Suatu hari mama angkat bertanya kepadaku, “kenapa kamu menggunakan jilbab?” Pertanyaan ini sudah menjadi ekspektasi sebelum keberangkatanku ke Belanda. Sebelum berangkat, anganku berkata banyak sudah termasuk berbagai asumsi bagaimana menjadi minoritas di negara orang.
Di Indonesia, saya seorang pemuda yang memeluk agama Islam, agama yang sudah menjadi mayoritas. Sangat berbanding terbalik ketika di Belanda, agamaku menjadi minoritas. Tapi dari situ aku mengenal dan merasakan perbedaan dalam kedamaian. Masih kuingat dalam memoriku ketika di Utrecht, salah satu kota di Belanda. Pertanyaan mama yang sudah menjadi dugaan sebelumnya terlontarkan kala itu ketika usai makan malam. Saya duduk di samping mama, bercerita santai tentang hari-hari yang dijalani berikut pengalaman yang saya rasakan. Bercerita begitu mengalir saja, mengenai studi, karir, asmara, parenting hingga keyakinan. Mama memeluk Protestan dan papa memeluk Katolik, saya sendiri memeluk Islam. Mama bertanya kepadaku mengenai alasan mengapa menggunakan jilbab, aku menjadi lebih ke kebutuan emosional dimana merasakan kedamaikan ketika ada kain menutupi kepala. Kemudian, mama memberi motivasi dan menunjukkan berita di Belanda mengenai perempuan muslim yang menjadi mahasiswa teladan di salah satu perguruan tinggi di Belanda. Aku tersentuh, beberapa praduga benar adanya. Namun, ada praduga lain yang hanya praduga semata. Menjadi minoritas itu kupikir membutuhkan effort lebih, namun ternyata menjadi minoritas adalah indah. Pertama ketika itu aku bertemu sesame muslim di jalan, kemudian saya disapa dengan senyum. Seketika hati bergetar, merenungi diri kemudian berefleksi. Kedua, ketika di tempat makan mereka tidak menawarkan serta menghidangkan makanan yang tidak dianjurkan menurut keyakinanku. Kupikir, mereka berdiri dengan ego nya, namun ternyata orang-orang banyak yang berpikir terbuka, menciptakan kedamaian dan toleransi satu sama lain. Ini pengalaman saya pertama ke luar negeri. Jika ditanya apakah gugup, pastinya saya gugup. Budaya di Belanda signifikan berbeda dengan budaya yang ada di Indonesia. Saya memiliki latar belakang dari suku Jawa, yang notabennya dikenal sebagai sungkan. Namun di Eropa, budaya tidak begitu. Harus bisa menyampaikan dengan jelas dan to the point. Ada suatu titik, dimana saya teringat perjuangan sebelum berangkat ke Belanda ini. Saya tidak menyangka, mimpi ini didukung oleh semesta. Bahkan ketika saya sempat melupakan mimpi ini, semesta meminta saya untuk memperjuangkan kembali. Ketika itu saya seorang mahasiswa di salah satu kampus di Jawa Barat. Kuliah sambil bekerja menjadi hal yang wajar bagi saya. Pasalnya disamping kebutuhan, saya memang harus melatih diri agar bisa mandiri dan tidak mudah merepotkan orang. Memilih program homestay ini bukan tanpa pertimbangan. Tantangan menderai, namun harus dilewati sebaik mungkin. Selagi kita masih mendengarkan suara hati kita, tidak ada yang salah. Pun demikian ketika memilih memutuskan mengikuti homestay program ini. Tak kurang usaha yang dilakukan, usaha konkrit dengan bekerja serabutan; sebagai peneliti, translator, hingga tukang pijit dan pastinya usaha doa agar senantiasa dikuatkan niat. And now, it has succeeded! Anisa Nur Ropika Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018
0 Comments
Leave a Reply. |
|