“Wangi keju, semerbak tulip memanggil-manggil….
Ingin ku segera wujudkan….” Sepenggal lirik dari yel-yel kelompokku, tim homestayer (peserta kegiatan The Youth Leadership Homestay Program Netherlands 2018), membayangi kami berempat (aku, Pika, Hesti, dan Diana) selama hampir setahun, yaitu sejak pengumuman peserta yang lolos menjadi homestayer Belanda hingga hari keberangkatan kami pada tanggal 27 Maret 2018. Awalnya, kami hanya bermimpi bahwa kami akan tertegun melihat menara kincir angin secara langsung untuk pertama kalinya atau memakan roti lapis keju sambil memandangi kebun bunga tulip yang bermekaran. Tak disangka, imajinasi tersebut menjadi nyata setelah kami harus berganti pesawat sebanyak dua kali, Kuala Lumpur dan Abu Dhabi selama perjalanan menuju Amsterdam. Perjalanan ini serasa mengingatkan saya akan pengalaman saya di Youth Adventure dan Youth Leadership Forum 2016. Saat itu, saya harus menempuh perjalanan selama tiga hari dua malam dari D.I. Yogyakarta menuju D.K.I Jakarta melalui dua kota kecil Jawa Tengah, Kutoarjo dan Slawi bersama dua rekan saya yang memiliki latar belakang yang berbeda. Untuk kali ini, saya juga menjalani perjalanan jauh dengan tiga rekan saya (yang juga memiliki latar belakang yang berbeda) dan kembali mengalami pengalaman berharga. Tak tanggung-tanggung, kami akan berpetualang di negeri kincir angin, Belanda. Perjalananan ini bukan berarti kami dibekali secara finansial sepenuhnya oleh Gerakan Mari Berbagi. Kami harus berjuang untuk mencari pundi-pundi uang sebagai biaya perjalanan pulang-pergi (asuransi perjalanan, visa, tiket, dan paspor) serta uang saku (termasuk kebutuhan transportasi) selama tinggal di Belanda. Seratus dua puluh juta dalam waktu kurang lebih sembilan bulan. Untunglah, kebutuhan akomodasi ditanggung oleh keluarga angkat. Perjuangan mencari pundi-pundi uang menguras waktu, tenaga, biaya, hingga emosi. Tak jarang, dinamika kelompok pun terjadi karena hal ini. Karena pengalaman pra-program ini, saya seringkali merenung bahwa program homestay bukan perjalanan wisata atau pertukaran pemuda biasa. Ini adalah proses pendewasaan yang melibatkan ketekunan dan kesabaran dalam memperjuangkan sesuatu. Bukan hasil yang dicapai, namun proses mencapai hasil tersebutlah yang harus diresapi dan dimaknai. Beruntunglah kami bahwa perjuangan ini berbuah manis. JAPFA Foundation, JNE, Waskita Karya, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Garam Persero serta rekan-rekan donator pribadi dari kalangan Board Member GMB bersedia mendukung kami dalam segi finansial untuk mewujudkan perjalanan impian ini. Perjalanan yang mendewasakan kami dalam menerima serta bertoleransi akan nilai-nilai baru di Belanda. Inilah proses ‘tangan di bawah’ yang kami jalani selama kurang lebih sembilan bulan, persis yang pernah saya rasakan di program Youth Adventure 2016 dengan melibatkan satu nilai inti GMB, voluntarism. Akhirnya perjuangan tersebut terbayar pada 28 Maret 2018. Hari itulah kami tiba di Bandara Schipol, Amsterdam dan berjumpa dengan salah satu keluarga angkat kami, Vital van der Horst. Saat itu, rintik-rintik hujan kecil dan angin menyambut kami. Cuaca yang tidak mendukung tidak menghalangi rasa bahagia kami saat menginjakkan kaki kami di Amsterdam. Perjalanan itu berlanjut dengan berbagai kejadian kecil yang tak terduga akibat gegap budaya atau culture shock seperti munculnya genangan air dan asap akibat salah mengoperasikan mesin cuci piring milik keluarga angkat, kekecewaan akibat salah membeli paket data tanpa kartu perdana, dan lain-lain. Gegap budaya juga saya rasakan ketika saya merasakan kesulitan menemukan tempat ibadah katolik untuk mengikuti misa trihari suci paskah (kegiatan keagamaan katolik-red) di sekitar tempat tinggal keluarga angkat saya, Breukelen. Awalnya saya bingung, mengapa gereja katolik di Breukelen yaitu gereja St Johannes de Doper tidak terbuka untuk kegiatan ibadah, namun hanya digunakan sebagai tempat konser paduan suara atau tempat pameran. Ternyata, hal itu tidak hanya saya temui di desa Breukelen tetapi juga di kota-kota besar seperti Rotterdam, Utrecht, dan lain-lain. Alasan klasik, banyak orang yang tidak tertarik lagi untuk datang ke gereja sehingga banyak gereja ditutup. Akhirnya, saya mengikuti ibadah Jumat Agung dan Minggu Paskah di gereja Protestan, Pauluskerk. Hal menarik pada ibadah tersebut, rekan saya beragama Hindu (Diana) dan Islam (Hesti dan Pika) ikut serta hadir dalam ibadah tersebut. “Aku khawatir nih Kak. Takut dilihat ramai-ramai sama umat gereja gara-gara hijabku”, bisik Pika saat berjalan menuju gereja. “Ga usah cemas. Cuek aja, Pik”, balasku sambil menenangkan Pika. Diluar ekspetasi Pika (juga saya sendiri), semua umat yang hadir tak memandangi Pika dan Hesti yang menggunakan hijab secara berlebihan. Bahkan, pendeta yang memimpin ibadah serta pengurus gereja juga senang menyambut kami dan berdialog akan keberagaman. Rasa toleransi sangat kental kami rasakan. Lagi, kami merasakan nilai utama GMB lainnya yaitu sharing in diversity atau berbagi dalam keberagaman terjadi di program ini. Tak berhenti sampai situ saja, saya merasakan hal berharga yang saya temui di perjalanan ini. Ketulusan. Ya, ketulusan dari salah satu orangtua angkat kami, Gerard Geerdink dan Jet Geerdink. Mereka tulus menerima kami untuk hadir di hidup mereka, tak hanya sebatas rumah tinggal. Setiap menjelang makan malam, mereka selalu menanti cerita pengalaman kami selama menjelajahi kota-kota Belanda. Banyak renungan yang reflektif dituangkan kepada kami selayaknya antara bapak-ibu dan anak kandung. Bahkan tak hanya itu saja, mereka juga ikut membantu dalam berkoordinasi dengan instansi yang kami kunjungi seperti WaterNet, pihak yang bertugas mengolah air minum untuk Amsterdam dan pemerintahan lokal Stichtse Vecht. Gerard juga mengajak salah satu orangtua angkat homestayer 2016 lalu, Niek de la Haije untuk menemani kami berkunjung ke pabrik pengolahan roti Ribbink's Specialiteiten Bakkerij, pabrik Keju Van Der Arend, lokasi pra-pengolahan air minum milik WaterNet. Kunjungan ke tempat tersebut merupakan hasil perwujudan Gerard dalam memenuhi harapan kami yang ingin sekali belajar mengenai produksi keju, roti, dan air minum di Belanda. Suatu ketika, rekan saya Diana dan Hesti bertanya kepada Gerard dan Jet mengenai alasan mereka untuk menampung dan berbagi ruang dengan kami. Mereka mengakui bahwa mereka sukarela untuk membagikan ruang hingga waktu dengan kami tanpa ada niat mengharapkan imbalan. Mereka ingin membagikan ilmu serta pengalaman mereka kepada kami yang baru menginjakkan kaki di benua Eropa pertama kalinya dengan senang hati. Mereka mengakui ada perasaan bahagia ketika bisa berbagi berbagai hal kepada kami. Mereka tidak lagi memikirkan berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan untuk berbelanja bahan makanan yang porsinya melebihi dari mereka biasanya. Begitu juga, mereka tak keberatan untuk membagikan waktu mereka untuk kami dan tak pernah membiarkan kami hanya berdiam diri di rumah tanpa mendapatkan suatu pengalaman berharga bagi kami. Nilai living beyond yourself yang selama ini saya dengar dari inisiator GMB, Bang Az menjadi nyata terlihat depan saya melalui tindakan Gerard dan Jet. Tentu ada nilai sharing in diversity juga dilakukan oleh Gerard dan Jet kepada kami, berbagi tanpa memandang latar belakang dan RAS. Bukan hanya sekedar keju, bunga tulip, boerenkool (hidangan khas Belanda), kincir angin, atau raja Willem-Alexander yang menjadi hal baru kami temui selama kami tinggal di Belanda selama kurang lebih sebulan, melainkan nilai-nilai utama GMB yang selama ini dibagikan oleh Bang Az menjadi nyata kami temui. Tak hanya itu saja, saya dan rekan saya; Diana, Hesti, dan Pika juga bahagia karena dapat memiliki keluarga angkat yang terikat secara emosional di luar Indonesia. Terima kasih kepada Gerakan Mari Berbagi, sponsor yang telah mendukung kami (JAPFA Foundation, JNE, Waskita Karya, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Garam Persero, serta donatur pribadi dari kalangan board member dan relasinya), mentor kami (Ka Tyas, Wine, dan Arnald), dan rekan-rekan GMBers yang telah mendukung kami selama proses seleksi hingga keberangkatan. Ini moment of change saya, bagaimana denganmu? Katherina Liandy Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018
0 Comments
Leave a Reply. |
|