Kota Surabaya benar-benar panas. Aku beberapa kali menegak air minum botol mineral yang dibeli oleh kakak sepupu Arnald. Namanya kak Yuli, dia gadis yang baik dan bersikap ramah kepada kami berdua sebagai tamu di rumahnya. Perjalanan menuju salah satu terminal di Surabaya ini pun menghabiskan waktu setengah jam. Aku merasakan keringat yang mulai meleleh di sekujur tubuhku. Sebenarnya aku tidak terlalu lelah karena hanya duduk manis dibonceng oleh kak Yuli dengan motornya.
Begitu tiba di terminal, lelahku mulai terasa. Belum pulih semuanya energi aku sejak menghabiskan 12 jam menempuh perjalanan dari Bali menuju Surabaya. Aku hanya mengumpulkan sedikit sisa-sisa tenaga. Apalagi persinggahan kami di Surabaya hanya beberapa jam saja tidak sampai menginap. Arnald, semenjak sampai di Surabaya dia sama sekali tidak istirahat karena disibukkan dengan mencari tiket kereta dan bus. Aku bersikeras untuk menginap semalam, namun ia ingin cepat-cepat kembali ke Jakarta karena kuliahnya yang sudah lama ia tinggalkan. Ditambah lagi dengan persiapannya untuk berangkat ke Cina, masih banyak berkas yang harus ia selesaikan dan itu semakin membuat dia tidak tenang. Aku dan kak Yuli beberapa kali berkeliling mencari-cari Arnald di terminal. Ia berangkat menggunakan motor teman kak Yuli. Akhirnya kami putuskan untuk menunggunya di Waiting Room saja. 15 menit kemudian akhirnya Arnald sampai di tempat kami duduk. Bukan hanya berdua dengan teman kak Yuli yang mengantarnya, tapi Arnald malah membawa dua orang Calo di belakangnya. Mungkin kata yang lebih tepat bahwa mereka didikuti Calo itu. Aku tidak heran sebenarnya, karena memang inilah terminal. Sudah sangat terbiasa untuk pendatang seperti kami ataupun pendatang lainnya diikuti oleh Calo untuk ditawarkan membeli tiket padanya. Mereka kerap mengelabui orang dengan harga tiket yang melambung tinggi. Kadang mereka adu jotos bersikeras memaksa orang untuk membeli tiket pada mereka kalau ada yang melawan tidak segan-segan mereka mengancam atau hanya sekedar menakut-nakuti. Sebagai pendatang, kadang tidak berani berbuat apapun maka sering kali terjebak dalam jebakan yang sudah disusun rapi oleh calo-calo tersebut. Aku melihat Calo itu mulai memaksa Arnald untuk membeli tiket padanya. Arnald terus-menerus bilang tidak tapi sepertinya calo itu tidak peduli. Mereka ingin memaksa Arnald karena memang telah mengincarnya dari tadi. "Nggak usah mas, nggak usah repot-repot. Kami sudah punya travel". begitu kalimat terakhir Arnald yang ku dengar. Selanjutnya yang terjadi calo itu membentak-bentak Arnald. "...Mau apa kamu. Tidak menghargai pekerjaan orang kamu hah!!" aku tidak dapat merekam dengan jelas kalimat-kalimat yang dituturkan calo itu. Namun, aku menebak sebentar lagi Arnald bakal kena bogem mentah calo itu. Aku membaca bahasa tubuh calo itu yang mulai tidak sabaran dan mukanya yang merah padam. Aku bangun dari kursi tempatku duduk dan mendekati Arnald. "Kamu duduk sini dulu Nald", kataku sambil menarik tangannya. Lalu aku duduk disamping Arnald sambil memperhatikan tingkah calodi depan kami. Melihat Arnald yang menuruti kata-kataku dan tidak berkutik lagi akhirnya calo itu menawarkan pilihan terakhirnya. "Mau beli tiket sama kami atau travel?" katanya kemudian. "Travel", jawab Arnald singkat. Calo itu menarik temannya dan segera berlalu. "Tidak seharusnya kamu emosi menanggapi para calo tadi. Kalau kamu tidak aku suruh duduk calo itu akan segera menghajarmu. Berjanjilah untuk tidak marah-marah lagi. Aku tidak mau terjadi sesuatu sama kamu di perjalanan ini", kataku padanya setelah calo-caloitu tidak lagi kelihatan. "Kesel gua sama calo-calo disini", aku lihat muka Arnald memerah menahan emosi. "Kamu melupakan sesuatu nald. Kamu tau, kehadiran mereka tadi yang mengusik kita adalah bagian ujian dari perjalanan ini. Kalau saja kamu berkelahi dengan mereka tadi maka perjalanan kita ini cacat. Harusnya kamu tidak melupakan bahwa hal seperti ini juga bagian dari perjalanan kita". Kataku sambil melemparkan pandangan ke arah bus-bus yang akan segera berangkat meninggalkan Surabaya di hari itu. "Aku lupa Gus, makasih ya udah ingatin aku. Sumpah aku lupa kalau ini bagian dari perjalanan". Kalimat yang manis sekali. aku tersenyum ke arahnya dan merasa sangat bersyukur karena dia masih baik-baik saja. Paling tidak, kami belajar sesuatu hari ini. Detik-detik terakhir dalam sebuah perjuangan butuh konesentrasi yang ekstra karena sering kali lupa atau tergoda akan ending dari sebuah perjalanan lalu tidak menyadari kecerobohan yang dilakukan. Padahal kecerobohan itu dapat merusak ending yang harusnya bahagia. Agustina Anggota Cakrawala Club Surabaya, 2 September 2013
0 Comments
Leave a Reply. |
|