Hari semakin gelap, awan mendung menyelimuti bumi Semarang. Cuaca dingin mulai menusuk tulang-tulang kami. Hujan telah berlalu dari tanah Semarang. Bel-bel nyaring dari mobil, truk, bis dan kendaraan lainnya menyambut kedatangan kami bertiga. Yeah, kita sampai di ibukota Jawa Tengah, Semarang, dengan selamat.
Malam pun berlalu, diganti dengan pagi nan cerah. Terik matahari siap menghujani kami bertiga dengan vitamin D nya. Kami pun memulai perjalanan pagi ini dengan semangat. Tak lama kemudian, kami menemukan toko snack. Alih-alih mau memborong semua snack, kita malah menawarkan bantuan untuk menjual snack. Ibu Fitri namanya. Seorang ibu yang memberi kesempatan pada kami bertiga untuk merasakan bagaimana menjual snack keliling. Awalnya kami bertiga optimis dan sangat idealis, bahwa kita bertiga mampu menjual semua snack yang kami bawa. Ya, semua. Tapi pada kenyataannya tak seperti itu. Keliling komplek terasa begitu melelahkan meskipun kita tak menenteng tas berat. Baru beberapa ratus meter dan merasakan begitu banyaknya penolakan membuat kami semakin lelah. Apalagi ketika menjual di lampu merah dengan bermandikan sinar matahari. Pom bensin, pukesmas, kampus, komplek, semuanya telah kami lalui. Namun yang berhasil kami jual hanya 9 buah. Hanya 9 dari kurang lebih 30 bungkus yang kami bawa. Hoooo, sulit sekali mencari uang. Saat harapan mulai pupus, semangat menghilang, kaki berteriak meminta istirahat, tiba-tiba seorang nenek-nenek memanggil kami bertiga dari dalam rumahnya. Sontak aku langsung memanggil Kak Anita untuk menghampiri, karena nenek tersebut terlihat seperti orang Chinese. Ternyata bukan, dia orang Batak. Aku sungguh tak bisa membedakannya. Kami bertiga dipersilahkan duduk di halaman depan rumahnya. Oh iya, namanya Bu Lansi. Bu Lansi mulai menanyakan tujuan kami berjualan dan kami menjawab sesuai yang telah kami lakukan. Kami bertiga juga menunjukkan buku pedoman YA & YLF 2016 Gerakan Mari Berbagi. Mendenarnya, Bu Lansi begitu tertarik dengan kasus yang kami alami. Kami bertiga berasal dari pulau-pulau yang berbeda, kemudian langsung melakukan misi bersama. Bermodalkan 300 ribu untuk bertahan hidup selama 4 hari 3 malam dan harus sampai di Cibubur, Jakarta Timur pada hari Rabu, 31 Agustus pukul 15.00-18.00. Kemudian, mulailah percakapan yang lebih pribadi, yang mampu mengoyak-ngoyakkan hati kami bertiga. Bu Lansi begitu antusias akan setiap cerita yang telah kami ceritakan, begitu pula sebaliknya. Beliau juga sangat simpati akan perjalanan yang kami lakukan. Aku mulai was-was dengan apa yang akan menimpa setelah ini. Aura disekitarku langsung berubah semakin dingin. Aku takut kejadian yang kutakutkan terjadi. Benar, yang kutakutkan terjadi. Bu Lansi memutuskan untuk membeli snack yang kami tawarkan. Aku telah siaga untuk menghadapinya. Duaar, tembokku hancur berkeping-keping. Bu Lansi menyodorkan uang 150 ribu untuk 2 snack yang hanya seharga 15.500. Tembokku yang 3 tahun akhir ini selalu kokoh, langsung hancur bak tersapu tsunami setinggi 30 meter. Aku menangis. Kami bertiga menangis. Aku langsung memalingkan wajahku dari Bu Lansi, malu menjadi orang pertama yang menangis, di depan 3 wanita pula. Bu Lansi pun ikut menangis, sambil berkata pada kami bertiga agar tidak menangis. Aku semakin tak sanggup mendengarkan suara bergetarnya. Aku tak sanggup melihat matanya yang dipenuhi air mata. Ketahananku terhadap kejadian melow yang selama ini kukira sekuat tembok China, langsung ambruk. Air mataku tidak berhenti mengalir. Aku mencoba mengontrol diriku, sambil tetap menyembunyikan wajahku. Butuh waktu sekitar kurang lebih 10 menit untuk mengontrol diriku seutuhnya. Kami bertiga mengucapkan banyak terima kasih pada beliau. Beliau juga mendoakan kami agar selamat sampai jakarta dan sukses untuk kehidupan selanjutnya. Terima kasih Bu, Lansi. Terima kasih. Aku akan selalu berusaha untuk mengingat kebaikanmu ini. Semoga di luar sana, khususnya negara Indonesia tercinta, memiliki banyak orang baik seperti engkau. Oleh : Bayu Rakhmatullah Peserta Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2016
0 Comments
Leave a Reply. |
|