Ya, Jepang! Aku mengenalnya dari mereka, para volunteer GMB Young Leaders Homestay Program. Mengantarkan tapakku menjangkau sebuah impian dalam angan. Menambahkan check list pada deretan goal yang menanti untuk dicapai. This’s real, guys. GMB membukakan sebuah pintu bagiku dan pintu itulah yang membukakan puluhan pintu lainnya dalam perjalananku, bahkan tidak hanya pintu yang terbuka melainkan beragam jendela pun terbuka lebar, menyambut hangat dengan kekayaan pengalaman dan nilai. I love you, Bang Az! Berkat kekokohan komitmen, Bang Az membawa kami pada sebuah tantangan besar yang membuat kami menangis pada titik akhir karena suatu keberhasilan dan nilai yang mendewasakan kami.
Aku terharu dengan cara Bang Az mendidik kami, terima kasih atas kesempatan emas yang kau amanahkan. Dan Kak Dede, seorang mentor yang super hebat dan detil. Sering kali aku merasa malu saat Kak Dede terlihat tak pernah lupa tentang apapun dan selalu mengingatkan hal-hal kecil pada kami. Kakak menyiapkan semuanya dengan sempurna, mendidik kami sebagai seorang ayah, kakak, teman, bahkan sahabat. Arigatou gozaimashita. Aku tidak akan pernah berhenti belajar banyak hal dari dua orang ayah teladan di keluarga besarku, Gerakan Mari Berbagi. Terima kasih keluarga besarku, GMB. Kau berada dalam rangkaian coretan berharga pada setiap tapak perjuanganku. Begitu pun hari ini. Coretan menjelang akhir program homestay, aku membuat sebuah catatan kecil yang menyatakan bahwa setelah kembali ke Indonesia, aku harus membuat agenda utama untuk melakukan kunjungan ke lembaga pemerintahan, pendidikan, perusahaan, pabrik industri, komunitas pemuda dan sosial, serta ke suatu tempat yang akan menunjukkan beragam kekayaan Indonesia sebelum aku benar-benar menyatakan, “Iyaa, di negaraku gak ada yang seperti itu”. Miris rasanya saat tahu, menyaksikan langsung, dan mengalami di sini tentang segala sistem yang sangat bersih. Lu tau sampah, Bro? Gue yakin lu tau sampah bahkan yang berserakan di jalan. Di Tokyo, aku cuma sekali nemuin sampah di tempat umum dan itu cuma satu kaleng bir yang nangkring di atas pagar, sumpah itu serasa menang banget saat menemukannya karena setiap aku berjalan, bayangan Indonesia sangat nyata di kepala. Semua ini hal baru bagiku. Setiap kali masuk rumah harus cuci tangan terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas yang lain, gak bisa buang sampah di sembarang tempat sampah karena ada lima deret tempat sampah dengan jenisnya masing-masing. Sampah pun harus disucikan sebelum dibuang, serasa memanusiakan makhluk yang tak hidup karena sampah di sini mampu menghidupi masyarakat Jepang. Sering kali aku berseru, “Buset dah, kagak ada ampas sama sekali mah di sini, semuanya diolah dan bermanfaat lagi!” Kadang aku mikir, buat apa ribet bawa botol minum dari Indonesia kalau aku bisa minum di mana pun di sini, kran air mudah ditemui dan bisa langsung minum sepuasnya. Gak berhenti di situ, guys. Pekerja proyek bangunan waktu itu nyapa dan senyum pada setiap orang yang lalu lalang di hadapannya. Semua detil diperhitungkan seperti tingkat kebisingan pembangunan gedung yang ditayangkan pada satu layar kecil (aku gak tau pasti nama alatnya), so semua orang bisa memantau. Satu nilai utama dari beragam nilai yang diperoleh selama aku di Jepang, ini adalah negara yang memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara optimal dari sekecil-kecilnya sumber daya tersebut dan memberikan peluang serta menyambut hangat seluruh warganya dalam kesetaraan sosial. Jepang mengelolanya secara sistematis dan tentu dengan kesadaran pada hampir seluruh warganya. Jalur kereta hingga lima tingkat di bawah tanah, ini menjelaskan bahwa kemacetan bukan cerminan kota besar, sedikit nyindir lah yaa tapi apa yang sudah aku lakukan untuk Indonesia? Melatih orang-orang difabel dengan berbagai keahlian dan memberikan mereka suatu peluang kerja di setiap tempat yang diakui oleh hukum. Aku belum tahu pasti ini ada atau tidak di Indonesia, tapi aku rasa belum ada, (tolong koreksi aku kalau ini keliru). Tuhan, sedih rasanya menyaksikan banyak perbedaan dengan Indonesia. Aku kagum dan kadang sedih bahkan benci pada Jepang, negara ini sama sekali tidak membuatku tersesat karena Jepang memberikan semua petunjuk secara jelas. Semua berjalan secara rapi dan terstruktur. Masyarakatnya menyambut tamu sebagai keluarga baru. Aku kagum dan cinta pada kondisi ini. Namun, aku sedih menyaksikan orang yang aku tau mereka tidak bodoh, bahkan sangat cerdas menjadi seorang homeless. Yap, banyak sekali yang tercatat dalam perjalanan ini. Pemikiran sementara yang membedakan Indonesia dan Jepang adalah bukan hanya soal suka atau tidak suka, tetapi suatu kebiasaan yang tertanam secara utuh dan menjadi suatu pola dan budaya hidup masyarakat Jepang yang membuat negara ini maju dan besar di mata dunia. Indonesia pun mampu untuk itu tanpa menghilangkan karakter asli masyarakat Indonesia yang akan menjadi pondasi terbentuknya sistem baru yang rapi dan bersih. I love, Indonesia!. Kyoto, 2014/11/26. Penulis : DevI, GMB 2014
0 Comments
Leave a Reply. |
|