“Take your time. This is your home too. Feel free and help yourself!” Ujar salah satu host family kami— Vital, begitu kami sampai di rumahnya. Rumah Bambu yang akan selalu mudah ditemukan seantero Breukelen raya! Tak lama ia melanjutkan, “I’ll go to the market for our dinner.” Tentang Vital dan Wine-nya. Hari itu adalah dinner pertama saya di Belanda. Pasta sayur saya sudah habis saat itu. Begitu pula Vital dan ketiga kawan saya. Lalu ia mengambil sebotol wine, mulai menuangkan di gelasnya. Kepada kami, ia juga mempersilakan untuk mengambil jika mau. Tanpa komando, kami langsung hujani Vital dengan berbagai pertanyaan. “Tell us, how you become a local politician?” Vital mulai bercerita. Dengan santai ia menjawab, “Beberapa teman di Breukelen merekomendasikan saya.” Selama sebulan tinggal di Breukelen, saya tahu alasannya karena loyalitas dan kepedulian dia terhadap orang-orang di sekitarnya. Di Belanda, lanjutnya, bekerja sebagai pelayan masyarakat merupakan sebuah pekerjaan kerelawanan. “But I enjoyed it!” Ujarnya. Ah ya, kini Vital telah pensiun dan menikmati hari-hari dengan bebas sebagai pebisni. Pembahasan berlanjut. Kami juga bercerita tentang kegiatan kami di Indonesia. Lama-lama, kami membahas hal-hal personal. Vital pun dengan santai bercerita kepada kami. Katika kami bertanya soal masukan untuk tantangan hidup yang kami akan lewati, selalu dengan santai ia menjawab, “If there is no problem, don’t make a problem.” Malam itu kami bercerita banyak, bertanya banyak dan tertawa banyak. Lelah perjalanan Indonesia – Belanda teralihkan. Bersama Vital, pengalaman dinner pertama saya di Belanda terasa sangat berkesan. Hari-hari berikutnya, dinner menjadi hal yang selalu saya nantikan. Bersama siapapun dan kapanpun. Malam lain, kami duduk di sebelah meja makan, di sofa yang menghadap televisi. Saat itu kami usai menghadiri pengukuhan pemerintah lokal, tempat di mana Vital pernah bekerja. Dia beranjak, mengambil sebotol wine. Yap, Vital mengaku setiap hari bisa menghabiskan satu botol wine. “Anyone?” Tanya dia. Wine dan Vital adalah kombinasi cerita-cerita dan moment saling mengenal satu sama lain itu dimulai. Bagi dia, setiap hari adalah pesta, sejauh ada wine di sana. Obrolan bisa ngarul-ngidul ke mana-mana setelahnya. Kadang kami membahas kehidupan percintaan. Kehidupan personal sampai hal-hal lain tentang hidup kami masing-masing. Kadang kami tak kenal waktu. Dari langit masih cerah pukul 20.00 sampai dengan gelap dan bahkan kadang sudah berganti hari. Kendati beberapa kali saya sudah menguap, tak ada tanda-tanda kalimat penutup. Pembicaraan masih berlanjut. Sampai benar-benar keluar kalimat “Okay, it’s time to bed” barulah pembicaraan usai. Begitulah hari-hari dengan Vital. Hanya sebentar kami bersamanya. Setelahnya, ia pergi ke Yogyakarta selama sebulan. Setiap cerita yang ia sampaikan menjadi jembatan saya menganal ia. Meski saya yakin tidak akan pernah bisa benar-benar mengenalnya. Saya tidak pernah memikirkan akan bertemu Vital sebelumnya namun di setiap perbincangan yang kami lakukan, rasanya saya selalu merasa dekat. Bertemu Cerita dan Makanan Pengobat Rindu Saya masih mengingat betul rasa opor ayam, gado-gado dan bala-bala buatan Renie malam itu. Renie adalah teman Vital yang juga tinggal di Breukelen. Dari rumah Vital bisa berjalan kaki 10 menit jika jalannya pelan-pelan sambil lihat pemandangan. Bahkan saat menulis ini, rasanya masih terbayangbayang oleh lidah saya. Enak parah! Hebatnya seorang Vital bagi saya, dia tak hanya mengenalkan dirinya. Lebih dari itu, ia mengenalkan lingkarannya kepada kami; memperkenalkan teman-teman dan keluarganya. Pertama kali bertemu Renie adalah saat kami hadir di acara pengukuhan pemerintah lokal saat itu. Tak tanggung-tanggung, Renie mengobati rindu saya pada masakan tanah air saya. Saat itu, tak ada seorang pun yang tidak nambah! Kalau saja perut saya masih muat, saya mau nambah terus! Renie lahir di Bandung. Renie kecil juga tinggal di Bandung selama setahun. Ibunya juga orang Indonesia. Ia pernah mendapat penghargaan langsung dari raja karena pengabdiannya terhadap masyarakat selama 16 tahun. Sama seperti Vital, ia juga seorang yang bekerja untuk pemerintahan lokal. Bisa saya sebut pekerja sosial di Breukelen dan Stichtse Vecht. Bagi Renie, bekerja di pemerintahan lokal adalah hal yang menyenangkan. Ia menikmati pekerjaan ini. Ia suka ada di ranah lokal karena kedekatan yang terjalin dengan masyarakat di lingkungannya. Di sini, bekerja sebagai pegawai pemerintahan adalah pekerjaan yang bersifat kesukarelawaan. Gaji yang didapat juga lebih kecil dari mereka yang bekerja di sektor swasta. “Karena itu, saya punya pekerjaan lain juga untuk menambah penghasilan saya,” terangnya. Selain Renie, kami juga bertemu dengan Grace. Ibu Grace. Seorang Maluku yang lahir dan tumbuh besar di Belanda. Dinner dengannya menggunakan bahasa Indonesia. Rasanya lucu bicara dengan bahasa Indonesia yang benar. Lebih terkesan kaku dan terbata-bata. Tapi saya senang! Kali ini Soto turut menghangatkan dinner kami. Saya juga nambah (lagi!). Kami nyanyi lagu Dingin milik Hetty Koes Endang. Tepatnya, hanya Ibu Grace yang nyanyi kami hanya takjub mendengarkan seseorang menyanyi lirik bahasa Indonesia dengan aksen Belanda. Lalu tertawa bersama keras-keras. Hahaha! Hal yang menarik, Ibu Grace mengawali cerita tentang dirinya dengan presentasi. Ia menceritakan pekerjaan ayahnya. Bagaimana ayahnya bertemu dengan ibunya ketika bertugas di Belanda. Ayah dan ibunya adalah orang Indonesia asli. Namun Ibu Grace lahir dan besar di Belanda, menikah dengan orang Belanda dan memiliki anak yang besar dengan bahasa ibu bahasa Belanda. Tapi Indonesia akrab di hatinya, setidaknya begitu yang saya lihat malam itu. Ia juga sering mengajar dan diundang untuk berbagi tentang latar belakangnya. Malam itu saya hanya menyaksikan dengan senang, haru dan bangga. Ia begitu sungguh-sungguh mengenali akar identitasnya. Sangat dalam. Tidak hanya sekedar tahu siapa dirinya, tapi dia menghayati setiap bagian yang dimilikinya, setiap bagian yang melekat dalam dirinya. Terima kasih, Ibu Grace! Cerita di Rumah Orttswarande 27 Cerita lain di meja makan juga terjadi di Orttswarande 27. Di rumah Jet dan Gerard. Mereka juga host family kami yang kemudian kami panggil Papa dan Mama. Pertemuan pertama dengan mereka adalah saat dinner! Saya masih ingat betul, malam itu dia memasak cheese burger buat saya. Khusus buat saya karena mereka pikir saya tidak makan daging. “For the special one,” katanya. Selain itu, mereka menyiapkan menu special buat menyambut kami: rendang a la Belanda dan kentang goreng rendah lemak. Di meja oval dengan vas berisi tulip ditengah-tengahnya itu, kami bisa betah duduk selama dua, tiga, bahkan empat jam. Gerard dan Jet menyebut kegiatan ini dinner. Bagi saya agak aneh karena dinner dalam keadaan langit masih cerah. Tapi tak masalah. Bagi saya dan Hesti—rekan serumah saya selama di Breukelen, dinner adalah hal yang kami tunggu-tunggu. Karena tinggal satu rumah, setiap malam seusai dinner kami selalu mediskusikan menu untuk dinner selanjutnya. Saya selalu bersemangat karena mereka pun melibatkan kami dalam berdiskusi, mempertimbangkan hal-hal yang kami sukai dan yang tidak kami sukai.
Suatu kali, ada waktu kami menceritakan tentang asal kami. Dengan boerenkool dan wine saat itu, kami bercerita soal akar. Mama selalu suka menggunakan term roots ketika membicarakan asal-usul. Sementara Papa sudah siap dengan ipad-nya untuk membuka peta. Tujuannya untuk mengonfirmasi letak geografis yang kami sebutkan. Tak hanya kami, mereka juga menceritakan asal mereka, saudara mereka dan bagaimana mereka dibesarkan. Mama menjelaskan ini dengan sangat detail. Lewat cerita-ceritanya saya mendapat penjelasan tentang Mama yang sekarang. Banyak hal dari masa kecil dan remajanya yang masih bisa saya lihat hingga saat ini. Cerita Mama sebagian besar lucu-lucu, membuat saya tertawa terus. Dia juga selalu menceritakan dengan semangat setiap kejadian, seolah-olah saya pun turut serta di dalamnya. Sementara Papa, ia dibesarkan dengan 5 saudara laki-laki. Ia menceritakan bagaimana ia menyukai beer lokal di dekat rumahnya ketika muda. Perjalanannya ke luar negeri pertama kali, hingga hari-hari ia berkarir sebagai seorang teknisi di kantor pemerintahan lokal. Ia bicara sangat pelan, hati-hati dan selalu memastikan apakah saya memahami maksudnya. Hari itu, selain cerita yang menarik dengan melibatkan perjalanan waktu yang panjang, untuk pertama kali pula ada makanan Belanda yang saya sukai; boerenkool! Ah ya, saat itu agaknya saya menegak wine lebih banyak dari biasanya, bonus kepala pening pula. Di hari lain, Papa memasak masakan asia. Mie dengan sayur mayur dan potongan ayam. Lezat! Percakapan malam itu dibuka dengan pertanyaan, “Mengapa kalian menerima kami di rumah ini?” Papa sudah pensiun. Mereka telah melewati masa-masa bekerja keras, memenuhi kebutuhan hidup, jalan-jalan dan banyak hal lain. “Kami sudah tidak memikirkan hal-hal bersifat meteri. Hal yang penting bagi kami saat ini adalah menikmati apa yang kami punya dengan keluarga dan teman-teman kami,” jelas Papa. Tak lama Mama melanjutkan, “Kami pun ingin belajar dengan kalian.” Saat hari terakhir kami di rumah ini, Mama dan Papa merencanakan dinner khusus. Mama menyebut ini makan a la gourmet. Ada dua buah pemanggang yang tersambung listrik. Lalu daging sapi mentah, udang, ikan, ayam, jamur, dan bumbu-bumbu pendukung lainnya sudah tersaji di atas meja. Begitu pulang dari Utrecht, kami sudah melihat meja makan tertata dengan rapi. Kami akan memasak sendiri dinner kami. Dengan begitu, kata Mama, kita memiliki durasi dinner yang lebih panjang daripada dinner sebelumnya. Hal-hal yang kami bicarakan tak jauh berbeda dengan malam sebelumnya. Hanya, karena kami sudah merasa begitu dekat, kian hari kian mengalir. Kami menuturkan ibu, ayah dan bagaimana kami dibesarkan dan dibentuk bersama lingkungan kami dibesarkan. Memang kadang aneh bagi saya. Bagaimana bisa dua pihak membicarakan hal sejauh dan se-personal ini? Kadang-kadang bahkan tanpa berpikir. Saya pikir karena rasa nyaman. Tuh kan, saya bertanya dan menjawab sendiri! Setiap kali saya menceritakan ini, secara bersamaan saya teringat mereka; keluarga, teman-teman, lingkungan tempat saya dibentuk itu. Mereka yang membuat Diana hari ini. Bercerita membuat kita ingat. Di sela hal-hal yang saya nikmati selama di Belanda, saya mengingat kembali orang-orang yang turut bersama saya mewujudkan ini. Khususnya pihak-pihak sponsor yang turut mendukung saya; Japfa Foundation, Waskita, PT Bukit Asam, PT Garam (Persero) dan JNE Express. Sungguh benar, bercerita bisa jadi pengingat. Terima kasih, Mama-Papa! Hal-hal yang juga akan saya rindukan adalah waktu mempersiapkan makanan untuk dinner. Dulu saya pikir, ketika dikatakan dinner dimulai pukul 19.00, maka kita makan pukul 19.00. Tinggal di sini sebulan, saya mengamati bahwa dinner pukul 19.00 tidak berarti kita langsung makan saat itu juga. Bisa jadi kita mempersiapkan makanan bersama terlebih dahulu. Atau memasak makanan-makanan pendukung sambil menegak minuman sesuai cuaca kala itu. Kegiatan ini juga menambah waktu kebersamaan. Biasanya kita bisa berbincang ringan atau sekedar berbagi cerita prihal pengalaman yang kita dapat di hari itu. Sungguh akan saya rindukan. Pembelaan: Penggunaan kata dinner digunakan karena saya masih belum menemukan kata yang tepat untuk menggantikannya. Saya pribadi merasa tidak pas penggunaan makan malam untuk dinner dalam konteks ini. Kadek Diana Pramesti Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018
0 Comments
Leave a Reply. |
|