"Pelajaran di hari pertama, saya harusnya menyimak dengan baik apa yang dikatakan dan bertanya kembali ketika tidak mengerti".
Saya tiba di Sydney tanggal 3 November, dijemput oleh orang tua angkat di Bandara. Namun, berhubung masih ada beberapa teman yang tiba menyusul maka orang tua angkat saya yang bernama Jessica memutuskan menunggu yang lainnya. Sementara saya dan kawan saya Husnul pulang ke rumah Jessica diantar oleh ibunya Jessica, namanya Maree. Setiba di rumah, Husnul langsung minta izin tidur. Berhubung ia tidak bisa tidur di pesawat selama perjalanan jadinya ia terlihat begitu lelah. Sementara saya memutuskan untuk mandi dan sebelum saya mandi, Maree menjelaskan kepada saya bahwa pintu kamar shower rusak. Maree menjelaskan dalam bahasa Inggris bagaimana seharusnya saya menggunakan pintu tersebut. Saya pun mandi dengan cerianya. Setelah mandi bersiap keluar dari ruang shower namun malah tidak bisa membuka pintu. Malu rasanya jadi teringat Maree sudah menjelaskan dengan fasih dalam bahasa Inggris khas Australianya. Namun, saya malah tidak mengerti apa yang ia jelaskan. Akhirnya saya terkurung dalam ruangan shower itu. Setengah jam bergulat dengan pintu shower yang tidak bisa di buka lagi. Kebingungan tidak tahu harus melakukan apa, karena saya malu kalau harus teriak dengan suara yang besar dan memanggil Maree. Sementara Husnul sedang tertidur pulas. Seandainya saya memanggil mereka sekalipun, mereka tidak akan bisa bantu karena saya mengunci pintu kamar mandi dari dalam. Tanpa membuang waktu lebih lama, saya menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkan badan saya pelan-pelan melewati pintu shower yang hanya bisa terbuka sedikit. Sementara badan saya cukup besar harus melewati pintu yang berdecik kuat karena tertekan tubuh raksasa. Beberapa menit kemudian saya berhasil keluar dengan nafas yang tersenggal-senggal. Pelajaran di hari pertama, saya harusnya menyimak dengan baik apa yang dikatakan dan bertanya kembali ketika tidak mengerti. Entah bagaimana saya lupa bahwa budaya di Australia orang tidak mengunci pintu kamar mandi. Karena pintu tertutup berarti ada orang dan sebaliknya pintu terbuka berarti tidak ada orang. Hari ketiga, kami hanya tinggal bertiga di rumah, karena Jessica harus kerja. Saya, Husnul dan Muna harus menyiapkan breakfast kami sendiri. Semua kebingungan, karena ternyata di dapur serba menggunakan mesin. Praktek demi praktek dimulai, setelah semua bahan disiapkan untuk masak malah kami tidak tau cara menyalakan kompor gasnya. Semua yang kami tekan malah mesin lain yang berfungsi. Mau menghidupkan kompor gas tapi malah oven yang nyala. Stress berusaha sampai tiba-tiba mata kami tertuju pada korek api. Ternyata kompor gas dinyalakan dengan menggunakan korek api. Oh my God, akhirnya bisa juga. Dapur berserak dimana-mana karena ternyata tidak ada satupun diantara kami yang pintar masak. Kami hanya mencoba apa saja yang bisa dimasak dan mencampur segala bumbu yang kami sendiri tidak tahu apa fungsinya. Gadis-gadis aneh ini akhirnya menyelesaikan sebuah hidangan yang aneh rasanya. Tidak ada pilihan selain memakan apa yang sudah dimasak. Pelajaran bertambah, setiap dari kami akhirnya belajar masak dengan baik dan mencari di internet juga. Hari-hari berlalu, ada saja kesalahan yang kami lakukan karena tidak mengerti budaya dan komunikasi. Hari itu, kami buru-buru karena jadwal Ferry sudah hampir tiba. Kalau kami ketinggalan Ferry maka kami harus menunggu satu jam lamanya untuk kedatangan Ferry berikutnya. Sementara Ferry adalah transportasi yang sering kami gunakan menuju kota. Sambil menuju ke tempat perhentian Ferry kami membawa sampah untuk dibuang ke tempatnya. Sesampai disana, kami malah tidak bisa membuka pintu untuk masuk ke tempat pembuangan sampah tersebut. Akhirnya sambil lari terbirit-birit sampah itu kami bawa pulang kembali dan harus segera balik ke Warf Chiswick supaya tidak ketinggalan ferry. Kesalahan selanjutnya, kami menduduki tempat yang salah di Ferry yaitu di tempat yang khusus untuk para orang tua dan orang difable. Malu rasanya ketika membaca tulisan di dinding Ferry bahwa tempat itu hanya untuk orang khusus, dengan perasaan malu kami melangkah menuju kursi belakang. Pada saat menyeberang jalan, kami tidak tau menekan tombol traffic light. Sehingga kami duduk bodoh di pinggir jalan menunggu kendaraan tidak berhenti-henti sampai akhirnya seseorang datang dan menekan tombol tersebut. Semua kesalahan yang kami lakukan justru menjadi sebuah keindahan untuk belajar bagaimana harusnya bersikap dan memahami budaya orang juga harus berani bertanya ketika tidak mengerti untuk mengurangi tingkat kesalahan yang dilakukan. Sampai akhirnya kami jadi mengerti semua itu. Agustina Alumni YLC & Peserta Homestay to Australia
0 Comments
Leave a Reply. |
|