Bang Az
Pernahkah sobat meletakkan telapak tangan ke dalam lemari es dan biarkan selama 1 menit saja? Berapa lama sobat bias bertahan dalam kedinginan yang tidak berkompromi itu. Bagaimana rasanya?Hampir seperti itulah dinginnya pagi itu, barangkali sedikit berlebihan tapi itu gambaran yang bisa dirasakan.Itu adalah senin terakhir di bulan Agustus 2013 dan pagi pertama bagiku untuk mendaki Puncak Gunung Rinjani.Lama sudah aku tidak merasakan dinginnya udara pagi yang memalaskanku untuk membuka selimut yang kupeluk erat-erat sejak kedatangan di desa di kaki bukit pengunungan itu.Badan ini sudah terlalu biasa bermanja mesra dengan hanya sehelai baju tipis dan bahkan sering tidak digunakan ketika sedang berada di rumahku di Jakarta karena hawanya yang puuanas. Dalam kedinginan dan keenganan bergerak dalam dekapan lipatan sarung pagi itu, ketua tim pendakian kami teriak ‘ banguuuuuun!!! mandi…mandi..!!! kita harus jalan paling telat jam tujuh kalau tidak nanti kalian tidak akan tahan teriknya matahari selama pendakian.” Cepat-cepat ku lirik jam tangan hitamku, jam menunjukan pukul enam pagi. Aku punya satu jam untuk berberes dan sarapan pagi. “ huuuuh!!!! “ malasnya untuk bangkit dan masih ingin rasanya menikmati indah pelukan hawa dingin pagi Gunung Rinjani ini, sambil bergosip ria dengan sobat-sobat baru yang kocaknya bisa ngalahin si Sule itu. Kelihatannya semua masih bermalas ria, ada yang masih dibaluti sarung dan selimut, ada yang sudah menghirup kopi sambil melipatkan kaki dan tangan untuk mengumpulkan kehangatan. Aku buka ranselku dan aku cari-cari handuk untuk melangkah mandi di pagi yang dingin itu.Kubongkar semua isi ranselku.Tak kudapatkan juga handuk. “aduuuh!!!, I don’t like this happen, this is not me at all!!” Teriak kesal dalam hatiku. Ini ga mungkin terjadi, aku sering travel tapi memang belum pernah berangsel ria dan naik gunung seperti ini. Aku bolak balek lagi isi ransel itu dan memang ternyata tidak terbawa. “aku harus mandi di pagi ini!” batinku menyakinkan berulang kali. Semalam aku tidak mandi. Walaupun perasaan kotor akan debu jalanan yang menempel dari perjalanan seharian dari Jakarta-Lombok tidak bisa diusir, namun tertutup oleh lembut sejuknya hawa pengunungan di kaki bukit Gunung Rinjani itu. Ya, aku harus mandi karena nanti makin ke atas pasti makin dingin dan pasti makin tidak mudah untuk menguyur badan dengan air dingin. “Apapun yang terjadi, aku harus mandi pagi ini!mandi, mandi, mandaiiiii” sekali lagi pikiranku memaksa ku untuk mandi karena pasti karena alasan kesehatan. Bagiku mandi itu malam itu biasanya jauh lebih penting dan wajib hukumnya, karena malam hari kita tidur dan menghirup napas dan badan haruslah dalam keadaan bersih. Debu-debu yang menempel kotor tidak pernah kita tahu apa isi didalamnya dan pastilah menjadi asal muasal masuknya penyakit ke tubuh kita. “semalam aku tidak mandi , jadi aku harus mandi pagi ini sebelum berangkat. Titik.” Kupaksakan diriku melawan godaan nikmatnya sejuk dinginnya udara pagi itu dan seolah mengatakan “tak perlu kau mandilah, semuanya toh baik-baik saja dan nikmati saja hari-harimu, tak usah kau risaukan, apalagi kau tak bawa handuk!”. “ tidaaaak, aku harus mandi, tapi handukku dimana!” it is a big deal for me! Gaimana mau mandi dan mengelap air di badan dan biasanya aku selalu meminta handuk kering dan harum selama bertahun-tahun dan sekarang tidak ada handuk untuk mandi. ‘Aduuh, aku ga bawa handukni!” celotehku tanpa sadar keluar dari mulutku tanpa bermaksud memproklamirkan kegundahanku antara mandi dan tidak karena persoalan handuk itu. Tanpa basa basi, Eki, teman yang baru kukenal beberapa jam sejak di Bandara Praya Lombok itu, dengan cepat menawarkan ‘pake aja ni bang handukku!’ sambil mengeluarkan handuk tipisnya berwarna abu-abu muda. “kamu gaimana? Ada handuk lain?’ sahutku cool mencoba basa-basi. Padahal ingin rasanya melonjat dan gembiranya hatiku dan berharap dia tidak menarik kembali tawarannya itu. “ gampang bang!” Aku benggong aja.Speechless, antara senang dan binggung. Aku ga tahu maksud ucapan Eki ‘gampang, bang’ tapi aku coba terjemahkan dalam bingkai kepentinganku sendiri bahwa dia punya cadangan. Jadilah aku mandi dipagi itu dengan handuk yang masih kering dan masih wangi.Sempurnalah perjalananku pagi ini dan tidak ada yang saat yang retak saat awal melangkah mendaki di jam tujuh pagi hari senin itu.Eki teman baruku telah menyempurnakan pagiku di kaki Gunung Rinjani. Senyum sumringgah melebar ditiap wajah kami berenam di sepanjang perjalanan, semua saling ‘meledek dan bercanda’ mengambarkan keriangan hati dan harapan yang mengunung akan indahnya perjalanan ini. Perjalanan yang ditemani oleh porter yang sama jumlahnya dengan anggota tim trekking ini dan membuat kami tidak ada beban di punggung dalam pendakian ini. Kembali ke handuk.Handuk abu-abu sangat membantuku dalam perjalanan, tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk melap badan basah setelah mandi tapi juga sering aku pakai menutup bantal tiupan supaya lebih empuk untuk mengantarkanku ke dunia mimpi yang indah di tengah dinginnya malam.Eki-pun menjadi kawan setenda setenda sejak dari awal hingga akhir pendakian ke Puncak Gunung Rinjani.Kebersamaan ini membuat aku makin mengenal Eki.Seorang yang ceria dan sangat senang bergaul dan satu hal yang aku perhatikan sangat suka berbagi dan cenderung mengalah untuk kebaikan bersama dan harmoni kelompok. Selama pendakian ini, tanpa aku sadari aku perhatikan berhari-hari, handuk apa yang dipakai oleh Eki untuk mandi dan sering aku terkadang lupa aku pinjam handuk dia. Ada suatu waktu dia mau mandi waktu dipinggir Danau Segara Anak, dia mencari handuk dan aku tidak pernah melihat handuk itu. Betapa kagetnhya aku melihatnya eki memakai baju atau kain ( yang jelas bukan handuk) berbahan catoon untuk mandi. “haah!! benar kamu Eki, tidak punya handuk, kenapa kau kasih ke aku!” terus aku membatin, menerka-nerka, kok ada manusia seperti ini mengorbankan dirinya untuk orang lain. Tapi aku lupa menanhyakan lebih lanjut karena aku disibukan oleh packing yang harus kuselesaikan dalam waktu 15 menit. Dari kejadian ini, aku belajar lagi tentang kehidupan. Barangkali kecil soalan handuk ini, tapi aku percaya dari hal-hal kecil seperti ini sebenarnya mencerminkan hal-hal besar dari seseorang. Sikap dan reaksi spontan seseorang adalah cerminan paling jujur dari sebuah kepribadian, karena itu adalah bahasa dan pantulan dari dimensi alam bawah sadar seseorang yang tidak bisa dibuat-buat, ditambah, dikurang atau dipoles.Karena reaksi spontan ini tidak pernah tidur walupun jasad kita tertidur dan dia terbentuk dari akumulasi perjalanan hidup kita sejak dilahirkan hingga saat ini.Dari cara menawarkan dan gesture tubuh yang terlihat (expression given off-nya) seseorang kita bisa mengerti makna yang tersirat dibalik tawaran dan ungkapan kata dan sikap. Handukku itu seolah menjadi miliku selama pendakian Gunung Rinjani itu dan Eki tidak pernah sedikitpun meliriknya walaupun tergeletak disamping ranselnya karena kami satu tenda.“Peminjaman yang benar-benar ikhlas” pikirku.Ikhlas adalah kata yang sangat mudah diucapkan berulang kali namun menjadi sangat sulit ketika berhadapan dengan diriku sendiri. Ikhlas menjadi jampi-jampi untuk membujuk orang lain mengikuti kemauan aku tapi sering tidak berlaku ketika aku harus melakukannya untuk orang lain. Eki melakukannya dengan sangat baik dalam handuk abu-abu ini.terima kasih sobat baruku. Aku tidak tahu kamu sadar atau tidak, aku belajar darimu bahwa memberi atau berbagi memang harus dilakukan tanpa harap yang dapat mengecewakan kita kelak.Handukmu itu memberikan pelajaran baru bagiku. Berbagi dengan keihklasan itu memberikan pelajaran untuk diriku bawha bukanlah besarnya dalam berbagi tapi ketulusan dalam berbagi walaupun relatifkecil menjadi sangat berarti dalam membantu orang tersebut.Barangkali kecil bagi kita namun bisa berarti besar untuk orang yang sedang membutuhkannya. Terima kasih Eki dengan pelajaran berbagi dengan tulus tanpa berharap kembali. Trekking Gunung Rinjani, Agustus 2013.
0 Comments
Leave a Reply. |
|