Catatan Perjalanan Youth Adventure!
Yogyakarta-Purwokerto-Tasikmalaya-Nagrek-Garut-Jakarta Halo! Saya ingin membagikan catatan perjalanan saya dan kelompok saya saat Youth Adventure: Ketika berjalan, maka aku ada. Sedikit detil, karena banyak kejadian-kejadian lucu yang terjadi, yang sayang kalau tidak ditulis. Petualangan saya dimulai 30 menit sebelum penutupan pendaftaran peserta YA! YLF 2014 pada tanggal 1 Febuari 2014. Saat itu, saya, Novi, Kholisa, Airlangga dan Aris menjadi ‘keluarga’ yang bertanggung jawab untuk menghabiskan uang sejumlah 75 ribu yang harus dibelanjakan untuk makan malam tujuh orang dalam waktu 10 menit. Awalnya kami pergi ke supermarket dekat lokasi berkumpul untuk membeli tempe, tahu dan sayur. Supermarket memang mahal, dan saya sedikit berpikir: “Hey, it’s too easy!”. Namun pada akhirnya kami mencari beras dan air minum di tempat yang agak jauh dan harus berlari kencang sampai tempat berkumpul untuk mengejar bis agar tidak tertinggal. Malamnya, kami dapat tempat memasak yang cukup gelap, dengan api yang agak susah membara karena dapat kayu basah. Namun, kami tidak menyerah dengan sedikit ‘oportunis’ menggunakan tungku tetangga yang tidak terpakai (yang akhirnya wajan kami diusir paksa, haha). Terima kasih untuk Mustika karena mengajari saya untuk meniup api agar tidak padam. Satu catatan, saya membuat kesalahan bodoh dengan memasukkan tahu asin ke air garam yang menjadikan tumis sayur tahu kami luar biasa asinnya. Namun, malam itu, kami bisa makan dengan bahagia dan dengan kecepatan yang luar biasa cepatnya karena dalam 15 menit harus segera berkumpul dengan peserta yang lain. Pada hari Minggu, kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang berjumlah tiga orang. Saya bersama Yessi dan Rezki memiliki misi untuk ziarah pengemis ke Purwokerto dan ziarah penderma di Garut, lalu ke Jakarta dalam waktu 48 jam dengan uang 300 ribu rupiah. Baiklah, kesan pertama saya, Yessi yang berasal dari Lampung tampak menakutkan dengan perencanaan perjalanan yang strict, logis, dan tingkat koleris tinggi. Di sisi lain, Rezki yang berasal dari Sulawesi Tenggara tampak tidak bisa diandalkan dengan plegmatis tinggi sehingga tidak banyak mencampuri diskusi saya dan Yessi (maaf ya Rez, hahaha). Hmm, pikir saya dalam hati, mampu kah saya melakukan perjalanan yang menyenangkan dengan mereka berdua? Kita lihat jawabannya nanti. Catatan lucu pada saat di bis menuju Purwokerto, saya mencoba mengajak bicara bapak-bapak yang duduk di sebelah saya dengan menggunakan bahasa jawa krama alus. Namun karena bahasa jawa saya masih belum benar dan patah-patah, saya malah ditertawakan. Sebagai orang asli Jawa, saya merasa malu. Obrolan akhirnya dilanjutkan dengan bahasa Indonesia. Sesampainya di terminal Purwokerto, kami harus menunggu host kami, Pak Okto yang sedang perjalanan dari Semarang ke Purwokerto hingga pukul 2 pagi. Ada sebuah kejadian bodoh yang saya lakukan di Mushola tempat kami menunggu. Awalnya, saya mau sholat dan wudhu seperti biasa dengan meletakkan kaca mata di atas tempat wudhu. Ketika saya ingin mengambil kacamata, ternyata benda yang selalu melekat di kepala saya tersebut tidak ada! Dan ternyata masuk ke tadah air di atas tempat wudhu. Sebagai manusia yang memiliki minus 6.5 di kedua mata, kontan saja saya panik. Saya memanjat keran air untuk mengambil kacamata saya, dan dengan sukses mematahkan keran air tersebut. Untung Mas Slamet, penjaga mushola yang baik hati mau memperbaikinya, sehingga kami tidak perlu mengganti rugi. Setelah kami dijemput, kami langsung diajak makan malam gudeg dengan nikmatnya. Pak Okto merupakan sosok ayah yang sangat baik. Beliau banyak memberikan motivasi dan nasehat sepanjang obrolan malam. Besok paginya, di rumah Pak Okto, kami bangun sepagi mungkin untuk bersama sama membersihkan rumah beliau. Dan pagi itu juga, kami bertemu dengan Pak Yogo, partner kerja Pak Okto yang juga tinggal serumah dengan beliau. Sepanjang sarapan, kami bercerita banyak tentang berita terkini, serta pengalaman-pengalaman dari Pak Yogo dan Pak Okto. Satu perkataan Pak Okto yang membuat saya terharu adalah, “Saya adalah orang yang hidup dengan bebas. Tidak pernah merasa berhutang budi kepada orang lain dan tidak mau orang lain merasa hutang budi pada saya.” Mengingat kebaikan beliau pada kami yang belum pernah dikenalnya, saya langsung menitikkan air mata. Sebelum pulang, kami diberi amplop yang berisi uang sebesar 500 ribu rupiah. Semakin kaget dan terharulah saya terhadap kedua bapak ini. Pak Okto dan Pak Yogo merupakan pejabat di RRI Purwokerto. Sebelumnya, mereka pernah bekerja di RRI Semarang, yang merupakan kolega dari ibu saya, karena itu kami dapat diterima dengan tangan terbuka oleh mereka. Sebelum di lepas ke kota, kami diajak untuk mampir di RRI dan berkenalan dengan mahasiswa yang sedang magang disana. It such a nice pleasure to make friends with locals! Sebelum pamit, kami sempat rekaman radio untuk memotivasi anak muda supaya tidak golput dalam pemilu kali ini, sambil kami sisipi kata-kata Gerakan Mari Berbagi serta Youth Adventure and Yout Leader Forum yang sedang kami ikuti. Selain itu, kami juga ‘mengemis’ kalender untuk dibagikan di kota penderma. Setelah dari RRI, kami berjalan-jalan untuk mencari pisang. Yessi dan Rezki bukan orang dari Jawa, sehingga kami sempat menjadi turis yang berfoto didepan bangunan khas jawa. Saat melintasi pos polisi, kami menitipkan backpack kami yang berat untuk pergi sebentar ke pasar terdekat untuk mencari pisang. Dan syukurlah bapak polisi mengijinkannya. Di pasar, kami mendapatkan pisang merah seharga 2000 untuk 4 pisang. Selain itu, ada ibu-ibu baik hati yang memberikan 3 butir jeruk pada kami secara gratis. Sebagai imbalan, saya menggambar kedua ibu-ibu tersebut, dan mereka terlihat bahagia. Setelah itu, kami terburu buru lari ke pos polisi karena langit tampak mau hujan (yang akhirnya ternyata berubah menjadi cerah sekali setelah kami tiba di pos polisi). Disana, kami menceritakan pada polisi tentang program GMB yang sedang kami ikuti. Kemudian, tak disangka, polisi yang baik hati itu mentraktir kami mie ayam! Nikmat sekali makan mie ayam di dalam pos polisi. Padahal diluar ada anak SMA yang sepertinya kena tilang. Setelah itu, kami pergi ke terminal untuk naik bis menuju garut. Sayangnya, tidak ada bis langsung, jadi kami harus ke Tasikmalaya, baru dilanjutkan ke garut. Kami sampai di Tasikmalaya pukul 9 malam, dan diarahkan untuk naik mobil kecil menuju garut. Melihat pos polisi di dekat kami turun, Yessi mengajak kami untuk bertanya pada polisi terlebih dahulu. Disana, kami diberitahu kalau mobil kecil ke garut sudah tidak ada pada jam segini, sehingga harus naik bis menuju Nagrek selama 2 jam, di lanjutkan naik bis menuju Garut selama 1 jam. Polisi tersebut menawari kami untuk menginap disana dan melanjutkan perjalanan besok pagi. Dengan halus, kami menolaknya karena dikejar waktu, dan memilih menginap di pos polisi Garut saja. Kemudian tak disangka, kami ditraktir nasi goreng. Ditraktir dua kali di pos polisi, dobel nikmatnya. Pada saat kami meninggalkan pos polisi, kami sama-sama setuju kalau kami harus mengapresiasi keindahan Tuhan yang ada: polisinya ganteng! Kami tiba di Garut pukul 1 dini hari, dan memutuskan untuk menginap di ruang tunggu terminal yang terlihat bersih dan aman. Paginya, kami menukar susu sachet yang dibawa Yessi dengan gorengan untuk sarapan. Setelah itu, kami berkeliling terminal untuk mencari orang-orang yang akan kami ‘bantu’. Namun sayangnya, setelah berkeliling cukup lama, kami tidak menemukan apa-apa. Orang yang ingin kami bantu malah menolak dengan sedikit ‘parno’, sedih sekali rasanya. Akhirnya, kami mendermakan kalender pada pedagang asongan di depan terminal. Setelah itu, kami berniat untuk langsung ke Jakarta jam 9 agar tidak terlambat sampai disana. Pengalaman menarik terjadi pada saat kami sedang menunggu tim dokumentasi sebelum naik bis ke Jakarta. Kami bertemu dengan seseorang yang bernama Ipang Septiawan yang meminta kami untuk membagi makanan. Well, kesempatan menderma, kenapa tidak? Lagi pula uang kami dari Pak Okto masih banyak. Kami mentraktir Ipang makan tahu kupat, dan ia makan dengan lahap sambil menangis akan kebaikan kami. Pada saat itu, Rezki berkata padanya, “Jangan nangis, nanti asin!”. Kata-kata yang membuat kami tidak bisa menahan tawa, bahkan sampai selesai acara. Yessi dan Rezki curiga bahwa kita masuk ke program ‘Tolong’ seperti di televisi, sedangkan saya sama sekali tidak curiga. Tim dokumentasi berkata bahwa ban mobil mereka pecah dan tidak jadi datang ke kami. Well, sayang sekali. Kami pun memutuskan untuk pergi ke rumah Ipang. Sepanjang perjalanan, ia bercerita bahwa ia adalah seorang pemulung, begitu pula dengan kedua orang tuanya. Ia putus sekolah saat SMP karena tidak ada biaya, dan sekarang adiknya ada di puskesmas. Ia ingin menjadi seorang penulis, dan selama ini ia banyak menulis di sak semen dengan kapur. Sampai disini, Yessi dan Rezki semakin curiga, ditambah ‘rumah’ yang di maksud Ipang adalah tempat pemecah batu, dan semakin lama kata-katanya tidak sinkron dengan kata-kata sebelumnya. Sebelum berpisah, saya memberikan sketchbookA5 kesayangan saya pada Ipang, agar ia tidak patah semangat menulis. Selain itu, kami menuliskan kata-kata motivasi, serta alamat dan nomor telepon masing-masing agar dapat dihubungi Ipang jika ingin mengirim tulisannya. Catatan kecil, Rezki sempat membantu mendorong gerobak bapak-bapak ketika kami ngobrol di jalan yang menanjak. Setelah kami berpisah, kami langsung naik bis menuju Jakarta pukul 10 pagi. Di dalam bis, Yessi dan Rezki mengungkapkan kecurigaan mereka bahwa Ipang adalah tokoh fiktif yang sengaja dikirim volunteer GMB untuk menguji kita. Dengan polosnya, saya sama sekali tidak sadar. Pada saat akhir acara, Munadillah mengaku bahwa Ipang memang salah satu volunteer GMB. Di tambah lagi, kak Agus mengaku bahwa Ipang adalah anak teater yang sengaja ia bawa dari Garut ke Jakarta. Namun yang perlu di garis bawahi, ternyata kisah hidupnya memang nyata. Ternyata saya tidak polos-polos amat :D. Di akhir petualangan ‘Youth Adventure’ kami, Yessi menemukan kata-kata menarik bahwa “memberi lebih susah daripada meminta”. Mungkin karena kita berniat memberi di daerah Terminal yang notabene salah satu pusat ekonomi, dengan orang-orang yang memiliki tingkat kewaspadaan tinggi, mungkin memang susah. Di sisi lain, saya berkata dalam hati, mungkin Ipang merasa kami telah menolongnya, namun sebenarnya, kami lah yang ditolong olehnya, karena ia telah memberi kami pengalaman untuk berbagi. Terima kasih Ipang! Selain itu, pada saat kami ditolong oleh polisi, Rezki belajar bahwa polisi tidak seseram yang ia duga seperti di Sulawesi. Ada polisi yang baik dan... ganteng! Hahaha. Saya sendiri belajar untuk lebih berani menghadapi orang asing. Impian saya adalah menjadi seorang backpacker, dalam artian berpetualang keliling dunia dan membaur dengan masyarakat setempat. Dari kecil, saya membaca dan mengkoleksi buku tentang backpacker, namun semakin dewasa, karena mungkin trauma yang saya miliki, saya semakin takut untuk berjalan. Pengalaman ‘Youth Adventure’ ini saya anggap sebagai titik balik hal tersebut. “Now I’m ready to hit another road!”. Mengenai pertanyaan di awal, apakah saya mampu melakukan perjalanan yang menyenangkan dengan Yessi dan Rezki? Jawabannya adalah, YA! Sepanjang perjalanan, sifat-sifat kami yang berlawanan saling melengkapi satu sama lain. Both of them are the greatest adventure partner ever! Terima kasih. Monitta Putri Lisa Mary Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 Participant of GMB Homestay Program 2016
0 Comments
Leave a Reply. |
|