Di hari-hari libur sekolah belasan tahun lalu, biasanya saya dititipkan di rumah opah (kakek). Biasanya juga Ibu kaka (satu-satunya anak opah yang mahir memasak) akan menghidangkan berbagai makanan untuk semua keponakan dan juga Opah. Sayangnya nggak semua dari kita memiliki subjektifitas yang sama terhadap rasa makanan. Kehebohan pernah terjadi ketika Ibu Kaka memasak bebek, makanan favorit Opah yang paling tidak disukai oleh hampir semua cucuknya. Segala drama diadegankan, mulai dari pura-pura tidur, alasan main ke rumah tetangga, sampai pura-pura pusing dan minta makan bubur ayam, semua adegan itu dilakukan demi menghindari si menu bebek di meja makan.
Di akhir hari liburan tersebut salah satu paman kami berpesan “Kalau ini rumah orang lain, gak apa-apa gak suka makanannya, nggak usah dimakan juga nggak apa-apa. Tapi ini kan rumah opah sendiri, yang masak juga tante kalian sendiri, bukan orang lain. Jadi kalau disediain makanan tetap harus dimakan, dicoba untuk suka. Susah loh itu masaknya.” Semenjak hari itu, makanan apapun yang disediakan di rumah opah ataupun di rumah sendiri oleh ibu, akan saya coba makan, suka atau enggak jadi urusan mindset bukan lagi lidah. Sayangnya kali ini persoalan yang saya hadapi bukan bebek tapi daging babi, ditambah lagi kali ini bukan di rumah ataupun rumah opah, tapi di rumah Okasan (Ibu angkat saya selama di Jepang). Daging babi, sesuatu yang sekalipun belum pernah disajikan di rumah. Tadi malam, Okasan (Ibu angkat saya selama di Jepang) kembali menghidangkan daging babi di meja makan, kali ini dibuat menjadi katsu – tonkatsu. Sebelumnya dibuat sup, dan sebelumnya lagi digoreng seperti ayam. Bagi saya, makan daging babi bukan perkara halal atau haram, tapi memang belum pernah ada kesempatan untuk makan aja. Kalau bisa saya jelaskan, rasa masakan yang dibuat Okasan hampir semuanya cocok di lidah bahkan lebih enak dari masakan ibu di rumah. Tapi entah kenapa dengan daging babi, lidah saya menolak. Seperti contohnya pada sup yang disajikan di hari kedua saya di sini, supnya enak tapi daging babinya sulit saya telan. Sebelum keberangkatan, pesan yang selalu diingatkan oleh para alumni program homestay adalah “Kalau memang gak suka makanannya, bilang aja, host fam kita gak akan marah, justru bagus jadi saling mengerti.” Pesan tersebut saya amini, minggu lalu saya mulai jujur kepada Okasan, bahwa saya sulit menelan daging babi, saya bisa makan tapi susah, nggak cocok di lidah saya. Biasanya yang akan dilakukan seorang host family kepada homestayer adalah meniadakan bahan makanan tersebut untuk si homestayer. Begitu menurut cerita yang saya dapat dari para alumni. Tapi Okasan justru sebaliknya, yang dilakukan beliau bukannya meniadakan daging babi tapi menyajikannya hampir setiap hari dengan model sajian yang berbeda-beda. Daging babi yang beliau sajikan tadi malam entah kenapa saya suka, rasanya enak, bahkan lebih enak dari chicken katsu favorit saya. Dari sekian banyak percobaan masakan daging babi yang beliau sajikan, saya tersadar betapa beliau mengusahakan masakannya bisa cocok di lidah saya. Okasan mengingatkan rumus makanan rumah yang dipesankan oleh paman saya, Tonkatsu buatan Okasan mengembalikan ingatan saya pada sebuah rumah, tempat di mana ada seorang ibu yang susah payah menyediakan makanan untuk anaknya. Melalui sepotong katsu babi, Okasan mengembalikan saya pada sebuah rumah yang telah lama hilang dari benak saya, sekarang rumah itu ada, hadir dalam kehidupan saya, lengkap dengan Okasan (Ibu) dan Otosan (Ayah) di dalamnya. Veska Dinda Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program – Japan 2018
0 Comments
Leave a Reply. |
|