“I don’t practice any religion”
Apa yang kamu dan kita semua pikirkan ketika ada orang yang berkata seperti itu di Indonesia? Mungkin ada yang kaget, ada yang berpikir ‘kok bisa?’, ada yang berpikir ‘seram’ atau paling ekstrim ‘wah, masuk neraka!’ “People stare at me as I am an allien” Apa yang kamu pikir dan rasakan, ketika temanmu yang berkerudung curhat seperti itu di negeri orang? Mungkin ada yang kasihan? Marah? Kesal? Atau jangan-jangan kita yang memandang teman kita seperti alien? Tiga minggu mengikuti program Homestay dari Gerakan Mari Berbagi, membuat saya terkaget-kaget. Setiap hari, saya pergi ke tempat yang berbeda dan bertemu dengan orang yang beragam di Sunshine Coast hingga Brisbane, Australia. Orang tua angkat saya terlahir sebagai Kristen, tetapi tidak ke gereja dan tidak mengajarkan agama tertentu kepada anak-anaknya. Saya bertemu dengan Senath, wanita kulit putih asal Afrika Selatan. Ia juga tidak melakukan ritual agama tertentu, tetapi memiliki banyak properti Budha di rumahnya. Di suatu kesempatan, saya hadir di acara agama Baha’i dimana penganut aliran ini mempercayai ajaran semua agama. Agama ini juga termasuk agama yang tidak umum di Australia. Seminggu kemudian, saya bertemu dengan Mba Rama, wanita Indonesia asal Bali, beragama Hindu dan suaminya orang Australia beragama Budha. Wah, mereka bebas sekali berekspresi tentang kepercayaannya ya? Selanjutnya, pengalaman sangat berbeda juga saya temui. Saya diceritakan diskriminasi terhadap kelompok tertentu yang terjadi di daerah Sunshine Coast. Seorang teman dari Community Action for Multicultural Society bercerita bahwa Muslim mendapat perlakuan berbeda di beberapa sektor. Beberapa hari kemudian, saya mendengar sendiri seorang teman yang berkerudung bahwa ia dipandang aneh di tempat umum. Memang selama di Sunshine Coast, cuma dia yang wanita berkerudung yang saya temui.Wah, ternyata diskirminasi juga terjadi di Australia ya? Bagaimana harus bersikap? Beruntung saya bertemu dengan Nora Amath dan Dave Andrews di Leadership Camp sebelum pulang ke Indonesia. Nora, adalah wanita muslim yang sangat taat terhadap ajaran Islam, dan Dave adalah seorang pria Kristen yang juga sangat mencintai Tuhan. Nora pernah tinggal di sebuah apartemen di Amerika Serikat. Tetangganya berasal dari berbagai agama. Setiap sore, Nora dan tetangga lainnya sering kali bersantai dan ngobrol bersama. Selama 6 bulan kebiasaan ini terjadi dan mereka saling bercerita kondisi masing-masing. Hingga suatu hari, tanggal 11 September 2001, kelompok teroris mengebom gedung WTC di Amerika Serikat. Semua rakyat panik. Kejadian tersebut menumbuhkan kepada kaum muslim. Namun, Nora beruntung. Keluarganya dilindungi dan didukung oleh tetangga-tetangganya di sekitar apartemen-nya. Mereka menanyakan kondisi keluarga Nora dan selalu menguatkan Nora dalam menghadapi kebencian dari pihak lain yang ia alami. Kejadian itu, menjadi turning point dalam hidup Nora, dan ia mulai terlibat di gereja-gereja dan di sekolah-sekolah untuk menunjukkan bahwa agama yang ia percayai tidak buruk dan tidak jahat. Namun, yang terjadi tidak indah dan tidak mudah. Di masa-masa kunjungan tersebut, Nora malah merasa trauma karena orang-orang Kristen yang ia temui berusaha merubah kepercayaannya alias ‘kristenisasi.’ Nora berhenti berkegiatan di komunitas Kristen hingga tahun 2006, ia bertemu dengan Dave. Apa yang mereka lakukan? Nora mengkritisi ‘Islam ekstrimist’, dan Dave mengkritisi ‘Kristen ekstrimis.’ Nora pergi ke gereja bersama Dave untuk bilang kepada kaum Kristen, bahwa ia mendukung Kristen. Dave pergi ke Masjid untuk menyatakan kepada kaum Muslim bahwa ia mendukung Islam. “Don’t argue! Listen and see what we can learn one another” “We believe in one God. The God of love, mercy, compassion and grace. God can talk to us through other religion too.” Saya berpikir dalam hati. Betul juga ya?! Siapa kita manusia, bisa-bisanya membatasi Tuhan ‘mengajar dan membentuk’ kita hanya dengan cara tertentu? Selama ini kita berpikir agama atau kepercayaan kita lah yang paling benar. Yang lain pokoknya salah! Islam didiskriminasi di Australia, Kristen mengalami diskriminasi di Indonesia. Wajar dan alami terjadi, karena ketika kita termasuk dalam kelompok mayoritas ada banyak yang mendukung. Sebelum melalui pengalaman ini, saya sendiri mengakui bahwa saya sering kali ingin mendebat ajaran agama lain. Tapi sekarang berbeda. Sejak bertemu dengan Nora dan Dave, saya belajar bahwa tugas kita adalah membangun kepercayaan dengan teman-teman dengan agama/kepercayaan yang bebeda bukan mengkritisi ajaran mereka. Sebaliknya, “we have to criticize our own tradions/religion.” Berani? Dua hari berikutnya, saya dan Matt (country representative GMB untuk Australia) mempraktikan ini. Tiap jam 6.30 pagi kami duduk dan membahas Alkitab dan berbagi mengenai pendapat masing-masing mengenai ayat yang dibaca. Lucunya, obrolan dan refleksi ayat Alkitab menimbulkan pertanyaan baru tentang suatu konsep menjadi PR pribadi kami untuk mencari tahu. Dave sendiri membuat buku berjudul “Bismillah. Christian Muslim Ramadan Reflections”. Buku ini merupakan hasil refleksinya selama bulan Ramadan terhadap konsep Bismillah. Indah sekali bukan? Belajar tentang agama lain bukan mengubah kepercayaannya, sebaliknya malah membuat Dave makin dalam penghayatannya tentang Tuhan. Pertemuan dengan berbagai orang dari agama dan kepercayaan berbeda selama program homestay ini, membuat saya semakin terbuka terhadap perbedaan dan pilihan hidup. Saya juga menyadari diskriminasi bisa terjadi dimana saja, bahkan di negara sejahtera seperti Australia sekalipun. Tugas untuk menularkan nilai-nilai toleransi ini akan terus berlanjut, dan Gerakan Mari Berbagi menjadi salah satu menjadi agen perubahannya. Embrace the differences. Open your hand. Hold others who are different, not too tight so that they could crush, but hold them gently. – Nora Amath Penulis : Aprida Sondang, GMB 2014
0 Comments
Leave a Reply. |
|