"Dek, mbak mau jualan..."
Tiba-tiba mbak Tari berujar. Kuperhatikan tatap matanya yang sendu, dapat kurasakan kepalan tangannnya gemetar dingin di atas pahaku. Berbekal pengalaman berjualan sejak kelas 3 SD, aku bermaksud menawarkan diri. Namun kemudian ditolak oleh mbak Tari. Bang Soni yang duduk di kursi belakang hanya menyaksikan perdebatan kami. "Jangan, wajahmu nggak cocok buat jadi pedagang," Loh. Berjualan itu aktifitasku sejak kecil. Bagaimana bisa aku tidak cocok berdagang? Bagaimana bisa kelihaian kita berdagang dinilai dari wajah? Lalu wajah yang cocok jadi pedagang itu yang seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan baru muncul di kepalaku. Meskipun sebenarnya, ada satu pertanyaan besar yang masih sendirian kupertanyakan dalam hati sejak tadi. Mengapa aku harus berkelompok dengan mereka? *** Perjalanan dengan rute Jogja-Purworejo-Brebes-Jakarta pasti tidak akan mudah. Tidak ada perjalanan yang mudah, tah? Dan perjalanan ini makin terasa berat bila aku mengingat harus melaluinya dengan teman-teman sekelompok yang sama sekali belum kukenal dan kutahu sifatnya. Satu-satunya yang kutahu adalah kami berbeda. Perbedaan yang terpaksa disatukan. Setengah hari berlalu, perasaan takut itu masih ada dan terpupuk makin besar. Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 ini adalah acara yang luar biasa. Luar biasa nekadnya. Acara backpacking yang biasa kulakukan bersama teman-teman ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan Youth Adventure ini. Entah apa yang ada di dalam otak panitia, terlebih Bang Az selaku penggagas acara. Kami dilepas begitu saja di sebuah jalan di Jogja, berbekal uang seratus ribu rupiah, juga telur itik yang tidak boleh pecah sampai tiba di Jakarta. Gila. Bus yang kami tumpangi dengan ongkos setengah harga (setelah dirayu berkali-kali), berhenti di sebuah jalan menuju Pantura. Kami bersedia diturunkan di mana saja yang penting kota Purworejo. Alhasil, kami turun di sebuah desa berma Candi Sari. Sudah pasti tidak ada indomaret, tidak ada mall. Namun yang paling pertama kucari adalah rumah sakit atau klinik terdekat. Terbayang bagaimana menyedihkannya bila penyakitku kambuh dan malah menyusahkan kedua teman sekelompok. Perasaan takut yang muncul di dalam otakku makin banyak. Perjalanan diberi waktu tiga hari dua malam. Di hari pertama, kami harus berziarah diri menjadi pengemis. Dan meminta ternyata bukanlah sebuah hal yang mudah. Meminta kepada manusia seringnya berujung kecewa, karena apa yang kita dapatkan tidak seperti apa yang kita harapkan. Loh, bukannya sudah bagus dikasih? Bapak Kyai yang menjadi legenda di desa tersebut ternyata tidak memberikan kami tumpangan di rumahnya, boro-boro disuguhi makan enak. Maka, kami berinisiatif meminta ijin untuk tidur di mesjid yang meski bangunannya masih setengah jadi. Kutatap wajah Bang Soni dengan serius, berusaha menangkap air mukanya atas keputusan yang kami ambil. "Nggak apa-apa, Bang, kalau kita tidur di mesjid?" Bang Soni menatapku balik dengan heran, "Loh, ya nggak apa-apa," Jawaban itu membuat aku dan Mbak Tari tersenyum. Kurasa aku sudah mulai paham dengan rencana panitia dan atas pertanyaanku sendiri. Malam itu akhirnya kami bermalam di mesjid. Tidur di atas tikar seadanya, karena bagian mesjid yang dilapisi karpet dan memiliki kipas angin sudah dikunci ruangannya. Malam itu akhirnya aku tertidur paling akhir, masih memikirkan rasa sungkan karena memaksa Bang Soni ikut bermalam disebuah tempat ibadah yang tidak diyakininya. *** "Bang, jangan jauh-jauh..." Kuajak Bang Soni merapat ke sisi carrier-ku. Sebelumnya, ia mengambil posisi yang jauh dari tempat solat. Tepat di pinggir pintu masuk seperti penerima tamu. Mbak Tari yang sedang sibuk merapikan barang-barang sepertinya masih setengah sadar. Di wajahnya tidak ada ekspresi. Tidurnya semalam mungkin membuat dirinya sedikit menderita. Muncul rasa bersalah di hatiku telah membuat gagasan menginap di mesjid ini. Rasa bersalah terhadap kedua teman kelompokku. Angin subuh semilir yang membangunkan kami sebelum adzan berkumandang. Malu sekali bila kami harus dibangunkan para jemaah yang sudah rapi dan wangi menuju mesjid. Aku turut bersiap bersembahyang. Duduk di shaf perempuan paling pertama, menyambut para jemaah muslimah yang datang untuk menunaikan ibadah solat subuh. Waktu terasa berjalan dengan sangat lamban. Sudah pukul setengah lima pagi, namun langit masih gelap. Suasana masih sepi. Tidak ada ingar-bingar mesin bermotor, terlebih suara perlombaan suara klaksonnya. Hanya ada suara hening yang damai. Yang membuat suara adzan menggema syahdu di udara. Untuk pertama kalinya, aku melaksanakan solat subuh di mesjid secara berjamaah. Individualisme keluargaku yang sangat kekotaan membuat kami tidak pernah solat berjamaah, bahkan aku hampir tidak pernah bisa bertemu ayah-ibu di pagi hari. Imam yang merupakan Pak Kyai melantunkan surah dengan lantang dan merdu. Lantunan panjang-pendeknya meliuk turun-naik membuat ayat-ayat suci itu terdengar seperti lagu. Suasana syahdu. Entah bagaimana, suasana itu membuatku menitikkan air mata. Makna ketuhanan itu berangkali yang membuatku menjadi kerdil seketika. Suara lantunan ayat suci itu tidak hanya masuk ke telinga, tapi juga menyusup setiap nadi dan memantul di hati yang kosong. Religiusitas yang tidak bisa di dapatkan di Jakarta. Tentu saja, aku menahan isak agar tidak membatalkan rukun solat dan mengganggu jemaah di sekitar. Suasana sunyi yang tercipta membuatku berusaha keras menahan tangis agar tidak terisak sedikit pun. Air mata bening itu mengalir begitu saja di pipiku, tanpa suara. Tidak perlu ditanya lagi, saat pagi di mesjid itu tidak ada anak mudanya. Hanya ada para sepuh yang melaksanakan solat di mesjid. Secara refleks aku segera menyalimi semua tangan para jemaah wanita dewasa di dua shaf. Kemudian ada wajah baru yang tidak kutangkap kemarin malam pada waktu solat isya. Wanita itu kemudian menahan genggaman tanganku dan bertanya, "Kamu mau kemana dan dari mana?" tanya si ibu dengan logat khas jawa sambil menengok barang bawaanku dan teman-teman di teras mesjid. Ide brilian itu muncul seketika, ide untuk meminta makan dan minum seadanya. "Kami mau ke Jakarta, Bu. Tapi bekal kami habis, bolehkah kami minta?" Tanpa basa-basi, aku bertanya pada poinnya. Bermula dengan menunjukkan name tag sebagai satu-satunya identitas pengenal untuk perjalanan ini, kami lalu berusaha menjelaskan tentang Youth Adventure yang kami lakukan. Meskipun, jujur sja, itu selalu menjadi bagian tersulit untuk dilakukan. Perjalanan ini memang di luar akal sehat. Beberapa kali kutangkap ibu itu memandangi Bang Soni. Benar saja, setelah kami jelaskan bahwa kami berbeda agama dengan Bang Soni, si ibu tak henti-hentinya menceramahi kami ini dan itu di perjalanan menuju rumahnya sambil membisiki telingaku dan mbak Tari secara bergantian. "Astaghfirullah hal'adzim....acara apaan itu?! Melepas gadis-gadis bersama yang bukan mahramnya,"ini....dan itu.....zionis....Yahudi....Israel....doktrin.......bla...bla...bla... . Makin lama makin jauh topik pembicaraan si ibu. Buru-buru, mbak Tari mengambil alih pembicaraan itu, mengambil tindakan hanya mendengarkan saja karena menurutnya orang tua di Jawa tidak boleh dibantah apalagi disela saat berbicara. Sedangkan aku berusaha mengambil alih perhatian Bang Soni, lalu mengajaknya mengobrol beberapa langkah di belakang agar suara si ibu tidak terdengar olehnya. Lagi-lagi, muncul perasaan bersalah di dalam benakku terhadap Bang Soni, mengenai sikap dan perilaku ibu itu. Terlebih saat kami sudah tiba di rumahnya, si ibu menujuk sesuatu di jendela rumahnya yang dipenuhi sticker. Dengan tersenyum mantap seolah hal itu menjadi penyelamat hidupnya selama ini. "Ini, lambang kesejahteraan," Kami hanya mengangguk, lagi-lagi sambil takut- takut memperhatikan wajah Bang Soni yang datar. "Ayo silakan diminum....." Si ibu mengeluarkan aqua gelas dari kardusnya untuk kami. Air kemasan gelas dengan label sebuah partai sama seperti yang ditunjukkan di jendela tadi. Mbak Tari membuang nafas berat, lalu berkata pada Bang Soni. "Mohon maaf ya, Bang." Luar biasanya, Bang Soni hanya menjawab dengan santai seperti biasa, "Santai saja. Aku orangnya santai," Entah karena sudah terbiasa diperlakukan sebagai minoritas di negara berpenduduk muslim terbanyak atau karena terpaksa sedang dalam perjalanan bersama kami Bang Soni bersikap sesantai dan sebiasa itu. Sambil terus menahan rasa sungkan terhadap Bang Soni, kami menyantap seluruh hidangan yang diberikan si ibu. Luar biasa, mulai dari kue, wafer, cokelat, teh manis hangat, bahkan nasi beserta mie. Suami dari bapak itu tersenyum-senyum menyaksikan kami makan seperti orang kelaparan. Memang kelaparan, sih.. Lalu kami diberikan uang saku ketika hendak pamit. "Kalian bertiga hati-hati di jalan. Kapan-kapan mampir lagi kesini," Kebaikan si ibu dan suaminya membuat hatiku luluh. Rasa bersalah dan menyesal meminta bantuan si ibu tadi jadi lenyap seketika. Si ibu terlihat tulus dan memberikan perhatian yang sama pada Bang Soni, seolah mulai paham bahwa Bang Soni adalah kristen yang baik dan orang batak berhati lembut. Di sisi lain, Bang Soni masih berwajah biasa saja. Entah apa yang ada di pikiran dan perasaannya saat itu. Yang jelas, harapanku adalah, semoga ia tahu, agama kami adalah agama yang baik dan toleransi, terlepas dari terorisme dan huru-hara fanatisme yang menyebalkan itu. Di akhir perjalanan, aku mulai paham maksud dan tujuan dari perjalanan ini. Maksud dan Tujuan dari disekelompokkannya aku, mbak tari, dan Bang Soni. Perbedaan itu indah, indah jika kita bisa menerimanya. Perjalanan ini adalah perjalanan ziarah pengemis dan penderma. Namun bagiku sekaligus menjadi perjalanan religius. Bonus yang menyenangkan. "Isn't it enough to see that a garden is beautiful without having to believe that there are fairies at the bottom of it too?" - Douglas Adam, The Hitchhiker's Guide to the Galaxy Fatin Dinni Inayah Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2014 Participant of GMB Homestay Program 2014
0 Comments
Leave a Reply. |
|