“Menjadi kaum minoritas di negeri yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama lain adalah sebuah tantangan tersendiri untuk tetap mempertahankan sebuah keimanan. Toleransi agama yang kuat, menjadikan kami merasa nyaman dan terhormat di sini. Batin kami tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali.” Hari Jumat, 14 November 2014 adalah genap satu minggu saya di Brisbane, Australia. Beberapa hari merasakan atmosfer baru di negeri ini telah membuka mata hati dan pikiran saya bagaimana menjadi seorang minoritas di negeri yang mayoritas beragama nasrani ini. Sebagai seorang muslim, tentu tidak mudah untuk tetap menjaga sholat maupun ibadah lainnya di tengah kesibukan kegiatan homestay GMB ini. Berikut adalah sebuah cerita hikmah, ketika kedua kalinya saya berjumpa masyarakat muslim di Brisbane, tepatnya di Holland Park Mosque. Siang itu saya diantar Gwenda untuk menuju masjid di Holland Park, sebuah masjid yang pernah saya kunjungi seminggu yang lalu untuk sholat Jumat. Kami naik mobil, di jalan sempat berhenti selama 30an menit karena macet. Bukan tanpa alasan, ini karena ada G20 Summit. Sekitar Pkl 12.45 saya tiba di depan masjid. Di sana telah berjejer banyak mobil yang diparkir rapi, menandakan sudah cukup banyak jamaah yang hadir. Masjid ini adalah masjid pertama yang berdiri di Australia, sejak 1908 dan direnovasi pada tahun 1970. Masjid ini selalu terbuka untuk umum setiap saat, berbeda dengan beberapa masjid di Australia yang hanya buka pada waktu tertentu. Beberapa fasilitas di masjid antara lain ruang sholat yang cukup untuk sekitar 400 jamaah, ada ruang madrasah/TPA, perpustakaan, pusat buku dan kitab, serta beberapa ruang lainnya. Selengkapnya ada di http://hollandparkmosque.org Sekitar Pkl 13.00 khutbah Jumat dimulai. Materi khutbah masih melanjutkan tentang pentingnya menjaga sholat, di samping kewajiban mencari rezeki. Khatib berpesan melalui bahasa Inggris agar tetap menjaga akidah, menjaga akhlak sebagai seorang muslim, itu adalah anugerah terindah dari-Nya. Betapa bersyukurnya kita, terlahir sebagai muslim, namun tak sedikit yang belum dapat memaknai sampai ke hati, bagaimana Islam mengajarkan kedamaian, mengajarkan sopan santun, mengajarkan makan makanan halal, mengajarkan adab pergaulan. Betapa harus bersyukurnya kita, ketika Tuhan telah memberi banyak kemudahan dalam hidup, namun kita masih sering kufur. “Allah, there is no God but He, the Ever-Living, the Self-subsisting, by whom all subsist. Help us, O Allah Help us, and we bessech Thee not to lend (anyone) help agains us. O Allah, order our affairs for us, and do not manipulate affairs against us. O Allah, make us prosperous and open our hearts for Islam. You only one who know this life, guide us to the right way.” Saya baru kali ini mendengar khutbah dengan bahasa Inggris secara jelas, maknanya dalam dan merasuk ke hati. Baru kali ini, melihat para jamaah sholat benar-benar khusyuk mendengarkan khutbah, tidak ada yang tidur. Apakah ini yang dinamakan khusyuk ? Ketika mata, hati, dan pikiran menjadi satu memuji nama-Nya, dan menangis memohon ampunan-Nya. Pada doa penutup, imam sholat memimpin doa, saya tak kuasa meneteskan air mata. Betapa rindunya saya dengan mamak dan bapak di rumah. Betapa inginnya saya melangkahkan kaki ke masjid setiba di Indonesia nanti. Betapa rindunya moment-moment seperti ini, ketika saya merasa bersyukur berada di antara calon penghuni syurga. Mereka saudara baru saya di sini, yang telah membuka hati ini untuk selalu bersyukur. Selepas sholat Jumat, saya bertemu dengan Pak Rasyid, warga asli Myanmar yang sudah 1 tahun tinggal di sini. Beliau masih berstatus sebagai pengungsi yang telah mendapatkan perhatian dari pemerintah Australia. Beliau telah berkeluarga, istri dari Indonesia dan kini memiliki 5 anak. Dua diantaranya yang diajak adalah Khaled dan Yusuf, dua jagoan kecil yang sholeh dan fasih berbahasa Melayu dan Inggris. Pak Rasyid adalah orang yang berjasa bagi saya, meskipun baru saja kenal. Beliaulan orang pertama yang menyapa saya, mengajak saya berdiskusi tentang kehidupan muslim di sini. “We have muslim people from all the world : Indonesia, Pakistan, Africa, Malaysia, Turki, Maroko, and others.” Sebagai seorang muslim, prinsip yang beliau pegang teguh di sini adalah pentingnya meresapi nilai-nilai Islam secara utuh. Beliau menyampaikan bahwa penghargaan hak beragama di sini sangat tinggi. “Religion is the human right, we can choose it or skip it. People just to make a tolerance.” Agama bukanlah sebuah pembatas aktivitas sehari-hari. Contohnya ketika seorang muslim bekerja di sebuah perusahaan. Pimpinan akan menilai seberapa kondisten kerjanya, tidak melihat darimana ia berasal, dari agama apa ataupun suku apa. Di sini kita memperoleh hak yang sama, bahkan seorang doktorpun bisa jadi gajinya sama dengan tukang service pipa. Kita dihargai karena kemampuan kita. Selepas sholat Ashar, saya dipertemukan Pak Rasyid dengan Pak Ali dan Pak Azhar. Beliau berdua adalah orang Indonesia yang telah cukup lama tinggal di Brisbane. Sugguh, saya bersyukur sekali dapat bertemu beliau. Kami saling berjabat tangan, saling mengucap doa atas pertemuan ini. Kami kemudian duduk di samping masjid. Pak Ali mengawali pembicaraan dengan menanyakan tujuan saya di sini. “Bapak, saya di sini dalam rangka program homestay dari Gerakan Mari Berbagi dengan tujuan belajar memahami keragaman budaya, pendidikan, masyarakat dan lain sebaianya yang menjadi misi GMB,” jawab saya. Saya pun memberikan brosur GMB kepada beliau berdua. Pak Ali, adalah warga asli Bangka Belitung yang sejak tahun 1974 hidup di sini, beliau sudah mempunyai 2 cucu, beristrikan orang Australia. Pak Azhar, adalah seorang akademisi, yang sekarng menempu doctor di sini. Saya melihat beliau adalah orang penting dengan bahasa akademiknya. Saya cukup terkejut di awal, karena beliau berdua sangat menyambut keberadaan saya di sini, beliau berdua menganggap saya sama, tidak ada jarak apapun yang menghalangi diskusi kami. Beliau berdua menceritakan pengalaman-pengalaman selam tinggal di Australia, mulai dari masyarakat muslim sampai hal-hal yang bersifat personal. “Toleransi agama di sini sangat tinggi, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat mau memeluk agama atau tidak,” kata Pak Azhar. “Asalkan kita taat dan berbuat baik, pasti tidak aka nada orang yang berani mengganggu kita di sini,” sambung Pak Ali. Menjadi masyarakat muslim di Brisbane bagi beliau berdua sebenarnya sangat senang. Islam telah mengajarkan nilai-nilai dasar yang seharusnya bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari. Contohnya, sebuah ketaatan terhadap aturan. Orang di sini ketika di traffic light, lampu hijau berjalan, lampu merah berhenti, dan lampu kuning bersiap berhenti. Berbeda dengan di Indonesia yang justru semuanya dianggap hijau. Apakah kita tidak merasa malu sebagai muslim ? Di sini sebenarnya kita telah punya nilai itu. Ketika kecil juga sudah diajarkan untuk disiplin lalu lintas. Namu lihat, ketika justru nilai-nilai itu dihancurkan oleh para orang tuanya sendiri. Anak didik taat lalu lintas, namun ketika membonceng sepeda motor ayahnya yang menerobos lampu merah, nilai-nilai itu hancur. Cerita lain ketika Pak Azhar baru saja datang di Brisbane dan pada saat itu baru ada kampanye calon anggota parlemen, beliau diberi kesempatan langsung untuk bertemu dan menyampaikan “unek-unek atau ususlan” kepada calon anggota dewan itu. Berbeda ya ketika di Indonesia untuk bertemu dewan secara langsung pasti sulit karena adanya jurang pembatas/strata sosial. Kita perlu belajar makna sebuah penghargaan di sini. “Orang-orang di sini mas, mudah sekali mengatakan terimakasih sebagai ucapan apresiasi setiap orang.” Sering saya jumpai, ketika ada seseorang secara tidak sengaja menyenggol atau menghalangi arah jalan seseorang langsung orang yang disenggol itu yang minta maaf. Tapi kenyataannya di Indonesia, bisa jadi justru langsung marah atau mencacimaki. Mereka di sini sangat hormat, bahkan ketika keluar bus pun wajib mengatakan “thank you”. Penghargaan atas jasa orang lain inilah yang membuat adanya kedekatan dan membuang jauh-jauh strata sosial di sini. Hal lain, tentang makna sebuah konsistensi di sini. Pemerintah secara konsisten memberi pelayanan terbaim bagi masyarakatnya, sekolah gratis, kesehatan gratis, semua demi kenyamanan warga. Msyarakatnya pun mendukung penuh setiap program ataupun kebijakan dari pemerintah. Ketika melihat sisi di Indonesia, lihatlah contoh sebuah peraturan “Dilarang merokok di sini, bisa dikenai denda sekian juta rupiah bahkan miliar.” Lalu apa yang terjadi ? Masih ada ya si anggota dewan yang justru melanggarnya, justru merokok di ruang sidang. Apakah itu yang dinamakan konsistensi ? Peraturan dibuat untuk ditaati, bukan untuk dilanggar sendiri. “Orang-orang kita itu aneh mas, banyak aturan, banyak juga yang dilanggar.” Coba belajar dari masyarakat sini yang taat aturan, makanya saya merasa nyaman dan aman di sini. Kata Pak Ali. Pengalaman Pak Azhar ketika pulang ke Indonesia dan akan menyekolahkan anaknya menjadi pelajaran hidup. Ketika itu beliau ingin mendaftarkan anaknya sekolah, banyak tahapan yang harus diproses, syarat yang macam-macam samoai akhirnya beliau angkat tangan dan kembali ke Australia. Di sini, beliau langsung menghubungi sekolah dan membawa persyaratan dokumen lalu menerma jawaban dari staf sekolah, “Sebenarnya Anda tidak perlu menyiapkannya sendiri, biar kami yang urus dan anak Anda bisa langsung masuk kelas, kami utamakan untuk segera masuk kelas.” Pelajaran bagi birokrasi di Indonesia yang masih cukup berbeli-belit. Melihat makna perbedaan di sini belum lengkap rasanya tanpa melihat sisi sosial masyarakat di sini. “Mas, coba lihat orang di depan itu yang baru saja keluar mobil, mas pasti tidak menyangka kalau dia itu doctor, orang yang menyapa kita tadi adalah ustadz terkemuka di sini, orang penting.” Mereka biasa-biasa saja mas, berpakaian sederhana, bahkan mobilnya juga biasa saja, tidak terbayang kan kalau mereka itu orang dengan pencapaian akademik tinggi. Inilah sisi positifnya, antara si doctor atau ustadz ataupun masyarakat biasa sama-sama hidup berdampingan, mereka pakai pakaian yang sama, tidak terkesan mewah ataupun ingin dipuji mas. Bagi kami, pujian akan pencapaian seseorang itu memang perlu, tapi kitanya yang harus tetap jadi orang biasa dan sederhana. Coba lihat sikap Pak Ahok sebagai gubernur Jakarta yang baru, dia tidak mau kan menerima penghargaan sebagai ini itu. Karena memang beliau merasa “Saya ini hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, tidak perlu dapat pujian ini itu, biarkan saya bekerja dulu.” Cukup lama saya mendapat sharing pelajaran hidup dari Pak Ali dan Pak Azhar, bahwa hidup di sini ada manis dan pahitnya. Manis ketika kita merasa nyaman, pahit ketika kadang-kadang dapat fitnah seperti aksi vandalism di masjid orang Indonesia di Brisbane dua bulan kemarin. Ketika saya bertanya,”Apa yang membuat Bapak berdua betah tinggal di sini?” Pak Ali menjawab, “Saya sesungguhnya hanya perlu kebahagiaan hidup, ketenangan batin untuk hidup.” Ketika di sini, saya tidak perlu khawatir dengan keselamatan saya. Contohnya, di Indonesia ketika pulang malam pakai mobil, pasti kita akan takut atau khawatir akan criminal. Ketika di jalan pun khawatir mobilnya dicoret oleh pengemis atau preman. Ketika di sini, saya bisa beribadah dengan khusyuk tanpa kekhawatiran, saya merasa aman dan nyaman hidup di sini. Kalau saja di sana seperti ini, saya akan memilih tinggal di Indonesia. Pak Azhar menambahkan,”Sejujurnya saya ingin pulang mas, namun kualitas hidup di sini jauh lebih baik, saya tetap cinta Indonesia mas sampai kapanpun.” “Menjadi kaum minoritas di negeri yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama lain adalah sebuah tantangan tersendiri untuk tetap mempertahankan sebuah keimanan. Toleransi agama yang kuat, menjadikan kami merasa nyaman dan terhormat di sini. Batin kami tenang, tidak ada kekhawatiran sama sekali.” Lewat perbincangan hangat ini, kami tidak sadar telah menghabiskan waktu sejak jam 2an sampai jam 6 menjelang Maghrib. Saya pun berterimakasih atas silaturahmi beliau berdua, atas sharing pelajaran hidup ini. Selepas Maghrib, saya diajak Pak Ali ke rumah beliau, sekitar 2 km dari masjid. Saya bertemu istrinya yang asli orang Australia dan telah menjadi muslimah. Pak Ali pun memberi hidangan makan malam. Saya bersyukur, malam itu begitu special, penuh pembelajaran. Bertemu masyarakat muslim di Masjid Holland Park bagi saya adalah pengalaman baru, menegtahui kehidupan langsung masyarakan muslim dari berbagai etnis yang telah menjadi kesatuan membentuk komunitas di tengah multikulturalnya Brisbane. Terimakasih Pak Rasyid, Pak Azhar, Pak Ali, dan beberapa kenalan saudara baru di masjid Holland Park. Telah saya temukan sisi kehidupan muslim di sini bersama sikap toleransi dan keterbukaan warga Australia di sini. “Hidup berdampingan dengan umat agama lain telah membawa diri kita untuk semakin bersyukur menerima kenyataan hidup. Bukan hanya bisa menerima, tetapi juga melakukan yang terbaik atas kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitar.” Janu Muhammad
0 Comments
Leave a Reply. |
|