"Prof. John menambahkan, sekalipun kemudian terwujud dalam proses jangka waktu yang lama tapi seluruh mandat dari MoU Helsinki dan UUPA harus diwujudkan dan pembentukan KKR Aceh adalah salah satu yang terpenting. Dalam pengalamannya di banyak negara pengabaian atas satu atau dua hal dalam perjanjian damai dapat menimbulkan masalah dikemudian hari".
Dari tujuh peserta terbaik Youth Leadership Camp 2012 yang mendapat kesempatan homestay di Australia., hanya saya sendiri yang berada di Canberra. Selama di Canberra saya melakukan banyak kegiatan dalam rangka peningkatan kapasitas, pengenalan budaya dan kesempatan berdialog bersama beberapa tokoh di Canberra. Salah satu tokoh yang saya jumpai adalah Prof. John Braithwaite yang merupakan guru besar dalam bidang ‘Peacebuilding Compared’ di Australian National University (ANU), Canberra. Prof. John memimpin banyak lembaga penelitian yang terkait dengan isu demokrasi, keadilan restoratif, hukum Internasional dan pembangunan perdamaian. Juga telah 40 tahun terlibat dalam aktifitas gerakan sosial-politik di Australia dan Internasional. Prof. John juga telah menerima banyak penghargaan akademik dan no-akademik, salah satunya penghargaan Future Justice Award 2012. Saya menjumpainya diruang kerjanya dikantor Regulatory Institutions Network (RegNet) gedung Coombs Extension ANU. Prof. John menyambut saya dengan ramah. Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan tentang program yang saya jalani selama di Canberra, kami kemudian berdiskusi dan saya bertanya mengenai beberapa hal. Ternyata Prof. John pernah terlibat di Aceh Monitoring Mission (AMM) dari tahun 2006 sampai 2007. Kenangannya di Aceh membuat kami kemudian banyak berdiskusi tentang Aceh. Prof. John menyampaikan bahwa proses pembangunan perdamaian di Aceh harus sesuai dengan kesepakatan perjanjian damai MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, disertai komitmen penuh dari para pihak yang terlibat dalam perdamaian untuk melaksanakan mandat serta hak dan kewajiban para pihak sebagaimana yang termuat dalam MoU Helsinki dan UUPA. Mengenai peluang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh Prof. John berkomentar, “never too late to Truth and Reconciliation Commission in Aceh” (tidak pernah ada kata terlambat untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh). Menurutnya yang mendasar dari proses pembangunan perdamaian jangka panjang, subtansial dan memberikan keadilan bagi para korban adalah melalui jalan pengungkapan kebenaran melalui lembaga KKR dan itu merupakan mandat dari MoU Helsinki dan UUPA. Prof. John menambahkan, sekalipun kemudian terwujud dalam proses jangka waktu yang lama tapi seluruh mandat dari MoU Helsinki dan UUPA harus diwujudkan dan pembentukan KKR Aceh adalah salah satu yang terpenting. Dalam pengalamannya di banyak negara pengabaian atas satu atau dua hal dalam perjanjian damai dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. Mengenai proses pembentukan KKR Aceh yang subtansial Prof. John berpendapat bahwa peluang itu ada ditangan Komnas HAM yang harus dijadikan tempat sandaran dan didorong untuk terus pro aktif mendorong agar KKR dapat terwujud. Komnas HAM yang merupakan lembaga negara memiliki peluang lebih besar untuk bertemu ekskutif dan legislatif dalam membahas persoalan KKR. Dalam pengalamannya selama bekerja di AMM, salah satu yang berkesan menurutnya mengenai para aktivis HAM dan pro-demokrasi yang ada di Aceh. Ia menyebut aktivis HAM dan demokrasi di Aceh memiliki “long term struggle”, komitmen, keberanian dan daya tahan kuat untuk terus berjuang. Ini membuatnya berkeyakinan bahwa perdaiaman di Aceh akan terwujud sesuai harapan. Di penutup diskusi Prof. John mengingatkan saya bahwa peluang terwujudnya KKR di Aceh dalam waktu dekat terkait sekali oleh Presiden Indonesia dimasa mendatang. Apabila Presiden Indonesia yang terpilih kedepan tidak memiliki komitmen untuk menuntaskan mandat MoU Helsinki dan UUPA secara subtansial dan menyeluruh tentu peluangnya akan mengecil. Ketika saya bertanya prediksinya untuk Presiden Indonesia kedepan, Prof. John berpendapat dominasi calon Presiden dari militer masih kuat dan itu tidak baik dari sisi Aceh. Saya Diterima Karena Dari Aceh Selesai diskusi saya mendapat hadiah 3 buku dari Prof. John, salah satunya adalah karya nya sendiri berjudul Anomie and Violence; Non-Truth and Reconciliation in Indonesia Peacebuilding, sebuah penelitian tentang konflik yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, yaitu Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan dan Aceh. Sebuah refensi yang berharga sekali menurut saya dan diperoleh langsung dari si penulis. Dalam perjalanan pulang saya bertemu Dr Jerry Schwab. Jerry merupakan orang tua angkat saya selama di Canberra dan saya tinggal dirumahnya selama tiga minggu. Jerry juga peneliti di ANU pada Centre for Aboriginal Economy Policy Research, pusat penelitian untuk kebijakan ekonomi bagi masyarakat Aborigin. Jerry juga yang menghubungi dan menyusun pertemuan saya dengan berbagai tokoh termasuk Prof. John. Jerry menanyakan bagaimana hasil pertemuan saya dengan Prof. John. Saya ceritakan padanya termasuk buku yang diberikan untuk saya. Kemudian Jerry mengatakan bahwa ternyata Prof. John sosok yang dikenal sangat berintegritas dan sangat dihormati di ANU dengan jadwal padat dan sangat sulit dijumpai. Akhrinya Jerry membuka rahasianya pada saya bahwa Prof. John bersedia bertemu saya bukan karena program homestay dan sebagainya, tapi karena saya dari Aceh. Sungguh berkesan sekali, dan saya harus makin bersyukur terlahir sebagai orang Aceh. Fauzan Febriansyah Peserta Youth Leadership Camp (YLC) 2012
0 Comments
Leave a Reply. |
|