Ini bukan pertama kalinya naik bis ekonomi dari Jogja ke Jakarta, bukan pula pertama kalinya makan sepiring bertiga di pinggir jalan, bukan pula pertama kalinya tidur di Masjid, tapi ini perjalanan luar biasa mengubah pandanganku terhadap kehidupan sosial dan memandang setiap pekerjaan yang dianggap “rendah” menjadi lebih terhormat. Yak! Inilah Perjalanan Youth Adventure Gerakan Mari Berbagi 2014.
“Berbagilah, maka kamu ada!” kata yang didengungkan dan selalu teringang selama perjalanan ini. Dua perempuan tegar dan pandai “menjual” menjadi partner luar biasa, terima kasih Kholisah dan Nurul. Dua orang mahasiswa asal Jogja dan Aceh ini, begitu berani berdiri didepan kursi paling depan Bis Ekonomi Jogja - Purworejo untuk menjual baju anak-anak yang “notabene”-nya sama semua ukurannya, modelnya sangat tidak menjual. Malu?! yak itulah yang kurasakan pertama kali mereka berdiri disitu. Tapi gaya bicara Kholisah dan tampangnya yang “baik-baik”, menarik simpati penumpang lain. Baju yang tak seberapa itu pun terjual 4 buah di satu jam pertama perjalanan. Semangat menggelora! 10 baju yang dititipkan ini, harus terjual semua, ini tekad dalam ketertekanan dan penderitaan, kenapa? karena kami hanya punya 100rb untuk perjalanan dari Jogja ke Jakarta. Sampailah kaki kami menginjakkan kaki di terminal Purworejo, kota pertama kami untuk Ziarah Mengenal diri ini. Gelap, suram, dan mencekam! rasa yang terbersit pertama kali di daerah yang kami semua tak pernah kesini sebelumnya. Untunglah, pengamen bertato, berwajah seram tapi baik hati yang tadi kuajak ngobrol juga turun di terminal dan menunjukkan jalan kami untuk ke Masjid Agung Purworejo. Lelah dan peluh datang dari badan yang sudah entah tak enak diendus ini, kami putuskan malam ini untuk menginap di Masjid. modal sudah menipis tapi kami bertiga harus makan, “Rul, otak ga bisa mikir kalo ga makan..”, kataku, “Bener! tapi bang uangnya…” keluh Nurul. “Oke kita beli saja nasi dua bungkus, satu lauk dengan sepuluh ribu..”, Nurul mengangguk mengiyakan demi perut kami yang lapar, Dan akhirnya dapatlah kami nasi dua bungkus dari seorang ibu yang baik hati penjual nasi rames di Alun-alun Kota Purworejo ini. Hidup kami pun berlanjut, kami pun bermalam di Masjid Agung Purworejo, sepi dan hanya beberapa orang disana. Badan letih ini merebah dikarpet yang cukup enak ditiduri di masjid ini, dan akhirnya terlelap dalam. Dalam setengah sadar aku terbangun dihampir tengah malam itu, terlihat sosok berkopiah putih dengan baju “koko” putih dan bersarung merah kotak-kotak, sekelebat duduk disebelak ku, yang tertidur dengan berbantal tas ransel besar ini, tapi aku tak pedulikan sesaat. Namun, beberapa saat kemudian, aku terbangun dan luar biasa terkejut. “Hp mana hp… ” bisikku, kuraba saku baju celana, tas kurogoh dalam-dalam dan berulang-ulang. Usaha ini tak berbuah hasil menemukannya. “Hilang..!” pria tadi pun tak menghilang, sesaat terdiam dan disinilah letak dimana aku berpikir ulang tentang perjalanan ini. Pikiran melayang, “kenapa harus ikut perjalanan beginian? Naek kereta eksekutif aku bisa bayar! Hotel aku bisa pesan, tidur disini bak bencana! sialll !” sesalku. Sesaat aku berjalan melihat dua sosok partner ku itu tengah terlelap di sisi lain masjid, mereka begitu lelah, tapi mereka begitu kuat, kenapa hanya dengan begini aku harus kalah, kucoba mengikhlaskan apa yang terjadi, dan itu lebih bahagia dibanding aku bergumam, mengeluh dan menyesal. dan kucoba tidur kembali demi tenaga esok hari. Udara pagi menyengat kulit dengan begitu dingin. Pukul 04.00 WIB 3 Februari 2014 Kami bangun solat subuh dan bersiap-siap, kuceritakan kejadian semalam kepada Kholisah dan Nurul, tak heran mereka terkejut, tapi kubilang aku tidak apa-apa, kita harus merancang kegiatan hari ini dengan baik, kita harus sudah bergerak subuh-subuh untuk menjual baju, demi uang perjalan dan makan pagi kami. Kami berkeliling disekita alun-alun yang ramai pengunjung untuk sarapan pagi. Target bagus! Mereka datang silih berganti kami pun berputar-putar, seakan seperti orang tawaf di Mekah. Mulai dari ibu-ibu hamil dengan rayuan untuk anaknya nanti kalau lahir, dan iming-iming konsultasi gratis dengan dokter, akhirnya bisa “jualan diri” disini dengan sedikit lirih dalam hati. Target penjualan terpenuhi, 6 baju terjual! Yeay! Bisa lanjut perjalanan, tapi kami belum makan. Kami hitung-hitung uang dan tidak cukup. Terakhir kali kami menjual baju dengan penjual makanan di Alun-alun ini, kami bilang ini uang untuk perjalanan kami ke Jakarta, akhirnya dia mau membeli. Mungkin, ibu-ibu itu melihat kami sudah lelah berulang kali berputar-putar disekeliling alun-alun, tiba-tiba beliau memanggil kami, “mas, mbak, sini….!” kami bertiga menengok, dan mendekat, “ada apa bu?” “kalian sudah makan? Ayo pilih saja mau makan apa? Nasi kuning, nasi uduk, biar ibu ambilkan ya..”. Wajah kami berseri-seri, begitu pun perut kami yang dari tadi kosong. Begitu besarnya hati ibu itu, perasaannya begitu sensitif terhadap sesamanya, tak ada rasa pamrih dalam hatinya, terlihat saat ia meneteskan air mata ketika memberi kami makan. Mata itu begitu menyejukkan hati, terima kasih ibu, semoga rizki mu terus mengalir. Kami pun membalas kebaikan ibu itu dengan mencucikan semua piring kotornya, lagi-lagi, pertama kalinya cuci piring demi sesuap nasi, tapi aku bahagia. Banjar Patroman, 22.00 WIB 3 Februari 2014 Bis ekonomi yang kami bayar seharga Rp.50rb untuk tiga orang ini berhenti di pinggir pusat kota Banjar, kami harus berjalan sekitar 2K untuk sampai ke Masjid Agung. Suara tukang ojek menawarkan jasa, menyemangati kami untuk tetap berjalan, bukan karena semangat karena kuat tapi karena tidak mampu bayar, “hee..”senyum simpul menyeringai. Sejuta rasa penat, ikut terhempas dalam leparan tas punggung besar kami di lantai Masjid Agung Banjar ini. Alhamdulillah, satu perjalanan telah terlewati, dan menanti perjalanan selanjutnya. Dilantai dingin, remang-remang lampu alun-alun Kota Banjar yang semarak dengan pasar malamnya, begitu indah dan perlahan hilang seiring berjalannya malam. Tetiba kami dibangunkan oleh penjaga Masjid yang berkeliling, saya pun meminta izin kepada bapak Satpam, tapi kami pun tidak dizinkan. “Mas bukannya saya tidak mau, tapi ini sudah peraturan pemda, kalau masjid ini tidak boleh dibuat menginap, apalagi laki-laki dan perempuan..” tegasnya. “Tapi pak, kami tidak ada tempat menginap, kami bisa tidur dipisah pak…” rayuku. “Disini sering terjadi perbuatan mesum, sejak itu disini tidak boleh lagi dimasukin orang, teteh berdua nanti bisa diperkosa..” Kata-kata terakhir membuat muka Kholisah dan Nurul takut, tapi aku tetap kekeh untuk tinggal, nampak wajah keduanya tidak setuju. “Bang, kita ga berani menginap disini, dengar cerita bapak satpam.. “ “Tapi kita mau tidur dimana?” Disini konflik kami terjadi, aku yang sudah tidak punya ide untuk kemana lagi, tetap mencoba melobi untuk tetap tinggal. Kholisah dan Nurul menuruti untuk keluar dari Masjid, dan akhirnya bapak satpam membawa kami ke Kantor Satpol PP. “Ehmm..” Pertanyaan demi pertanyaan diajukan oleh dua orang Satpol PP yang kebetulan berjaga di pos depan Kantor Walikota Banjar, dan akhirnya kami dizinkan untuk masuk walau tanpa izin dari Ajudan. Kami diperbolehkan untuk tidur diatas sofa dalam kantor Satpol PP itu. Mata yang sudah mulai mengantuk ini mulai terlelap diruang yang dingin ber AC itu. Tetapi, saya terkejut ketika Ajudan dari Satpol PP itu datang dan membangunkan kami, lagi-lagi kami ditanya tentang identitas kami, acara apa yang kami ikuti, surat-surat kami, dan dinterograsi memastikan kami bukan Teroris, yak TERORIS!. Dari beberapa pertanyaan itu ada yang membuat kami senang, “Kalian sudah makan belum?” tanyanya, “BELUM…” jawab kami kompak. “Aa’! ini uang, tolong belikan nasi goreng tiga bungkus untuk mereka, kalau tidak ada beli apa saja yang bisa dimakan…” seraya mengeluarkan selembar uang Rp.50rb dari kantongnya kepada bawahannya. Perasaan yang tadi takut, sedikit gugup, perlahan mencair dan mereda. Prasangka akan orang tidak bisa dilihat dari perangainya yang sangar. Hatinya begitu baik, walau tak meneteskan airmata seperti ibu penjual nasi itu, tapi inilah yang disebut cinta kasih manusia. Tiga nasi goreng berlauk telor ceplok itu, serasa sangat nikmat disaat perut sangat kosong ditengah malam dan dinegeri orang ini. Kami pun bermalam, meski tetap dikawal oleh satu Satpol PP, dan memastikan kami tidak macam-macam. Fajar menyingsing, kami pun berpamitan, karena kantor Satpol PP itu akan digunakan. Inilah hari dan dikota dimana kami harus menjadi Penderma. Tepat dihadapan Masjid Agung dan Kantor Satpol PP itu, alun-alun Kota Banjar, meski udara nya yang bersih, tapi tak seperti penampakannya yang penuh sampah bekas pasar malam. Ide kami pun berjalan untuk membantu dua orang penyapu Alun-alun yang sudah bekerja 20 tahun, dan tetap setia. Kami ikut menyapu, membersihkan sampah di semua alun-alun kota Banjar itu. Ibu penyapu jalan itu begitu baik dan sangat senang kami bantu, pekerjaannya yang dihabiskan dalam dua jam, ketika kami bantu hanya menjadi setengah jam. 20 tahun bukan yang waktu singkat, inilah pekerjaan penuh keikhlasan dan dedikasi tinggi untuk melakukannya, sekecil apapun itu, kita harus profesional dan berintegritas, beliau menunjukkannya, yak! Seorang penyapu jalanan itu mengajarkannya kepada saya dengan begitu nyata. Kami berlanjut ke sebuah TK, disinilah kami mengajarkan bagaimana melakukan sikat gigi yang benar dan cara menjaga agar gigi tetap sehat, pekerjaan ini tidak terlalu sulit buat saya karena saya sering melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah, tapi kali ini perasaannya lain, lebih bersemangat. Matahari meninggi, saatnya kami harus bergerak ke Jakarta, karena kami harus sudah sampai sebelum magrib. Uang hasil “mengamen” di Rumah Sakit dan penjualan baju ini begitu sangat membantu kami untuk mencapai Cibubur. Dalam Bis Ekonomi AC, sambil sedikit menghafal lagu-lagu Hyme GMB dan Gerakan Mari berbagi ciptaan Mas hambar, sedikit kumerenung akan perjalanan ini, begitu luar biasa mereka yang bertahan dalam kondisi sulit seperti ini. Inilah saat dimana saya berada dalam posisi mereka dan merasakan sendiri bagaimana mereka menjalani hidup ini. Keras dan memerlukan tenaga ekstra untuk melakukannya. Bis kami akhirnya berhenti di Terminal akhir Kampung Rambutan sekitar pukul 13.00, kemudian kami suasana hati senang bercampur haru, akan sebuah perjalanan luar biasa ini, senyum lebar sahabat dan Volunteer GMB yang sudah sampai duluan menyambut dengan begitu sumriah, Alhamdulillah kami selamat! Tulisan ini untuk sahabat perjalananku:
Terimakasih untuk : Bapak kernet mobil Bis Ekonomi yang sudah memberikan diskon 50% Jogja-Purworejo dan banjar-jkt; Pengamen Bis Eko Jogja-Purworejo; Para Pembeli Baju Kami; Ibu-ibu penjual nasi di Alun-alun Purworejo; Takmir Masjid Agung Purworejo dan Banjar; Satpol PP Kota Banjar; Guru-guru TK Islam Banjar; Ibu Penyapu jalanan Alun-Alun Banjar; Volunteer GMB dan sahabat-sahabat GMB. Salam, Muhammad Julian Aldwin, M.D. Youth Adventure and Youth Leader Forum 2014
0 Comments
Leave a Reply. |
|