Aku dan Arnald duduk di sebuah pohon Beringin di Jalan Mallioboro Yogyakarta. Hari masih siang saat kami memutuskan beristirahat sejenak setelah lelah berkeliling observasi lokasi untuk kegiatan sosial kami.
“Ternyata nggak mudah seperti yang dibayangkan. Menolong orang itu tidak mudah”, aku sudah menebak Arnald pasti akan mengatakan ini dalam perjalanan. Hanya aku tidak tahu kalau dia mengatakannya secepat ini. “Sekarang kamu tahu kan, tidak mudah untuk turun langsung ke dalam masyarakat. Kemana perginya semua teori-teori yang kamu pelajari. Di kampus, boleh mengaku diri menjadi mahasiswa yang cerdas dan hebat tapi untuk apa semua itu kalau hal yang seperti ini saja kita tidak bisa melakukannya. Kamu bisa bayangkan bagaimana para pemimpin di negeri kita yang hanya bicara teori tapi mereka tidak pernah merasakan hidup di tengah-tengah masyarakat biasa dan tidak pernah tahu seperti apa penderitaan yang dialami oleh rakyat. Bersyukurlah untuk kesempatan ini karena disini proses belajar dimulai”. Aku berceramah pada Arnald seperti seseorang yang sudah sangat berpengalaman. Walaupun sebenarnya tidak ku mungkiri, aku memiliki beberapa pengalaman ini. Perjalanan kami baru saja dimulai. Jogja adalah kota pertama, sementara masih ada Semarang, Surabaya dan Bali. Kami ditantang oleh advisor club menulis kami untuk melakukan traveling di empat kota. Bukantraveling biasa, karena kami harus melakukan kegiatan sosial di setiap kota yang kami singgahi sebelum melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Adapun social project ini bukan sembarangan. Kami harus melakukannya dengan penuh pertimbangan yakni menolong orang yang memang membutuhkan pertolongan tetapi yang ditolong harus mendapatkan impact dari pertolongan yang kami berikan. Untuk itu bukanlah hal yang mudah memilih target tersebut yang dimulai dengan proses observasi, identifikasi lalusocial activity. Kami kewalahan menelurkan ide yang kreatif dan disinilah kami sekarang duduk termangu di bawah pohon beringin. Saat sedang menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus di bawah pohon beringin itu tiba-tiba pandanganku mengarah kepada seorang nenek sedang menawarkan jeruk kepada orang-orang yang lalu lalang. Jauh di seberang jalan, aku terus memperhatikan nenek itu memanggil-manggil orang yang lewat sambil memikul bakul besar di punggungnya yang semuanya berisi jeruk. Adapun jeruk yang ditawarkannya adalah jeruk segar yang sudah dipacking dalam plastik putih olehnya. Aku memperhatikan nenek itu hampir setengah jam. Sampai akhirnya dia kelelahan di bawah terik matahari yang menyengat kulit. Dia memutuskan untuk duduk beristirahat di bawah pohon beringin yang di bawahnya terdapat bangku semen. Bangku itu biasannya dijadikan tempat singgah para pelancong dan penduduk lokal untuk sekedar istirahat berteduh ataupun nongkrong. Tidak hanya duduk saja, nenek itu tetap memegang plastik yang berisi jeruk untuk ditawarkan kepada orang-orang yang lewat di dekatnya atau yang duduk di sekelilingnya. Tidak ada satupun yang membeli jeruk nenek yang malang itu semenjak aku memperhatikannya dari tadi. Hal ini membuat aku sedih teringat perjuangan seorang nenek tua renta berjalan kesana kemari dengan memikul jeruk di tubuhnya yang jumlahnya puluhan kilo itu. Dengan badannya yang bungkuk ia sama sekali tak menyerah demi berharap ada orang yang membeli jeruknya walaupun hanya satu kantong plastik. Hatiku terasa tersayat, sakit sekali. Teringat mungkin nenekku seumuran dengannya. Bagaimana kalau yang sedang jualan itu adalah nenek aku sendiri. Berjalan di bawah terik matahari dengan beban di punggung bungkuknya dan menjajakan dagangan seperti yang dilakukan si nenek. “Nald, kamu tunggu disini. Aku mau bertemu nenek yang sedang jualan jeruk disana. Barangkali ada yang dapat kita lakukan untuk membantunya”, aku bergegas meninggalkan Arnald dan menyeberang jalan. Aku memang sengaja tidak mengajak Arnald Karena melihat wajahnya yang diliputi kelelahan. Ia baru saja tiba semalam dari Jakarta. Sementara aku sudah tiba dua hari sebelumnya. Ada urusan yang harus dikerjakan makanya aku berangkat sendirian dan menunggu dia di Jogja. Aku duduk disamping nenek itu. Dia langsung menawarkan jeruk kepdaku seperti yang ia lakukan sebelumnya kepada orang lain. Proses identifikasi dimulai, aku ambil jeruk di tangannya sambil bertanya tentang jeruk yang ia jual. Pembukaan yang bagus karena informasi demi informasi dituturkan oleh si nenek. Jeruk ini ia beli di pasar di dekat kampungnya lalu ia jajakan jeruk ke Mallioboro. Jarak dari kampungnya ke Mallioboro sekitar 17 km. Setiap hari ia naik bis untuk bisa tiba di Mallioboro. Namanya Marto Nuhun, usia 87 tahun. Di desa ia tinggal bersama kedua anaknya yang sudah memiliki keluarga masing-masing. Suaminya mengalami kelumpuhan seluruh badan dan tidak dapat bekerja lagi. Makanya Mbah Marto, begitu ia menyuruhku memanggilnya, ia harus berjuang untuk biaya hidupnya dan suaminya itu. Aku melihat matanya berkaca-kaca saat ia menuturkan cerita tentang keluarganya. Kerut yang memenuhi seluruh kulit wajah dan tubuhnya menggambarkan betapa ia sudah hidup dalam kepedihan yang berkepanjangan. Namun, aku dapat melihat dia seorang pekerja keras yang ingin hidup mandiri dari anak-anaknya tanpa harus meminta-minta kepada mereka. Sesekali ia mengelap mukanya dengan kain gendongan bakulnya itu supaya keringat tidak menyebar ke wajahnya. Giginya ompong dengan suara yang parau saat ia bicara semakin menambah rasa sayangku padanya. Dia memang bukan siapa-siapa bagiku. Tetapi kebersamaan dengannya selama setengah jam dan menjadi pendengar saat ia bercerita telah membuat aku merasa ia bukan lagi orang asing bagiku. Aku memperhatikan kakinya, terlihat kuku-kukunya yang hitam dan kotor. Bagaimana bisa mbah Marto ini berjalan berjam-jam di atas aspal di tengah terik panas matahari ini. Aku tawarkan diri untuk membelikan sandal untuknya berharap hal tersebut dapat membantunya. “Nggak usah nak, mbah jatuh kalau pakai sandal”,begitulah kalimat yang diucapkannya saat aku menawarkan bantuan. Ku perhatikan lagi kakinya dengan lebih seksama. Ternyata kaki-kakinya kelihatan bengkok. Pantas saja dia tidak bisa memakai sandal. Aku bayangkan saat ia berjalan menggunakan sandal pasti ia akan jatuh tergelincir atau tersungkur di jalan. Lalu aku menawarkan diri membelikan topi untuknya saat aku memperhatikan di sekeliling ada banyak perempuan yang menjajakan daganganya dan mereka menggunakan topi untuk melindungi wajah dari sengatan matahari. “Jangan nak, mbah tidak bisa pakai topi, mumet, pusing”, ujarnya kemudian sambil memegang kepala. “Terima kasih, Terima kasih”, katanya lagi sambil memegang tanganku. Niat baikku tidak bersambut. Bukan karena ia tidak mau menerima tapi karena kedua benda yang aku tawarkan itu memang tidak ia butuhkan bahkan dapat mencelakakannya. Kalau dipaksakan memakai benda tersebut, bisa dibayangkan sandal dan topi itu dapat membuatnya celaka atau mungkin membunuhnya saat ia terjatuh karena pingsan atau tersungkur di jalanan tertimpa beratnya jeruk-jeruk yang ia bawa. Tidak selamanya niat baik membantu orang lain akan sesuai dengan yang kita inginkan. Kadang segala sesuatu tidak sesuai pada tempatnya. Setidaknya aku sudah belajar dari kejadian ini. Akhirnya aku hanya membeli satu plastik jeruk dari mbah Martun berharap dapat sedikit meringankan bebannya. Setelah menerima uang dariku, ia segera pamitan sambil salaman denganku dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Lalu kuperhatikan ia berlalu dari hadapanku di tengah kerumunan orang-orang yang berlalu lalang di jalan Mallioboro. Hatiku perih. Aku kembali ke tempat Arnald beristirahat dan ia baru saja bangun dari tidurnya sekejap. Aku ceritakan tentang apa yang aku lakukan. Ternyata menolong orang itu tidak mudah. Kembali teringat kata-kata Arnald. Aku belajar dari mbah Marto hari ini. Usia dan fisiknya yang mulai rapuh sama sekali membuatnya tidak manja dengan berharap belas kasihan dari orang-orang. Ia mau berjuang dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki demi keberlangsungan hidup dirinya dan suaminya yang sedang lumpuh di rumah. Sementara masih banyak para pengemis yang fisiknya sehat dan usia muda dengan entengnya memohon belas kasihan kepada orang tanpa mau berusaha. Menurutku, mbah Marto salah satu pahlawan yang dimiliki bangsa ini dan contoh yang dapat ditiru kemandiriannya. Setidaknya pahlawan bagi keluarganya. Agustina Anggota Cakrawala Club Jogja 27 Agustus 2013
0 Comments
Leave a Reply. |
|