Rincian anggaran telah selesai, begitupun dengan rancangan kegiatan dan Trip Plan Management lainnya. Semua sudah beres, bahkan packing barang akan segera dilakukan. Perjalanan ini akan menjadi suatu perjalanan yang indah. Arnald partnerku dalam perjalanan ini adalah sosok yang menyenangkan.
Ini baru namanya kompetisi. Unik dan penuh tantangan.traveling ke empat kota dan melakukan kegiatan sosial di setiap kota yang disinggahi. Hadiah liburan di Bali menanti. Tentu saja rasa bahagia tak terkira apalagi kalau teman satu tim dalam perjalanan adalah orang yang menyenangkan. “Hallo Gus, gua keterima. Gua lulus ke Cina” suara Arnald via telephone terdengar bahagia walaupun nada bicaranya berat. “Selamat ya. kamu memang pantas lulus”,ujarku. “Tapi ada masalah, gua nggak bisa berangkat bareng lo ke Jogja. Ada hal yang harus gua urus dulu untuk persiapan program ini”. Kelulusan Arnald di program Jakarta Sister City untuk berangkat ke Cina memang ku harapkan. Tapi ia tidak berangkat bersamaku ke Jogja adalah hal buruk yang tak pernah ku bayangkan. Bagaimana aku akan berangkat sendiri. Naik kereta api malam hari selama 8 jam menuju Jogja akan membuatku bosan dan ketakutan sendirian. Rasanya seperti mimpi. Rasa sedih dan takut akan kesepian menjalari hatiku tiba-tiba. Ini tidak sesuai rencana, ini seperti hukuman. Tetapi walau bagaimanapun aku harus tetap melanjutkan perjalanan ini. Ada ataupun tidak adanya Arnald. Kompetisi ini harus diteruskan walaupun terkesan cacat ketika ada anggota tim yang tidak bisa berangkat. Arnald memang berjanji akan menyusulku ke Jogja nantinya. Tetapi aku tidak ingin berharap banyak lagi. Takut kecewa ketika ia tidak jadi datang. Aku seperti De Javu. Dulu pernah kejadian saat akan traveling ke Malaysia, tiba-tiba teman seperjalanan denganku membatalkan keberangkatannya sehari sebelum berangkat. Namun, aku tetap meneruskan perjalanan sendirian dan rasanya menyakitkan ketika itu terjadi. Hatiku sempat memberontak. Kenapa harus terjadi lagi. Tetapi ya sudahlah mungkin memang saatnya melakukan segala sesuatu sendirian agar mandiri. Arnald mengantarku ke stasiun Pasar Senen dan kami berpisah disana. Dia meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tentu saja aku berharap akan baik-baik saja. Bismillah, aku berangkat. Kereta Progo yang aku tumpangi mulai berjalan menuju Jogja. Perjalanan belum lama saat kereta berhenti di stasiun Jatinegara. Aku tidak menghiraukannya dan terus saja dengan kesibukanku membaca buku-buku yang memang sengaja aku bawa. Setelah setengah jam kereta tidak berjalan aku mulai bertanya-tanya. Ada yang aneh melihat orang-orang sibuk mondar mandir dan sebagian keluar dari kereta. Anehnya lagi bukan hanya kereta yang ku tumpangi yang berhenti di stasiun itu tapi ada beberapa kereta lainnya. Aku tanya pada ibu yang duduk di sampingku. Ia baru saja duduk dan sepertinya habis berjalan-jalan di gerbong kereta lainnya. “Ada apa bu? kok keretanya nggak jalan ya dari tadi?” tanyaku padanya. “Itu ada tawuran di depan. Tawuran warga Klender katanya jadi semua kereta di suruh berhenti”. Begitulah jawaban si ibu. Rasa gelisah tiba-tiba menjalari hatiku. Bagaimana kalau tiba-tiba warga menyerang kereta yang ku tumpangi. Mereka melempari batu atau sebagainya. Seperti yang dulu sering ku saksikan berita-berita di TV. Contohnya seperti pendukung tim sepak bola Bonek Surabaya yang pernah menyerang kereta. Pikiranku berkecamuk, aku tidak lagi berkonsentrasi pada buku-bukuku. Aku terus memperhatikan orang-orang yang keluar dari gerbong gerbong kereta. Entah mereka ingin mencari udara segar sementara kereta berhenti atau ingin mencari tahu apa yang terjadi. Walaupun jarak tawuran dengan stasiun lumayan jauh. Syukurlah kereta berjalan setelah satu setengah jam berhenti. Aku bisa tenang karena kereta mulai berjalan. Akhirnya ku putuskan meneruskan bacaanku lagi. Baru 5 menit aku membaca. Tukkk!! Sebuah suara kembali membuyarkan konsentrasiku. “Ada yang lempari batu di jendela”, kata ibu di samping sambil menunjuk ke jendela kaca di sampingku duduk. Aku terkejut bukan kepalang melihat jendelanya retak. Masih untung, karena batu yang dilempar bukan batu besar jadi kacanya hanya retak tidak hancur bertaburan. Kalau saja batunya besar, maka wajahku adalah sasarannya. Aku tidak bisa membayangkan wajahku dipenuhi darah terkena serpihan-serpihan kaca jendela kereta itu. Jantungku kembali berdegup kencang. Ini tidak seperti yang diharapkan. Perjalanan ini harusnya baik-baik saja. Bagaimana ini, Arnald tidak ada disampingku. Maka tidak ada yang menjagaku dalam perjalanan ini. Aku serahkan nyawaku pada Tuhan seutuhnya. Aku sudah benar-benar pasrah. Ya sudahlah. Apapun yang terjadi, aku harus melanjutkan perjalanan ini. Masih ada 6 jam perjalanan lagi. Aku harus menenangkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, sungguh ini perjalanan yang menyiksaku. Kelas ekonomi yang ku tumpangi ini benar-benar sesak dengan lautan manusia. Seorang bapak yang duduk berhadapan denganku sungguh menganggu kenyamananku selama perjalanan. Kakinya saat ia tidur mengarah kepadaku. Menyatu bersama kakiku mungkin lebih tepatnya pahaku. Aku tak bisa bergerak terjepit oleh kedua kaki panjangnya. Belum lagi ketika ia terlelap, ia meletakkan kedua kakinya ke atas tempat dudukku dengan posisinya yang mengangkang ke arahku. Bisa dibayangkan bagaimana aku terjepit di tengah-tengah kakinya kalau aku boleh kasar aku terjebak di antara selangkangannya. Ini membuatku tidak bisa tidur sama sekali dengan hatiku yang dipenuhi sumpah serapah untuk lelaki di depanku itu. Coba saja Arnald ada disampingku maka bapak ini pasti tidak akan berani bersikap tidak sopan seperti itu dan kalaupun dia melakukannya harusnya Arnald tidak membiarkan itu terjadi. Semuanya memang di luar dugaanku. Harapan tinggal harapan. Perjalananku penuh ujian. Pagi menyapa. Akhirnya aku bisa melihat kota Jogja setelah pertarungan yang hebat semalam. Sesampai di asrama Aceh, tempat aku menumpang nginap selama di Jogja, aku menyadari ada yang aneh dengan celanaku. Ternyata celanaku robek di bagian pantat. Robeknya besar pula dan menuntut aku harus membeli celana baru. Karena aku hanya membawa dua buah celana jeans. Aku mencoba mengingat episode yang membuat celanaku bisa robek. Kejadian itu pada saat duduk di bangku kayu menunggu kereta di Pasar senen. Sepertinya tersangkut di paku atau sejenisnya. Namun, aku tidak menggubrisnya. Baru setelah sampai di Jogja aku melihatnya. Sial, lagi-lagi hal yang tidak menyenangkan terjadi. Apa boleh buat, celana baru harus segera dibeli. Aku menghabiskan satu hari penuh keesokan harinya sambil menunggu Arnald datang menyusulku dan tidak ada kebahagiaan yang lebih besar saat itu selain melihat Arnald tiba di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Ia benar-benar datang menyusulku. Perjalanan dimulai dari Jogja lalu ke Semarang. Pagi pertama di Semarang, aku kembali diuji. Kabar buruk, ayahku kecelakaan parah dan sedang dirawat di IGD Rumah Sakit Umum di Aceh. Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis menahan emosi kesedihan ini. Lagi-lagi, aku tidak bisa kembali. Perjalanan ini harus diteruskan. Sangat bersyukur ibuku menenangkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ibu bilang bahwa aku harus menyelesaikan apa yang sudah aku mulai kerjakan. Perjalanan aku teruskan kembali sampai semua social project terlaksana dengan baik di setiap kota. Bahkan di Surabaya sebagai kota berikutnya. Bali, akhirnya kami dapat melihat kemenangan ini bersama setelah kelelahan luar biasa di dalam perjalanan beberapa hari sebelumnya. Sungguh cobaan yang tidak sedikit ketika ujian datang dan segala sesuatu tidak sesuai yang diharapkan. Namun, aku berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengajarkan arti kesabaran dan kerja keras juga kepada partnerku Arnald yang berjuang bersama-sama. Ketika harapan berbalik, maka saat itu pilihan diuji. Menyerah atau melanjutkan apa yang sedang diperjuangkan. Aku telah belajar dari perjalanan ini. Agustina Anggota Cakrawala Club Jogja, Semarang, Surabaya dan Bali (24-30 Agustus 2013)
0 Comments
Leave a Reply. |
|