Seri Trekking Gunung Rinjani
'Tentu rasa syukur ini tidak akan habis terucap oleh keterbatasan kata dan bahasa yang kumiliki ' batinku berbisik saat aku berdiri memegang papan bertuliskan 'Puncak Rinjani 3726 dpml ' di titik tertinggi di puncak gunung itu. Kembali tergiang konflik di diriku ketika seorang teman, Todi, mengajak naik gunung. Ketika itu aku ragu. Aku mengkritisi ajakan itu. ''Ngapain capek2x, itu kan hobinya anak2x muda seusia ponakan atau adik adiku lah. Ga pantas dan ngabisin enerji en buang2x waktu saja. Ngapain menyiksa diri sih? nga da kerjaan apa. So why wonder and go with this unknown group?' Is it worth to go?” Seribu satu tanya datang silih berganti menanggapi ajakan itu. Aku memang termasuk orang yg ga mudah diyakini bahkan terhadap pemikiranku sendiri. Setahun sudah tertunda dan akhirnya tekad itu kubulatkan dengan modal ' do it and you will gain a lot of things en this is a new experience that will enrich your life. No pain no gain! Do it, do it en do it now! Kutinggalkan hiruk pikul Jakarta di akhir Agustus itu. Pekerjaan dan clients yang memaksaku untuk tidak bisa pergi karena semua menuntut dibereskan segera permintaan mereka, kutinggalkan. "Ah sudahlah, tidak kan habis permintaan dan pekerjaan itu dan ingat 'live the life you always want to live"begitu nasehat Paulo Coelho. Mantra itu menyempurnakan tekad pendakian pertama dalam hidupku. Aku tidak tahu apa yg harus kubawa. Kumasukan semua items seperti yang diperintahkan ketua tim di email dalam rangsel baru yang belum pernah tersentuh itu. Ternyata memang, semua bisikan tanya itu teruji dalam setiap tahap pendakian itu. Berbagi tidur dengan kawan setim yang 'bernyanyi' alis mendengkur dering tak henti hingga pagi. Aku super sensitif terhadap sedikit saja suara akan membangunkanku. Asap rokok adalah musuh utamaku dan itu menjadi santapan rutin sebagian besar anggota tim. ' Shiit!! Why I have to be with these smokers' egoku brontak tapi kutahan untuk harmoni kelompok. Melawan ego diri yang melebihi perjuangan melawan dinginnya udara malam Gunung Rinjani itu tidaklah mudah. Tetap tersenyum ramah walau hati marah parah. Bagiku Rokok adalah saran gaul yang benar2x tidak bisa aku terima dan hanya mematikan diri perokok dan orang disekitarnya. Membunuh diri dan orang lain secara halus. Tidak mudah bagiku berada disamping perokok. Pernah aku 'mengusir' tim wartawan Spanyol di kantorku karena merokok sambil menunggu aku selesai rapat untuk diwawancarai. Jelas ada tulisan “Dilarang Merokok di Kawasan ini!” Naeklah pitamku karena aku merasa mereka tidak aturan yang berlaku yang mati-matian ku perjuangkan selama ini, wartawan pula yang notabene-nya pasti lebih paham dan telah melihat banyak dunia lain. Sekedar informasi saja, di kantorku berlaku aturan dilarang merokok dan membuang plastik apapun dan sampah-sampah lain yang dapat merusak lingkungan di dalam kawasan kantor. Yang melanggar dikenakan denda Rp 5000 dan yang melihat tidak melaporkan ke bagian personalia, dikenakan denda Rp 10,000. Denda itu dipotong otomatis dari gaji mereka secara sepihak oleh bagian personalia tanpa perlu kompromi. Mereka tinggal mencatat tanggal dan tempat kejadian tersebut. Uang tersebut diperuntukan untuk kegiatan sosial. Hasilnya sangat efektif dalam budaya macho dan perokok yang 90%, setelah 3 bulan, yang protes berterima kasih karena telah memaksa dan membantu mereka keluar dari kebiasaan merokok. Entah bagaimana awalnya, setiap perokok mempunyai definisi miris dalam persepsiku. Bau rokok bisa membunuh hari-hariku dan semangatku. Begitulah perlawananku yg tdk kompromi terhadap asap rokok. Tidak mudah tapi aku coba mengerti kelompok ini yg baru kukenal seumur jagung. Kucoba pahami, rokok bagi mereka barangkali untuk mengusir dinginnya udara puncak gunung. Maafkan kawan, aku mencoba mengerti tapi hatiku tidak bisa bo’ong kalau aku memang tidak suka dengan fenomena merokok dan asapnya yang dihirupkan oleh orang disekitar perokok. ‘I just cann’t buy it at all’ Anyway, Niatku makin teruji ketika aku berada hanya sekitar beberapa ratus meter mencapai puncak. Tidak ada lagi kawan satu group, aku benar2x merasa beku dan kecut dalam kesendirian yang menakutkan. Kukumpulkam tenaga tersisa mengejar kawan yang sudah lebih dahulu ke atas, tapi itu hanya bertahan beberapa langkah lalu tersungkur kembali diantara batu2x cadas gunung itu. Kuperhatikan ke bawah satu per satu pendaki diantara remanng cahaya fajar di pagi itu, tak jua kutemukan temanku yang satu group. Dalam kegamangan dan rasa letih aku bergumam 'Az, this is life, a real life. Pada akhirnya, kau sendirilah yang harus menanggung semua resiko dari keputusan yang kau buat. Dont blame others! Mereka juga pasti sedang berusaha berjuang untuk dirinya sendiri. Niatmulah yang diuji dan yang menentukan reaksimu terhadap pendakian ini. Tidak ada yang memaksamu ikut. Kau ikut untuk mengenal dirimu sendiri lebih baik melalui pendekatan ini. So, move on! fokuslah pada kekuatan dan niatmu dan bukan mennyalahkan orang lain. lakonilah dengam senang hati dan jangan mengeluh. ' Kupenuhi pikiran dengan kata kata bijak itu utk sebagai penumbuh semangat. Dalam risau dan galau letihku yang dalam, kudapati diriku sendiri terduduk di pinggir jalan daki berbatu cadas nan berdebu, fisikku terlalu lemah utk terus berjalan dengan bermodal nasihat2x itu. Dalam ketidakberdayaan itu pikiranku melayang ' aduh bagaimana si Botot, yg sakit perut dan tertinggal atau ditinggalkan ditengah2x pendakian!' Rasa bersalah menyelimuti diriku. Ingin aku terbang terjun kembali ke bawah tuk memastikan teman seperjalanan ini tidak apa2x. Aku merasa mengambil tindakan yg salah karena meneruskan perjalanan padahal ada teman yg pasti membutuhkan bantuanku. Kubayangkan kalau itu diriku sendiri. maafkan aku. Ini benar2x pengalaman pertamaku. Aku binggung harus bagaimana. Kau pasti sedang berjuang dalam gulitanya malam dan sakit perutmu itu. Tanpa kusadari ada air yang menetes dipipiku, aku pikir embun pagi telah menyapaku dengan kelembutannya, ternyata air itu dari mata hatiku yang mencoba mengerti keadaanku saat itu. Kerinduan akan rumah dan 3 anak dirumah yang masih mbutuhkanku. ibundaku yg masti menanyakan kemana anaknya sudah beberapa hari tidak ada kabar. aku tidak mau berakhir disini. Berjuang melawan keletihan diri, terbayangkan kawan2x yang lain yg sedang tdk mudah menaklukan perjalanan ini. kesendirian ditengah2x pendakian , kemana aku harus berpegang jika tiba2x aku tersungkur jatuh dan pingsan. Oh no! This cannot be happen!Ini bukan cerita yang ingin kubagikan dan kuceritakan. Aku datang dan harus menang menaklukan semua ini. Aku ingat ' kalau kamu percaya, kamu pasti bisa.’ Kembali ke niatmu! Kau kesini untuk mengenal dirimu se diri sedekat-dekatnya dan jangan sia2xkan kesempatan ini. Iya aku harus bangkit! Kuraih tongkat pendakian yang menjadi temen setiaku dan menerima beban tubuhku tanpa mengeluh. Kucoba percaya 'Botot pasti aman di tangan si Locker, porter yang pengalaman. Eva dalam awasan Bang Ion yang sabar. mereka pasti akan baik2x saja' aku membatin menenangkan diri. Ku kumpulkan semangat menyusul si freddy yang tertatih letih yang sudah menghilang dalam awan debu dan kabut pagi di depan mataku. Kuangkat kaki yang mulai membeku dingin dan beratnya udara dingin. Kedingan yang belum pernah kurasakan diantara 40an negara yang telah kusapa dalam hidup ini. 'Tak…, tik…, tuk…' tongkat besiku mulai berbunyi lagi. Aku jadikan bunyi tongkat itu sebagai nyanyian fajar yang menemaniku menuju Puncak Rinjani. Coba ku tersenyum dan bersyukur setiap langkah tergerak. Memang rasa syukur ini terbukti majur menguatkanku. Kucoba ingat nasihat kawan2x yang sudah sering naik gunung: 'Tidak usah lihat ke puncak, lihat ke depan langkahmu, jangan lihat ke curang dikiri kananmu karena hanya akan melemahkanmu. Teruslah melangkah, tidak perlu tergesa2x, nikmati setiap langkahmu itu dan maknailah momen ini untuk memahami kehidupan. Tarik napas secara teratur melalui hidung dan buanglah lewat mulut, itu pasti akan membantu staminamu. Bayangkan indahnya ketika mencapai puncak itu dan rasa bahagiamu. It would be a priceless experience of life. bla bla bla...' Kucoba ingat segala petuah dari pendaki sebelumnya dan akhirnya sampailah aku di kawasan titik 3726 mdpl pada pukul 8.15 pagi hari selasa 30 Agustus 2013. ‘Alhamdulilah, Puji Tuhan, helaluyah…’ apapunlah itu ungkapannya. Tak ada pilihan kata yang pantas untuk mewakili perasaanku berhasil mencapai titik ini. Aku berdiam diri disudut kira-kira 100 meter dari titik yang dituju semua orang. Ingin kunikmati dan kusyukuri momen-momen seperti itu. Kucoba cerna hambatan fisik dan mental selama perjalanan beberapa hari ini. Kurasakan aura kebahagian, kebanggaan, sekaligus keletihan yang tak mampu disembunyikan oleh para pendaki itu. Aku bahagia menemukan diriku sendiri diantara para pendaki itu, walaupun nafas hanya cukup tersisa untuk memastikan aku tidak pingsan. Jaring tangan kananku mencubit kulit tangan kiriku, hanya sekedar memastikan aku bukan sedang bermimpi. Aku benar-benar telah sampai di puncak ini. Aku sudah melewati masa-masa kritis di pendakian ini. ya aku merasakan sakit ketika dicubit oleh tangan kanan ku sendiri dan aku menarik nafas panjaaaaang dan kutahan dalam hitungan sepuluh untuk memastikan aku bukan sedang menghirup udara biasa, tapi udara di Puncak Gunung Rinjani. Kami meninggalkan tenda dini hari pukul 1.30 dalam kedinginan yang mengeringkan kulit dan mata. Terima kasih Gunung Rinjani, kau ajarkan aku arti kekuatan sebuah niat. Karena niatlah yang bekerja dalam alam bawah sadarku tanpa henti dari apa yang sedang dan akan ku lakukan. Aku belajar bahwa pada akhirnya akulah yang harus dengan ikhlas dan berani menempuh perjalanan ini, ya perjalanan hidup ku sendiri. Jika aku kuat dan menemukan kedamaian dalam diriku sendiri, pasti itu akan terpancar dari sikap dan tingkahku baik terhadap diriku sendiri maupun lingkunganku. Kau ajari aku arti pentingnya kebersamaan dalam menempuh perjalanan yang terjal. Kebersamaan sering membuat banyak rintangan menjadi lebih mudah. Terima kasih eva, todi, eki, freddy dan botot. Kalian telah mewarnai satu lagi ruang dalam hidupku dan itu tidak mungkin terhapus karena sudah kuletakkan dalam bingkai persahabatan pendakian yang indah. Pendakian ini adalah refleksi kehidupan nyata dan memberikan aku kesempatan untuk belajar hidup menjadi lebih bermakna. Nyanyianmu Eki akan terus mengingatkanku akan perjalanan ini 'Sembaluuuuun… Tak ada lagi kesempatanku tuk bisa bersamamu...' Bang Az Puncak Gunung Rinjani, 20130903.
0 Comments
Leave a Reply. |
|