan ibunya adalah orang Indonesia asli. Namun Ibu Grace lahir dan besar di Belanda, menikah dengan orang Belanda dan memiliki anak yang besar dengan bahasa ibu bahasa Belanda. Tapi Indonesia akrab di hatinya, setidaknya begitu yang saya lihat malam itu. Ia juga sering mengajar dan diundang untuk berbagi tentang latar belakangnya. Malam itu saya hanya menyaksikan dengan senang, haru dan bangga. Ia begitu sungguh-sungguh mengenali akar identitasnya. Sangat dalam. Tidak hanya sekedar tahu siapa dirinya, tapi dia menghayati setiap bagian yang dimilikinya, setiap bagian yang melekat dalam dirinya. Terima kasih, Ibu Grace! Cerita di Rumah Orttswarande 27 Cerita lain di meja makan juga terjadi di Orttswarande 27. Di rumah Jet dan Gerard. Mereka juga host family kami yang kemudian kami panggil Papa dan Mama. Pertemuan pertama dengan mereka adalah saat dinner! Saya masih ingat betul, malam itu dia memasak cheese burger buat saya. Khusus buat saya karena mereka pikir saya tidak makan daging. “For the special one,” katanya. Selain itu, mereka menyiapkan menu special buat menyambut kami: rendang a la Belanda dan kentang goreng rendah lemak. Di meja oval dengan vas berisi tulip ditengah-tengahnya itu, kami bisa betah duduk selama dua, tiga, bahkan empat jam. Gerard dan Jet menyebut kegiatan ini dinner. Bagi saya agak aneh karena dinner dalam keadaan langit masih cerah. Tapi tak masalah. Bagi saya dan Hesti—rekan serumah saya selama di Breukelen, dinner adalah hal yang kami tunggu-tunggu. Karena tinggal satu rumah, setiap malam seusai dinner kami selalu mediskusikan menu untuk dinner selanjutnya. Saya selalu bersemangat karena mereka pun melibatkan kami dalam berdiskusi, mempertimbangkan hal-hal yang kami sukai dan yang tidak kami sukai.
Suatu kali, ada waktu kami menceritakan tentang asal kami. Dengan boerenkool dan wine saat itu, kami bercerita soal akar. Mama selalu suka menggunakan term roots ketika membicarakan asal-usul. Sementara Papa sudah siap dengan ipad-nya untuk membuka peta. Tujuannya untuk mengonfirmasi letak geografis yang kami sebutkan. Tak hanya kami, mereka juga menceritakan asal mereka, saudara mereka dan bagaimana mereka dibesarkan. Mama menjelaskan ini dengan sangat detail. Lewat cerita-ceritanya saya mendapat penjelasan tentang Mama yang sekarang. Banyak hal dari masa kecil dan remajanya yang masih bisa saya lihat hingga saat ini. Cerita Mama sebagian besar lucu-lucu, membuat saya tertawa terus. Dia juga selalu menceritakan dengan semangat setiap kejadian, seolah-olah saya pun turut serta di dalamnya. Sementara Papa, ia dibesarkan dengan 5 saudara laki-laki. Ia menceritakan bagaimana ia menyukai beer lokal di dekat rumahnya ketika muda. Perjalanannya ke luar negeri pertama kali, hingga hari-hari ia berkarir sebagai seorang teknisi di kantor pemerintahan lokal. Ia bicara sangat pelan, hati-hati dan selalu memastikan apakah saya memahami maksudnya. Hari itu, selain cerita yang menarik dengan melibatkan perjalanan waktu yang panjang, untuk pertama kali pula ada makanan Belanda yang saya sukai; boerenkool! Ah ya, saat itu agaknya saya menegak wine lebih banyak dari biasanya, bonus kepala pening pula. Di hari lain, Papa memasak masakan asia. Mie dengan sayur mayur dan potongan ayam. Lezat! Percakapan malam itu dibuka dengan pertanyaan, “Mengapa kalian menerima kami di rumah ini?” Papa sudah pensiun. Mereka telah melewati masa-masa bekerja keras, memenuhi kebutuhan hidup, jalan-jalan dan banyak hal lain. “Kami sudah tidak memikirkan hal-hal bersifat meteri. Hal yang penting bagi kami saat ini adalah menikmati apa yang kami punya dengan keluarga dan teman-teman kami,” jelas Papa. Tak lama Mama melanjutkan, “Kami pun ingin belajar dengan kalian.” Saat hari terakhir kami di rumah ini, Mama dan Papa merencanakan dinner khusus. Mama menyebut ini makan a la gourmet. Ada dua buah pemanggang yang tersambung listrik. Lalu daging sapi mentah, udang, ikan, ayam, jamur, dan bumbu-bumbu pendukung lainnya sudah tersaji di atas meja. Begitu pulang dari Utrecht, kami sudah melihat meja makan tertata dengan rapi. Kami akan memasak sendiri dinner kami. Dengan begitu, kata Mama, kita memiliki durasi dinner yang lebih panjang daripada dinner sebelumnya. Hal-hal yang kami bicarakan tak jauh berbeda dengan malam sebelumnya. Hanya, karena kami sudah merasa begitu dekat, kian hari kian mengalir. Kami menuturkan ibu, ayah dan bagaimana kami dibesarkan dan dibentuk bersama lingkungan kami dibesarkan. Memang kadang aneh bagi saya. Bagaimana bisa dua pihak membicarakan hal sejauh dan se-personal ini? Kadang-kadang bahkan tanpa berpikir. Saya pikir karena rasa nyaman. Tuh kan, saya bertanya dan menjawab sendiri! Setiap kali saya menceritakan ini, secara bersamaan saya teringat mereka; keluarga, teman-teman, lingkungan tempat saya dibentuk itu. Mereka yang membuat Diana hari ini. Bercerita membuat kita ingat. Di sela hal-hal yang saya nikmati selama di Belanda, saya mengingat kembali orang-orang yang turut bersama saya mewujudkan ini. Khususnya pihak-pihak sponsor yang turut mendukung saya; Japfa Foundation, Waskita, PT Bukit Asam, PT Garam (Persero) dan JNE Express. Sungguh benar, bercerita bisa jadi pengingat. Terima kasih, Mama-Papa! Hal-hal yang juga akan saya rindukan adalah waktu mempersiapkan makanan untuk dinner. Dulu saya pikir, ketika dikatakan dinner dimulai pukul 19.00, maka kita makan pukul 19.00. Tinggal di sini sebulan, saya mengamati bahwa dinner pukul 19.00 tidak berarti kita langsung makan saat itu juga. Bisa jadi kita mempersiapkan makanan bersama terlebih dahulu. Atau memasak makanan-makanan pendukung sambil menegak minuman sesuai cuaca kala itu. Kegiatan ini juga menambah waktu kebersamaan. Biasanya kita bisa berbincang ringan atau sekedar berbagi cerita prihal pengalaman yang kita dapat di hari itu. Sungguh akan saya rindukan. Pembelaan: Penggunaan kata dinner digunakan karena saya masih belum menemukan kata yang tepat untuk menggantikannya. Saya pribadi merasa tidak pas penggunaan makan malam untuk dinner dalam konteks ini. Kadek Diana Pramesti Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018 |
|