Setelah tinggal selama hampir dua minggu di negeri Sakura, kami anggota GMB program homestay hanya melihat kota beribadat (macam jargon kota Kendal) yaitu bersih, indah, barokah, aman, dan tertib. Tokyo sangat modern dan teratur sedangkan Kyoto sangat kental dengan tradisi dan sejarahnya yang terlihat dari berbagai bangunan seperti Shrine dan Temple. Namun kunjungan kami ke Osaka benar-benar lain daripada yang lain.
Emma Tsuji dan temannya A-Chan, volunteer untuk program homestay di Kyoto, mengajak kami melihat sisi lain dari kota nan makmur ini. Sebuah tempat yang bahkan tidak banyak orang mau mengunjunginya. Ando-San, hostfam saya di Tokyo bahkan sangat khawatir dan “memarahi” Mas Dede, kordinator kami, karena mengizinkan kami ke sana. Ando-San bilang ngapain kesitu? Bahaya! Saya sangat menghargai Ando-san yang sangat perhatian pada saya, tapi untuk kekhawatiran yang satu ini tidak menghalangi saya. Sejujurnya saya ingin kesana karena penasaran yang begitu tinggi. Seperti apa tempatnya dan kapan lagi saya punya kesempatan? Kami berkumpul di Kawaramachi Station. Pagi ini Emma langsung memberikan arahan. “Don`t take any picture! Be careful with people! Don`t walk by yourself!” Katanya. Begitu saya dengar perkataanya, saya langsung berpikir, wah pasti seram disana. Saya meminta Devi, salah satu teman Homestay saya untuk memasukkan kamera miliknya ke dalam tas. Karena meskipun kami tidak mengambil foto, kamera yang terlihat akan mengundang reaksi negatif. “Is it a dangerous place?” tanyaku. “Not really, but…. We have to be careful. They don`t like tourists” Jawabnya. Di dalam gerbong kereta, kami diberi beberapa lembar tulisan mengenai penjelasan daerah itu beserta petanya. Saya membacanya, dan dari deskripsi itu saya tahu bahwa daerah itu sangat miskin. Dulu banyak orang kesana karena “dibuang” oleh warga sekitar akibat perbuatan kriminal seperti mencuri atau membunuh. Keputusasaan membuat mereka membentuk komunitas sendiri. Untuk bertahan hidup, mereka biasanya berkumpul di sebuah gedung untuk recruitment menjadi tukang bangunan. Beberapa diantara mereka bekerja sebagai pengumpul kaleng. Uang yang didapatkan hanya 1000 yen sehari (sekitar 100.000), tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada lembaran kertas yang lain, saya membaca sebuah daerah bernama Tobita, sebuah rumah bordil yang sudah sejak lama ada, namun karena peraturan pelarangan prostitusi Jepang, sekarang jumlahnya sangat sedikit. “Will we go to Tobita too?” Tanyaku. “Yeah, but just pass through?” Jawabnya. Kereta melaju selama 40 menit dan berhenti di sebuah stasiun. Kami keluar dan sepertinya stasiun ini tidak sebersih stasiun lain. Ada nuansa agak kumuh, bahkan toiletnya pun bau. Kami berjalan keluar tapi gedung – gedungnya masih biasa saja. Kami berjalan sampai tiba di sebuah penyeberangan. “We will arrive soon at Kamagasaki”, Kata Emma. Kami menyeberangi jalan dan terlihat beberapa rumah tua yang sepertinya jarang direnovasi. Bau air kencing dimana-mana langsung menyeruak di hidung. Saya yang memiliki hidung cukup peka harus bertahan. Kami terus berjalan melewati gang-gang sempit. Terlihat banyak kucing berkeliaran. Emma bilang, para lelaki yang tinggal disini memelihara kucing untuk menghindari kesepian. Kami melanjutkan perjalanan melewati area pasar pertokoan. Banyak terdengar suara tempat karaoke. Harga barang-barang disana juga relatif lebih murah. Kaget sekali melihat DVD porno dijual terang-terangan dengan harga 200-300 yen. Pikiran semakin kacau. Emma mengajak kami menuju sebuah jalan persimpangan namun tiba-tiba berhenti. “We will go to Tobita houses, please go there separately. Only two persons every 30 seconds” Katanya. Kami hanya diperbolehkan berjalan dua-dua. Pasangan yang berjalan pertama kali adalah Emma dan Tari, disusul Soni dan Saya, kemudian Arnald dan A-chan, dan terakhir Devi dan Lizar. Saya dan Soni berjalan dengan santai. Awalnya terlihat beberapa rumah dengan pintu terbuka. Terdapat sebuah kursi di tengah dan kosong. Kami berjalan melewati rumah kedua dan semakin deg-degan. Rumah kedua dan seterusnya yang kami lewati terasa berbeda. Di samping kanan dan kiri terlihat seorang wanita tua bersama seorang yang masih sangat muda. Saya hanya berani menoleh selama satu sampai dua detik. Para perempuan muda yang duduk di depan pintu sangat cantik layaknya artis Jepang maupun Korea. Bahkan mereka memakai pakaian yang sangat seksi. Saya saja yang perempuan deg-degan apalagi para cowok yang melihat. “Gimana Son?” tanyaku. “Wuh.. cantik”, jawab Soni yang tak habis pikir dengan tempat ini. Kami terus berjalan mengikuti Emma dan berhenti di sudut gang. Masih teringat terus sama mbak-mbaknya. Emma menunjukkan kami dua tempat yang bertanah tinggi dan rendah. Di belakang kami adalah bangunan tinggi yang rapi, tempat para orang biasa tinggal. Sedangkan Tobita house berada di tanah yang rendah, tempat yang tidak umum. Tapi dia memberi tahu bahwa sebenarnya yang memiliki bangunan itu bisa saja para pemilik Tobita. Emma mengajak kami ke tempat selanjutnya. Terdapat banyak pria yang duduk di samping jalan dan berkerumun. Sesekali mereka melihat ke arah kami. Emma tiba-tiba belok kanan, kami pun mengikutinya. Dia bilang tidak berani berjalan lurus karena biasanya di tempat itu banyak yang berjudi, mabuk dan berjualan narkoba. Kami menurut saja. Kami berjalan ke arah lain dan berhenti di sebuah kantor polisi. Emma bicara sambil berbisik bahwa di lantai tiga kantor polisi terdapat 31 pemantau CCTV untuk mencegah kerusuhan. Tepat 50 meter dari kantor tersebut ada daerah segitiga dan sebuah pondok untuk tidur. Bangunan segitiga itu tertutup dinding seng. Emma bilang di dalamnya terdapat rumah yang dibangun yayasan Kristen. Hanya sekitar 30 orang yang bisa tinggal disana. Jika memiliki uang, para homeless people tinggal di hotel untuk tidur berhimpit-himpitan. Jika tidak punya uang mereka harus tidur di sembarang tempat. Banyak diantara mereka meninggal pada saat musim dingin. Emma lalu mengajak kami ke sebuah tempat mirip parkiran mobil. Di lantai dua, dia bilang ada beberapa homeless people tidur. Tiga orang dari kami naik ke lantai dua bergantian. Tidak terbayangkan melihat mereka tidur di lantai yang kotor dan lembab. Saya sangat kasihan tapi di satu sisi tidak tahan bahkan hampir muntah karena sangking baunya. Hidup mereka benar-benar tidak layak. Emma bilang banyak dari mereka yang sakit. Awalnya tidak ada yang menghiraukan mereka. Namun ada seorang dokter yang bernama Read Beard mengajukan proposal ke pemerintah beberapa tahun lalu dan dibangunlah sebuah rumah sakit. Disana para homeless people mendapatkan perawatan secara gratis. Saat ini juga semakin banyak NPO dan NGO memberikan personal assistance untuk para homeless ini secara rahasia. Begitulah kehidupan mereka. Ternyata sangat kontras dengan kebanyakan orang. Para homeless people harus berjuang keras untuk makan dan tempat tinggal, sedangkan Tobita house menawarkan hiburan untuk para turis pencari cinta sesaat. Penulis: Heny, GMB 2014
0 Comments
Leave a Reply. |
|