Hai, saya Yessica, salah satu homestayer Jepang. Saya akan sedikit bercerita pengalaman saya selama sebulan menjalani kehidupan di Jepang. Saya berkesempatan untuk magang di Miyako Ecology Center yang berada di bawah naungan Kyoto Environmental Activities Association (KEAA). Miyako Ecology Center sendiri sebuah learning center facility yang memiliki visi untuk meningkatkan partisipasi publik dalam peningkatan awareness masyarakat Kyoto. Selain itu, saya juga tinggal bersama orang tua angkat (host family) asli orang Jepang beserta 2 kucing mereka yang sangat menggemaskan :)
Sejujurnya sulit merangkum 30 hari dalam 1 cerita, namun saya ingin membagikan sepenggal pengalaman yang paling berkesan selama saya di sana. Semoga cerita ini bermanfaat untuk kita semua :) Kebersamaan Akhir pekan Otosan (ayah angkat) mengajak saya untuk melihat Hina Ningyo, ialah sebuah boneka tradisional dari Jepang. Kata Otosan harganya sangat mahal, 1 paket Hina Ningyo bisa seharga 1 mobil. Festival ini merupakan hari di mana para orang tua mendoakan kebahagian dan kesehatan bagi putri mereka, kemudian dilanjutkan makan bersama. Mungkin kita bertanya, kenapa ya hal seperti itu harus dirayakan, doa kan bisa kapan saja dan dimana saja, tidak perlu dijadikan festival segala. Tapi, di situlah poinnya, "kebersamaan dalam menjalin hubungan" dengan orang lain. Terutama dengan keluarga adalah hal yang sangat penting, karena keluarga adalah tempat pertama dan terkahir di kala kita sedang dalam senang maupun sedih. Festival ini sebagai bentuk peringatan kepada anggota keluarga untuk saling mendoakan. Tidak hanya dengan keluarga, menjaga hubungan di tempat kerja juga sangat saya rasakan selama disini, bagaimana mereka respect terhadap orang lain, terutama orang yang lebih tua dan bagaimana mereka menjaga privasi masing-masing orang. Saya juga berpikir awalnya orang-orang Jepang sangat serius dan sulit diajak bergaul. Tetapi ternyata saya salah besar, mereka sangat menyenangkan untuk diajak bersenang-senang, mereka selalu tahu tempat kapan waktu bekerja dan kapan waktu untuk bersenang-senang, semua harus seimbang. Di luar jam kerja, saya banyak menghabiskan waktu bersenang-senang bersama teman-teman di kantor magang mulai dari makan bersama, mendengar lelucon mereka, dan bersepeda bersama. Saya belajar jangan pernah menilai seseorang sebelum kita benar-benar mengenalnya. Dan yang paling penting saya juga belajar ini dari mereka; work harder, play harder. Waktu Selain kebersamaan, salah satu sifat masyarakat Jepang yang kukagumi adalah 'disiplin terhadap waktu'. Hampir setiap hari, setiap pagi Otosan pasti selalu mengingatkan saya bahwa 15 menit lagi saya harus berangkat dari rumah ke kantor magang. Rute menuju kantor magang saya memang agak jauh karena saya harus naik bis dan kereta, saya harus berangkat pukul 07.15 . Namun, itulah yang berkesan untuk saya, waktu itu begitu penting, kita harus bisa mengestimasi waktu kapan saja. Jika janjian jam segini, ya jangan ngaret. Alasannya sederhana karena mereka respect terhadap orang yang sudah membuat janji karena orang kita temui sudah meluangkan waktunya untuk kita, mungkin orang itu punya pekerjaan lain tapi demi kita dia rela untuk meluangkan waktunya. Dan alasan lain karena selalu berpikir bahwa "kita yang membutuhkan" mereka, bukan merasa "superior seolah-olah kita orang penting yang ingin ditemui". Kebiasaan ini bukan hanya dilakukan antara bos dengan bawahan, rekan bisnis, maupun presiden dengan menteri, tapi dilakukan antara teman ke teman, sahabat ke sahabat, anak ke orangtua, dsb. Kuberharap kita semua juga bisa melakukan ini. Yuk, sama-sama belajar. Be respectful! :) Note: memang tidak semua orang yang menganut paham work harder, play harder di sana. Namun, setidaknya saya tahu bahwa di sana mereka selalu mengatur waktu mereka dengan sangat baik. Sebulan merupakan waktu yang singkat jika kita tidak bisa memaknai setiap detik yang kita jalani. Namun, sebulan akan menjadi waktu yang panjang bila kita bisa memaknai dan menerapkan nilai-nilai berharga itu dalam kehidupan kita. Yessica Maria SImanungkalit Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program – Japan 2018
0 Comments
Japan absolutely has different kind of people and it changed me personally especially from the very simple things like how to say ‘thank you’ and ‘sorry’ to people although sometimes with no reasons at all. Sense of appreciation and doing small things to respect and to thanks to, won’t be found easily in my home country.
Staying with Japanese family for 4 weeks have taught me many new things such as life values and different perspective of life through a meaningful journey. I love to meet new people and widen my networking, but this program offered me more than I expected! For instance, I visited some of my dream places in Kyoto that I only saw on YouTube before. It was incredible and unforgettable! In Japan, I also tried something I was afraid of, not to care about what people think about me, so that I could totally express myself as who am I. I really appreciated all people in Japan who tried very hard to talk with English with me to keep the conversations up, even though I knew, it was tiring for them. Moreover, I got impressed with all sophisticated technologies, clean environment with good waste management, and how Japanese telling a stories. Visiting some tourism destinations in Japan taught me well about something attracted many people want to come and explore Kyoto, Uniqueness. Yes, the way Japanese telling a stories of “old city where rich of history” in a smart way make people curious so bad. Including me, along the way in Kyoto, I could see that some temples might looks the same but enrich with totally different stories and purposes. There are very simple things I have observed and good to be implemented to myself. First, we have to be proud with our culture and we have to make people curious about it. How is it to make them want to know more about it? Explain them in a smart and interesting way, just like Japanese do. Culture is always interesting to be told to tourists, so it is very important to save them. Visiting the holiest and oldest temple in Kyoto Sarutahiko jinja (Ise-jinja) was very memorable, seeing the God bridges and wishing a life full of happiness completed my journey. Makudo-san (Matsui-sensei's wife) taught me about how to purify ouselves in Naiku River Shogu, eat Soba in Okahe-Yokotyo Restaurant Street, get some courage energy from three stones in Geku(Mitsu-ishi) and visit Futamiokitama-jinja where many couples were coming to wish their relationships will last forever. I got so many new insight and became so close to culture beliefs of Kyoto people. I also learnt about the importance of respecting others religion/beliefs even more here. Makudo-san has a religion (I didn't exactly understand what kind of religion) but Matsui sensei does not have a religion. They are married and have been together for more than 17 years. They didn't worry about different religions they believe. Unbelievable that Matsui sensei usually goes to the temples to accompany his wife. What a sweet couple! It was a very worth weekend to spend with this family. The value of togetherness and quality time with both friends and family. I miss people I met in Japan, more than the places. I still remember when I started to pack my luggage, it was very hard to leave these great people; my host family who always take care of me as their daughter and new friends at internship place who treat me and offered me once in a lifetime experiences. Time flies so fast, I found my feet here in Japan. Many valuable experiences/moments I can not explain by words. I will agree to say that I will never be complete like at home again, because part of my heart will always be elsewhere in Japan. Yes Japan is part of my young journey which shaping me as a new person when I am heading back home again. That is the price I pay for the richness of loving and knowing people in more than one place. Japan is not only a country where Sakura awaited the most to bloom and cherish but also its friendships will last forever in diversity. The worst kind of sadness is not being able to explain why it hurts so deep. How lucky I am to have something that makes saying good bye so hard. Many thanks to Kiku-san and Dede-san especially for making this great opportunities happened in my very young age which widen my networking and experiences. GMB Japan and GMB Indonesia, my beloved team of Japan Homestayers, donors and all the people behind this program, I would like to send my high gratitude for your countless support. This journey makes me deeply understand myself even more. Thank you Gerakan Mari Berbagi! Widia Diantari Peserta GMB Japan Youth Leadership Homestay Program – Japan 2018 “Not crying because of sadness, but because of tears of happiness.”
Morning in Jakarta a little overcast, lately almost every day rainy. Yes, like myself, I cried this morning. But not crying because of sadness, but because of tears of happiness. I never expected to get this feeling. This message I got from Shiga sensei (my mother in Japan) when I did my internship and homestay program in Kyoto, Japan. A feeling that strengthens me to say on the path of my dreams. How others who even us are not in the same blood, motivate me very well. Accepting me with cultural differences.Allowing foreigners to enter their lives. Shiga sensei teach me that all of us have mistakes and failures in our life. Mistake is not only about bad things. Because of mistakes and correctness can makes us growing in those way. She was a teacher of elementary school, one of private school in Kyoto. From her I could see how teacher in Japan did their activities everyday. How they are very passionate in their way becoming a teacher. What impressed me was she arranged my Indonesian class in her class. Unfortunately, I couldn’t do that because we didn’t have a good time to do that, so I can’t go. But, the last night of my homestay in her house. We did some conversation about teaching. She decided to take a dream about being Japanese teacher for another country especially in Indonesia and she gave me motivation to do the best in Indonesia, so someday I could come back to her house and arrange Indonesian class in her class. Not to forget, we will also go sightseeing to pay back the time that we don’t have before, because of the short time that we had together. I gave my pop up book to her about Indonesia, my handmade hand-doll, and blangkon. I was worried about staying at her house because of our cultural differences and a little time of meeting only at dinner time after she get back from her school. I know very well, she did the best to make me comfortable. Even she only had a short time, she really showed me that she did the best. Because of her, I learnt that direct communication is the best way to understand each other because of different culture that we have. Yes, I did mistakes not only once but more. I made her worried and sad. I was trying to understand but it was failed. Good communication can save you. I still remember, when she drove me to the bus station, we did conversation again about dreams and life lessons. Her life story sounds like a sakura blossom in the winter. My heart was crying. I really thank Harada-san and team to for having me at their house. Besides, I also had a good time with Shigemura family, Okasan and Otousan colored my heart also my mind about how important to have dinner together, support each other in the family and also have a good time to do hobbies or some vacation together. What I learnt about education was, education is not only about school, get high education until university or others, but the best important point of education is family. Family is how education takes place and it takes me back to my first goal about doing some experiences in my life, I want to do my best in my age now, educate myself first because I have a family that I want to save. I want to be a great friend for my children and a great part for my family. I do believe it’s not a sayonara, we can surely keep contact each other. I decided to keep this networking for a long time. Indonesia is my house, my land that I want to do the best. However, now I have a family too in Japan, I love them even we were not born in a same land. Don’t worry much, make a plan, and do it. I have a rich experience because of this program, maybe it’s not just program but it’s how we create a new family and being wise and a learner. What the most important is we understand who we are, we accept, and be ready for tomorrow. Tomorrow is a mystery, but today I have a strength and love in my heart. I am ready to do more for myself, my dream, and Indonesia. I love all what happened in my life. God, how lucky I am! Dyah Ayu Intan Ratnasari Peserta GMB Japan Youth Leadership Homestay Program – Japan 2018 Di hari-hari libur sekolah belasan tahun lalu, biasanya saya dititipkan di rumah opah (kakek). Biasanya juga Ibu kaka (satu-satunya anak opah yang mahir memasak) akan menghidangkan berbagai makanan untuk semua keponakan dan juga Opah. Sayangnya nggak semua dari kita memiliki subjektifitas yang sama terhadap rasa makanan. Kehebohan pernah terjadi ketika Ibu Kaka memasak bebek, makanan favorit Opah yang paling tidak disukai oleh hampir semua cucuknya. Segala drama diadegankan, mulai dari pura-pura tidur, alasan main ke rumah tetangga, sampai pura-pura pusing dan minta makan bubur ayam, semua adegan itu dilakukan demi menghindari si menu bebek di meja makan.
Di akhir hari liburan tersebut salah satu paman kami berpesan “Kalau ini rumah orang lain, gak apa-apa gak suka makanannya, nggak usah dimakan juga nggak apa-apa. Tapi ini kan rumah opah sendiri, yang masak juga tante kalian sendiri, bukan orang lain. Jadi kalau disediain makanan tetap harus dimakan, dicoba untuk suka. Susah loh itu masaknya.” Semenjak hari itu, makanan apapun yang disediakan di rumah opah ataupun di rumah sendiri oleh ibu, akan saya coba makan, suka atau enggak jadi urusan mindset bukan lagi lidah. Sayangnya kali ini persoalan yang saya hadapi bukan bebek tapi daging babi, ditambah lagi kali ini bukan di rumah ataupun rumah opah, tapi di rumah Okasan (Ibu angkat saya selama di Jepang). Daging babi, sesuatu yang sekalipun belum pernah disajikan di rumah. Tadi malam, Okasan (Ibu angkat saya selama di Jepang) kembali menghidangkan daging babi di meja makan, kali ini dibuat menjadi katsu – tonkatsu. Sebelumnya dibuat sup, dan sebelumnya lagi digoreng seperti ayam. Bagi saya, makan daging babi bukan perkara halal atau haram, tapi memang belum pernah ada kesempatan untuk makan aja. Kalau bisa saya jelaskan, rasa masakan yang dibuat Okasan hampir semuanya cocok di lidah bahkan lebih enak dari masakan ibu di rumah. Tapi entah kenapa dengan daging babi, lidah saya menolak. Seperti contohnya pada sup yang disajikan di hari kedua saya di sini, supnya enak tapi daging babinya sulit saya telan. Sebelum keberangkatan, pesan yang selalu diingatkan oleh para alumni program homestay adalah “Kalau memang gak suka makanannya, bilang aja, host fam kita gak akan marah, justru bagus jadi saling mengerti.” Pesan tersebut saya amini, minggu lalu saya mulai jujur kepada Okasan, bahwa saya sulit menelan daging babi, saya bisa makan tapi susah, nggak cocok di lidah saya. Biasanya yang akan dilakukan seorang host family kepada homestayer adalah meniadakan bahan makanan tersebut untuk si homestayer. Begitu menurut cerita yang saya dapat dari para alumni. Tapi Okasan justru sebaliknya, yang dilakukan beliau bukannya meniadakan daging babi tapi menyajikannya hampir setiap hari dengan model sajian yang berbeda-beda. Daging babi yang beliau sajikan tadi malam entah kenapa saya suka, rasanya enak, bahkan lebih enak dari chicken katsu favorit saya. Dari sekian banyak percobaan masakan daging babi yang beliau sajikan, saya tersadar betapa beliau mengusahakan masakannya bisa cocok di lidah saya. Okasan mengingatkan rumus makanan rumah yang dipesankan oleh paman saya, Tonkatsu buatan Okasan mengembalikan ingatan saya pada sebuah rumah, tempat di mana ada seorang ibu yang susah payah menyediakan makanan untuk anaknya. Melalui sepotong katsu babi, Okasan mengembalikan saya pada sebuah rumah yang telah lama hilang dari benak saya, sekarang rumah itu ada, hadir dalam kehidupan saya, lengkap dengan Okasan (Ibu) dan Otosan (Ayah) di dalamnya. Veska Dinda Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program – Japan 2018 Suatu hari mama angkat bertanya kepadaku, “kenapa kamu menggunakan jilbab?” Pertanyaan ini sudah menjadi ekspektasi sebelum keberangkatanku ke Belanda. Sebelum berangkat, anganku berkata banyak sudah termasuk berbagai asumsi bagaimana menjadi minoritas di negara orang.
Di Indonesia, saya seorang pemuda yang memeluk agama Islam, agama yang sudah menjadi mayoritas. Sangat berbanding terbalik ketika di Belanda, agamaku menjadi minoritas. Tapi dari situ aku mengenal dan merasakan perbedaan dalam kedamaian. Masih kuingat dalam memoriku ketika di Utrecht, salah satu kota di Belanda. Pertanyaan mama yang sudah menjadi dugaan sebelumnya terlontarkan kala itu ketika usai makan malam. Saya duduk di samping mama, bercerita santai tentang hari-hari yang dijalani berikut pengalaman yang saya rasakan. Bercerita begitu mengalir saja, mengenai studi, karir, asmara, parenting hingga keyakinan. Mama memeluk Protestan dan papa memeluk Katolik, saya sendiri memeluk Islam. Mama bertanya kepadaku mengenai alasan mengapa menggunakan jilbab, aku menjadi lebih ke kebutuan emosional dimana merasakan kedamaikan ketika ada kain menutupi kepala. Kemudian, mama memberi motivasi dan menunjukkan berita di Belanda mengenai perempuan muslim yang menjadi mahasiswa teladan di salah satu perguruan tinggi di Belanda. Aku tersentuh, beberapa praduga benar adanya. Namun, ada praduga lain yang hanya praduga semata. Menjadi minoritas itu kupikir membutuhkan effort lebih, namun ternyata menjadi minoritas adalah indah. Pertama ketika itu aku bertemu sesame muslim di jalan, kemudian saya disapa dengan senyum. Seketika hati bergetar, merenungi diri kemudian berefleksi. Kedua, ketika di tempat makan mereka tidak menawarkan serta menghidangkan makanan yang tidak dianjurkan menurut keyakinanku. Kupikir, mereka berdiri dengan ego nya, namun ternyata orang-orang banyak yang berpikir terbuka, menciptakan kedamaian dan toleransi satu sama lain. Ini pengalaman saya pertama ke luar negeri. Jika ditanya apakah gugup, pastinya saya gugup. Budaya di Belanda signifikan berbeda dengan budaya yang ada di Indonesia. Saya memiliki latar belakang dari suku Jawa, yang notabennya dikenal sebagai sungkan. Namun di Eropa, budaya tidak begitu. Harus bisa menyampaikan dengan jelas dan to the point. Ada suatu titik, dimana saya teringat perjuangan sebelum berangkat ke Belanda ini. Saya tidak menyangka, mimpi ini didukung oleh semesta. Bahkan ketika saya sempat melupakan mimpi ini, semesta meminta saya untuk memperjuangkan kembali. Ketika itu saya seorang mahasiswa di salah satu kampus di Jawa Barat. Kuliah sambil bekerja menjadi hal yang wajar bagi saya. Pasalnya disamping kebutuhan, saya memang harus melatih diri agar bisa mandiri dan tidak mudah merepotkan orang. Memilih program homestay ini bukan tanpa pertimbangan. Tantangan menderai, namun harus dilewati sebaik mungkin. Selagi kita masih mendengarkan suara hati kita, tidak ada yang salah. Pun demikian ketika memilih memutuskan mengikuti homestay program ini. Tak kurang usaha yang dilakukan, usaha konkrit dengan bekerja serabutan; sebagai peneliti, translator, hingga tukang pijit dan pastinya usaha doa agar senantiasa dikuatkan niat. And now, it has succeeded! Anisa Nur Ropika Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018 Kurang lebih 35 hari aku di Belanda. Jujur saja setiap harinya, tak henti-hentinya aku kagum dan sedih. Iya, aku kagum karena begitu jauh-lebih bagusnya Belanda ini dibanding negeriku. Begitu juga sebaliknya, aku juga sedih. Jangan bilang aku berlebihan, memang begitu kenyataanya. Sering kali temanku selalu mengingatkanku untuk tidak membandingkan karena itu tidak apple to apple. Iya, aku sadar memang bukan dua hal yang bisa dibandingnkan. Satunya negara maju, satunya negara berkembang. Hanya saja, aku keras kepala untuk selalu membayangkan andai saja negeriku bisa sehebat ini. Lagi-lagi dalam otak dan hatiku selalu bilang dalam diam, kapan negeriku bisa sekeren ini.
Pada beberapa hari pertama, temanku mengatakan bahwa aku hanyalah seorang wisatawan. Oleh sebab itulah aku hanya tau sisi baiknya saja, wajar saja kalau aku terkagum-kagum, katanya. Tapi nyatanya, kekagumanku bertahan hingga hari terakhir aku berada disana. Setiap makan malam, diskusi dengan berbagai latar belakang orang Belanda, mengamati dan merasakan secara langsung, menjadikanku sadar akan berbagai hal. Dalam tulisan ini, kuingin membandingkan yang mungkin beberapa tahun lagi (harusnya kurang dari 20 tahun ya) keadaan Indonesia di tahun itu. Terlihat secara kasat mata, tidak ada perbedaan yang sangat signifikan antara orang kaya dan orang tidak kaya di Belanda. Hal ini ternyata dipengaruhi karena pajak yang diberlakukan oleh pemerintah sangat tinggi. Bahkan, penduduk yang memiliki penghasilan tertentu dalam kategori tinggi harus membayar pajak lebih besar daripada penghasilan bersih yang didapatkannya. Pajak bisa lebih dari 50% dari pendapatannya, bayangkan saja hak yang diterima lebih kecil dari kewajibannya. Sistem pajak yang demikian memang dimaksudkan untuk memperkecil gap kelas ekonomi sosial yang terjadi dimasyarakat. Dari kebijakan ini saja, terjadilah banyak efek domino yang menciptakan negara Belanda bisa sehebat ini. Misalnya, pastinya pemasukan negara lebih tinggi sehingga dana dapat dialokasikan kedalam berbagai hal lain. Damainya suasana antar masyarakat yang tidak saling menjatuhkan karena status ekonomi dan juga tidak ada lingkungan yang terlihat kotor karena banyak gelandangan atau masyarakat miskin. Tingkat kesejahteraan yang tinggi berbanding lurus dengan besarnya harga barang dan jasa. Menurut saya parameter kesejahteraan dapat juga dilihat dari kemudahan dalam menjalankan dan mengatur suatu kehidupan, yang kuncinya adalah aksesbilitas. Dapat dirasakan secara nyata, begitu nyamannya hidup di Belanda. Kata objektif yang mewakili kenyamanan ini adalah terorganisir. Hampir segala-galanya sudah memiliki sistem yang baku. Baik itu, transoportasi, energi yang digunakna dalam rumah tangga, pengaturan limbah/sampah, air, dan lainnya. Jauh lebih mahal biaya hidup disana, namun memag sebanding dengan apa yang didapatkan. Misalnya, untuk berpergian berjarak 20 km maka ongkos yang dikeluarkan setara dengan satu kali makan siang pinggiran (kebab). Transportasi umum yang digunakan adalah bus atau kadang jenis mobil MPV yang jadwalnya teratur, bersih, bagus dan menjangkau hingga ke pedesaan. Begitu juga dengan gas yang digunakan sudah saling terintegrasi menggunakan pipa untuk memenuhi semua kebutuhan, baik itu pemanas, kompor, atau air panas. Air yang digunakan untuk mandi juga bisa digunakan untuk air minum konsumsi langsung. Jalan raya baik di kota maupun di desa, menyediakan alokasi untuk kendaraan bermotor, sepeda dan pejalan kaki. Selain masih banyak lagi berbagai sistem yang teratur lainnya. Hal lain yang sangat saya rasakan adalah rasa saling menghargai yang tinggi. Bagaimanapun kondisi fisik, keyakinan kepada Tuhan, jenis pekerjaan, latar belakang sekolah dan perbedaan lainnya berhak untuk dihargai. Urusan personal tidak pernah dijadikan masalah bersama. Setiap orang saling menghargai satu sama lain, tidak ada justifikasi apapun untuk setiap hidup orang lain. Hingga pada suatu hari aku mikir, apa definisi cantik di sini?, ku tahu kalau di ngaraku definisi cantik itu ada standar selayaknya model iklan sabun di TV. Sudah biasa melihat pasangan yang sangat berbeda, misal orang hitam dengan orang putih. Hubungan orang tua yang telah bercerai tetap baik dengan keluarganya, dengan terang ke publik mana yang orang tua kandung dan bukan. Tidak ada yang perlu ditutupin dalam hal itu, orang tua biologis mereka menyebutnya. Aku yang menggunkan hijab juga tidak meraskan diskriminasi sama sekali selama menjalankan aktivitas. Kesadaran setiap individu akan penerimaan setiap jenis perbedaan dan ketidak ikut campuran dalam urusan personal, menyebabkan kehidupan damai. Budaya olah raga dimiliki hampir setiap orang, pemerintah memberikan perhatian khusus untuk ini. Terdapat sekitar 100 klub olah raga dalam satu daerah. Setiap anak akan menjadi anggota suatu klub, bagi anak yang kurang mampu akan disubsidi oleh pemerintah. Pemerintah menganggap hal ini penting karena olah raga berdampak secara langsung terhadap kualitas hidup seseorang. Ketika kualitas hidup bagus maka akan banyak dampak postif yang diperoleh oleh pemerintah, seperti produktivitas tinggi, biaya kesehatan turun, dan lainnya. Selain itu terdapat olah raga khusus untuk atlet atau masyarakat yang sudah tua, contohnya sepak bola berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk memfasilitasi orang yang kondisi fisiknya tidak sebagus anak muda, sehingga meskipun sudah tua tetap bisa berolah raga untuk menjaga kesehatannya. Selain itu, secara langsung kami dapat berdiskusi dengan mantan perwakilan daerah setara dengan DPRD yang baru sekitar satu tahun lalu pensiun. Faktanya, tidak ada fasilitas semewah di negeri kita, misalnya mobil dan sopir. Bahkan, untuk seseorang berkedudukan setara Bupati/walikota rumah dinaspun harus meneyewa. Gaji seorang DPRD sangat kecil, oleh sebab itu harus ada kerja lainnya untuk memenuhi kebutuhan finansial. Seolah-olah perwakilan rakyat yang didapatkan juga melalui partai dan dipilih secara langsung oleh rakyat adalah sebuah kerjaan sampingan. Semua biaya yang digunakan oleh pemerintah ditampilkan secara transparan. Apabila aset seseorang meningkat secara aneh, seseorang secara personal dapat mencurigai dan melaporkan untuk kemudian ditelusuri. Hampir tidak ada korupsi di negeri itu. Prostitusi dan minuman beralkohol dilegalkan dengan tujuan untuk mempermudah kontrol. Pernah suatu suatu hari di tahun 1953, Belanda tertimpa bencana banjir. Setelahnya, tidak pernah lagi. Negara Belanda yang berdiri di bawah permukaan laut menyebabkan 1/3 bagian dari Belanda adalah air. Tapi nyatanya, toh tidak pernah lagi ada banjir. Bangsa Belanda ini mengetahui apa kelemahannya dan kemudian paham betul bagaimana mencegahnya. Sejujurnya masih banyak lagi yang bisa dikagumi dari negri ini. Begitu banyak kenyataan yang menyadarkan ku betaapa banyaknnya PR negeri kita. Negara kita begitu kaya akan semua hal, namun begitu banyak yang masih harus diperbaiki untuk mewujudnkan kesetaraan dengan negara maju. Utamanya adalah pola pikir. Ingin sekali ku mengajak banyak orang untuk melihat dunia yang luas ini agar mereka sadar, hidup ini bukan hanya tentang dia dan keluagranya. Aku sayang dengan negeriku ini, sebisa mungkin akan ku kontribusikan sesuatu untuk negeri ini. Aku berharap begitu juga dengan kalian yang membaca ini, ayo kita sibukkan dengan membuat suatu karya demi menjadikan negeri kita lebih baik lagi. Sudahi urusan ikut campur urusan personal, hargai apapun pilihan hidup orang lain. Indahnya, apabila setiap orang diantara kita bahu membahu untuk memperbaiki negeri ini. Kurang dari 20 tahun, mari kita buat Indonesia menjadi negara maju. Terimakasih Gerakan Mari Berbagi, Japfa Foundation, Waskita, PT Bukit Asam, PT Garam, dan Dauky telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk melihat dunia lebih luas. Harapannya, apapun yang didapat akan berguna untuk banyak orang. Hesti Ghassani Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018 “Wangi keju, semerbak tulip memanggil-manggil….
Ingin ku segera wujudkan….” Sepenggal lirik dari yel-yel kelompokku, tim homestayer (peserta kegiatan The Youth Leadership Homestay Program Netherlands 2018), membayangi kami berempat (aku, Pika, Hesti, dan Diana) selama hampir setahun, yaitu sejak pengumuman peserta yang lolos menjadi homestayer Belanda hingga hari keberangkatan kami pada tanggal 27 Maret 2018. Awalnya, kami hanya bermimpi bahwa kami akan tertegun melihat menara kincir angin secara langsung untuk pertama kalinya atau memakan roti lapis keju sambil memandangi kebun bunga tulip yang bermekaran. Tak disangka, imajinasi tersebut menjadi nyata setelah kami harus berganti pesawat sebanyak dua kali, Kuala Lumpur dan Abu Dhabi selama perjalanan menuju Amsterdam. Perjalanan ini serasa mengingatkan saya akan pengalaman saya di Youth Adventure dan Youth Leadership Forum 2016. Saat itu, saya harus menempuh perjalanan selama tiga hari dua malam dari D.I. Yogyakarta menuju D.K.I Jakarta melalui dua kota kecil Jawa Tengah, Kutoarjo dan Slawi bersama dua rekan saya yang memiliki latar belakang yang berbeda. Untuk kali ini, saya juga menjalani perjalanan jauh dengan tiga rekan saya (yang juga memiliki latar belakang yang berbeda) dan kembali mengalami pengalaman berharga. Tak tanggung-tanggung, kami akan berpetualang di negeri kincir angin, Belanda. Perjalananan ini bukan berarti kami dibekali secara finansial sepenuhnya oleh Gerakan Mari Berbagi. Kami harus berjuang untuk mencari pundi-pundi uang sebagai biaya perjalanan pulang-pergi (asuransi perjalanan, visa, tiket, dan paspor) serta uang saku (termasuk kebutuhan transportasi) selama tinggal di Belanda. Seratus dua puluh juta dalam waktu kurang lebih sembilan bulan. Untunglah, kebutuhan akomodasi ditanggung oleh keluarga angkat. Perjuangan mencari pundi-pundi uang menguras waktu, tenaga, biaya, hingga emosi. Tak jarang, dinamika kelompok pun terjadi karena hal ini. Karena pengalaman pra-program ini, saya seringkali merenung bahwa program homestay bukan perjalanan wisata atau pertukaran pemuda biasa. Ini adalah proses pendewasaan yang melibatkan ketekunan dan kesabaran dalam memperjuangkan sesuatu. Bukan hasil yang dicapai, namun proses mencapai hasil tersebutlah yang harus diresapi dan dimaknai. Beruntunglah kami bahwa perjuangan ini berbuah manis. JAPFA Foundation, JNE, Waskita Karya, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Garam Persero serta rekan-rekan donator pribadi dari kalangan Board Member GMB bersedia mendukung kami dalam segi finansial untuk mewujudkan perjalanan impian ini. Perjalanan yang mendewasakan kami dalam menerima serta bertoleransi akan nilai-nilai baru di Belanda. Inilah proses ‘tangan di bawah’ yang kami jalani selama kurang lebih sembilan bulan, persis yang pernah saya rasakan di program Youth Adventure 2016 dengan melibatkan satu nilai inti GMB, voluntarism. Akhirnya perjuangan tersebut terbayar pada 28 Maret 2018. Hari itulah kami tiba di Bandara Schipol, Amsterdam dan berjumpa dengan salah satu keluarga angkat kami, Vital van der Horst. Saat itu, rintik-rintik hujan kecil dan angin menyambut kami. Cuaca yang tidak mendukung tidak menghalangi rasa bahagia kami saat menginjakkan kaki kami di Amsterdam. Perjalanan itu berlanjut dengan berbagai kejadian kecil yang tak terduga akibat gegap budaya atau culture shock seperti munculnya genangan air dan asap akibat salah mengoperasikan mesin cuci piring milik keluarga angkat, kekecewaan akibat salah membeli paket data tanpa kartu perdana, dan lain-lain. Gegap budaya juga saya rasakan ketika saya merasakan kesulitan menemukan tempat ibadah katolik untuk mengikuti misa trihari suci paskah (kegiatan keagamaan katolik-red) di sekitar tempat tinggal keluarga angkat saya, Breukelen. Awalnya saya bingung, mengapa gereja katolik di Breukelen yaitu gereja St Johannes de Doper tidak terbuka untuk kegiatan ibadah, namun hanya digunakan sebagai tempat konser paduan suara atau tempat pameran. Ternyata, hal itu tidak hanya saya temui di desa Breukelen tetapi juga di kota-kota besar seperti Rotterdam, Utrecht, dan lain-lain. Alasan klasik, banyak orang yang tidak tertarik lagi untuk datang ke gereja sehingga banyak gereja ditutup. Akhirnya, saya mengikuti ibadah Jumat Agung dan Minggu Paskah di gereja Protestan, Pauluskerk. Hal menarik pada ibadah tersebut, rekan saya beragama Hindu (Diana) dan Islam (Hesti dan Pika) ikut serta hadir dalam ibadah tersebut. “Aku khawatir nih Kak. Takut dilihat ramai-ramai sama umat gereja gara-gara hijabku”, bisik Pika saat berjalan menuju gereja. “Ga usah cemas. Cuek aja, Pik”, balasku sambil menenangkan Pika. Diluar ekspetasi Pika (juga saya sendiri), semua umat yang hadir tak memandangi Pika dan Hesti yang menggunakan hijab secara berlebihan. Bahkan, pendeta yang memimpin ibadah serta pengurus gereja juga senang menyambut kami dan berdialog akan keberagaman. Rasa toleransi sangat kental kami rasakan. Lagi, kami merasakan nilai utama GMB lainnya yaitu sharing in diversity atau berbagi dalam keberagaman terjadi di program ini. Tak berhenti sampai situ saja, saya merasakan hal berharga yang saya temui di perjalanan ini. Ketulusan. Ya, ketulusan dari salah satu orangtua angkat kami, Gerard Geerdink dan Jet Geerdink. Mereka tulus menerima kami untuk hadir di hidup mereka, tak hanya sebatas rumah tinggal. Setiap menjelang makan malam, mereka selalu menanti cerita pengalaman kami selama menjelajahi kota-kota Belanda. Banyak renungan yang reflektif dituangkan kepada kami selayaknya antara bapak-ibu dan anak kandung. Bahkan tak hanya itu saja, mereka juga ikut membantu dalam berkoordinasi dengan instansi yang kami kunjungi seperti WaterNet, pihak yang bertugas mengolah air minum untuk Amsterdam dan pemerintahan lokal Stichtse Vecht. Gerard juga mengajak salah satu orangtua angkat homestayer 2016 lalu, Niek de la Haije untuk menemani kami berkunjung ke pabrik pengolahan roti Ribbink's Specialiteiten Bakkerij, pabrik Keju Van Der Arend, lokasi pra-pengolahan air minum milik WaterNet. Kunjungan ke tempat tersebut merupakan hasil perwujudan Gerard dalam memenuhi harapan kami yang ingin sekali belajar mengenai produksi keju, roti, dan air minum di Belanda. Suatu ketika, rekan saya Diana dan Hesti bertanya kepada Gerard dan Jet mengenai alasan mereka untuk menampung dan berbagi ruang dengan kami. Mereka mengakui bahwa mereka sukarela untuk membagikan ruang hingga waktu dengan kami tanpa ada niat mengharapkan imbalan. Mereka ingin membagikan ilmu serta pengalaman mereka kepada kami yang baru menginjakkan kaki di benua Eropa pertama kalinya dengan senang hati. Mereka mengakui ada perasaan bahagia ketika bisa berbagi berbagai hal kepada kami. Mereka tidak lagi memikirkan berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan untuk berbelanja bahan makanan yang porsinya melebihi dari mereka biasanya. Begitu juga, mereka tak keberatan untuk membagikan waktu mereka untuk kami dan tak pernah membiarkan kami hanya berdiam diri di rumah tanpa mendapatkan suatu pengalaman berharga bagi kami. Nilai living beyond yourself yang selama ini saya dengar dari inisiator GMB, Bang Az menjadi nyata terlihat depan saya melalui tindakan Gerard dan Jet. Tentu ada nilai sharing in diversity juga dilakukan oleh Gerard dan Jet kepada kami, berbagi tanpa memandang latar belakang dan RAS. Bukan hanya sekedar keju, bunga tulip, boerenkool (hidangan khas Belanda), kincir angin, atau raja Willem-Alexander yang menjadi hal baru kami temui selama kami tinggal di Belanda selama kurang lebih sebulan, melainkan nilai-nilai utama GMB yang selama ini dibagikan oleh Bang Az menjadi nyata kami temui. Tak hanya itu saja, saya dan rekan saya; Diana, Hesti, dan Pika juga bahagia karena dapat memiliki keluarga angkat yang terikat secara emosional di luar Indonesia. Terima kasih kepada Gerakan Mari Berbagi, sponsor yang telah mendukung kami (JAPFA Foundation, JNE, Waskita Karya, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Garam Persero, serta donatur pribadi dari kalangan board member dan relasinya), mentor kami (Ka Tyas, Wine, dan Arnald), dan rekan-rekan GMBers yang telah mendukung kami selama proses seleksi hingga keberangkatan. Ini moment of change saya, bagaimana denganmu? Katherina Liandy Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018 “Take your time. This is your home too. Feel free and help yourself!” Ujar salah satu host family kami— Vital, begitu kami sampai di rumahnya. Rumah Bambu yang akan selalu mudah ditemukan seantero Breukelen raya! Tak lama ia melanjutkan, “I’ll go to the market for our dinner.” Tentang Vital dan Wine-nya. Hari itu adalah dinner pertama saya di Belanda. Pasta sayur saya sudah habis saat itu. Begitu pula Vital dan ketiga kawan saya. Lalu ia mengambil sebotol wine, mulai menuangkan di gelasnya. Kepada kami, ia juga mempersilakan untuk mengambil jika mau. Tanpa komando, kami langsung hujani Vital dengan berbagai pertanyaan. “Tell us, how you become a local politician?” Vital mulai bercerita. Dengan santai ia menjawab, “Beberapa teman di Breukelen merekomendasikan saya.” Selama sebulan tinggal di Breukelen, saya tahu alasannya karena loyalitas dan kepedulian dia terhadap orang-orang di sekitarnya. Di Belanda, lanjutnya, bekerja sebagai pelayan masyarakat merupakan sebuah pekerjaan kerelawanan. “But I enjoyed it!” Ujarnya. Ah ya, kini Vital telah pensiun dan menikmati hari-hari dengan bebas sebagai pebisni. Pembahasan berlanjut. Kami juga bercerita tentang kegiatan kami di Indonesia. Lama-lama, kami membahas hal-hal personal. Vital pun dengan santai bercerita kepada kami. Katika kami bertanya soal masukan untuk tantangan hidup yang kami akan lewati, selalu dengan santai ia menjawab, “If there is no problem, don’t make a problem.” Malam itu kami bercerita banyak, bertanya banyak dan tertawa banyak. Lelah perjalanan Indonesia – Belanda teralihkan. Bersama Vital, pengalaman dinner pertama saya di Belanda terasa sangat berkesan. Hari-hari berikutnya, dinner menjadi hal yang selalu saya nantikan. Bersama siapapun dan kapanpun. Malam lain, kami duduk di sebelah meja makan, di sofa yang menghadap televisi. Saat itu kami usai menghadiri pengukuhan pemerintah lokal, tempat di mana Vital pernah bekerja. Dia beranjak, mengambil sebotol wine. Yap, Vital mengaku setiap hari bisa menghabiskan satu botol wine. “Anyone?” Tanya dia. Wine dan Vital adalah kombinasi cerita-cerita dan moment saling mengenal satu sama lain itu dimulai. Bagi dia, setiap hari adalah pesta, sejauh ada wine di sana. Obrolan bisa ngarul-ngidul ke mana-mana setelahnya. Kadang kami membahas kehidupan percintaan. Kehidupan personal sampai hal-hal lain tentang hidup kami masing-masing. Kadang kami tak kenal waktu. Dari langit masih cerah pukul 20.00 sampai dengan gelap dan bahkan kadang sudah berganti hari. Kendati beberapa kali saya sudah menguap, tak ada tanda-tanda kalimat penutup. Pembicaraan masih berlanjut. Sampai benar-benar keluar kalimat “Okay, it’s time to bed” barulah pembicaraan usai. Begitulah hari-hari dengan Vital. Hanya sebentar kami bersamanya. Setelahnya, ia pergi ke Yogyakarta selama sebulan. Setiap cerita yang ia sampaikan menjadi jembatan saya menganal ia. Meski saya yakin tidak akan pernah bisa benar-benar mengenalnya. Saya tidak pernah memikirkan akan bertemu Vital sebelumnya namun di setiap perbincangan yang kami lakukan, rasanya saya selalu merasa dekat. Bertemu Cerita dan Makanan Pengobat Rindu Saya masih mengingat betul rasa opor ayam, gado-gado dan bala-bala buatan Renie malam itu. Renie adalah teman Vital yang juga tinggal di Breukelen. Dari rumah Vital bisa berjalan kaki 10 menit jika jalannya pelan-pelan sambil lihat pemandangan. Bahkan saat menulis ini, rasanya masih terbayangbayang oleh lidah saya. Enak parah! Hebatnya seorang Vital bagi saya, dia tak hanya mengenalkan dirinya. Lebih dari itu, ia mengenalkan lingkarannya kepada kami; memperkenalkan teman-teman dan keluarganya. Pertama kali bertemu Renie adalah saat kami hadir di acara pengukuhan pemerintah lokal saat itu. Tak tanggung-tanggung, Renie mengobati rindu saya pada masakan tanah air saya. Saat itu, tak ada seorang pun yang tidak nambah! Kalau saja perut saya masih muat, saya mau nambah terus! Renie lahir di Bandung. Renie kecil juga tinggal di Bandung selama setahun. Ibunya juga orang Indonesia. Ia pernah mendapat penghargaan langsung dari raja karena pengabdiannya terhadap masyarakat selama 16 tahun. Sama seperti Vital, ia juga seorang yang bekerja untuk pemerintahan lokal. Bisa saya sebut pekerja sosial di Breukelen dan Stichtse Vecht. Bagi Renie, bekerja di pemerintahan lokal adalah hal yang menyenangkan. Ia menikmati pekerjaan ini. Ia suka ada di ranah lokal karena kedekatan yang terjalin dengan masyarakat di lingkungannya. Di sini, bekerja sebagai pegawai pemerintahan adalah pekerjaan yang bersifat kesukarelawaan. Gaji yang didapat juga lebih kecil dari mereka yang bekerja di sektor swasta. “Karena itu, saya punya pekerjaan lain juga untuk menambah penghasilan saya,” terangnya. Selain Renie, kami juga bertemu dengan Grace. Ibu Grace. Seorang Maluku yang lahir dan tumbuh besar di Belanda. Dinner dengannya menggunakan bahasa Indonesia. Rasanya lucu bicara dengan bahasa Indonesia yang benar. Lebih terkesan kaku dan terbata-bata. Tapi saya senang! Kali ini Soto turut menghangatkan dinner kami. Saya juga nambah (lagi!). Kami nyanyi lagu Dingin milik Hetty Koes Endang. Tepatnya, hanya Ibu Grace yang nyanyi kami hanya takjub mendengarkan seseorang menyanyi lirik bahasa Indonesia dengan aksen Belanda. Lalu tertawa bersama keras-keras. Hahaha! Hal yang menarik, Ibu Grace mengawali cerita tentang dirinya dengan presentasi. Ia menceritakan pekerjaan ayahnya. Bagaimana ayahnya bertemu dengan ibunya ketika bertugas di Belanda. Ayah dan ibunya adalah orang Indonesia asli. Namun Ibu Grace lahir dan besar di Belanda, menikah dengan orang Belanda dan memiliki anak yang besar dengan bahasa ibu bahasa Belanda. Tapi Indonesia akrab di hatinya, setidaknya begitu yang saya lihat malam itu. Ia juga sering mengajar dan diundang untuk berbagi tentang latar belakangnya. Malam itu saya hanya menyaksikan dengan senang, haru dan bangga. Ia begitu sungguh-sungguh mengenali akar identitasnya. Sangat dalam. Tidak hanya sekedar tahu siapa dirinya, tapi dia menghayati setiap bagian yang dimilikinya, setiap bagian yang melekat dalam dirinya. Terima kasih, Ibu Grace! Cerita di Rumah Orttswarande 27 Cerita lain di meja makan juga terjadi di Orttswarande 27. Di rumah Jet dan Gerard. Mereka juga host family kami yang kemudian kami panggil Papa dan Mama. Pertemuan pertama dengan mereka adalah saat dinner! Saya masih ingat betul, malam itu dia memasak cheese burger buat saya. Khusus buat saya karena mereka pikir saya tidak makan daging. “For the special one,” katanya. Selain itu, mereka menyiapkan menu special buat menyambut kami: rendang a la Belanda dan kentang goreng rendah lemak. Di meja oval dengan vas berisi tulip ditengah-tengahnya itu, kami bisa betah duduk selama dua, tiga, bahkan empat jam. Gerard dan Jet menyebut kegiatan ini dinner. Bagi saya agak aneh karena dinner dalam keadaan langit masih cerah. Tapi tak masalah. Bagi saya dan Hesti—rekan serumah saya selama di Breukelen, dinner adalah hal yang kami tunggu-tunggu. Karena tinggal satu rumah, setiap malam seusai dinner kami selalu mediskusikan menu untuk dinner selanjutnya. Saya selalu bersemangat karena mereka pun melibatkan kami dalam berdiskusi, mempertimbangkan hal-hal yang kami sukai dan yang tidak kami sukai.
Suatu kali, ada waktu kami menceritakan tentang asal kami. Dengan boerenkool dan wine saat itu, kami bercerita soal akar. Mama selalu suka menggunakan term roots ketika membicarakan asal-usul. Sementara Papa sudah siap dengan ipad-nya untuk membuka peta. Tujuannya untuk mengonfirmasi letak geografis yang kami sebutkan. Tak hanya kami, mereka juga menceritakan asal mereka, saudara mereka dan bagaimana mereka dibesarkan. Mama menjelaskan ini dengan sangat detail. Lewat cerita-ceritanya saya mendapat penjelasan tentang Mama yang sekarang. Banyak hal dari masa kecil dan remajanya yang masih bisa saya lihat hingga saat ini. Cerita Mama sebagian besar lucu-lucu, membuat saya tertawa terus. Dia juga selalu menceritakan dengan semangat setiap kejadian, seolah-olah saya pun turut serta di dalamnya. Sementara Papa, ia dibesarkan dengan 5 saudara laki-laki. Ia menceritakan bagaimana ia menyukai beer lokal di dekat rumahnya ketika muda. Perjalanannya ke luar negeri pertama kali, hingga hari-hari ia berkarir sebagai seorang teknisi di kantor pemerintahan lokal. Ia bicara sangat pelan, hati-hati dan selalu memastikan apakah saya memahami maksudnya. Hari itu, selain cerita yang menarik dengan melibatkan perjalanan waktu yang panjang, untuk pertama kali pula ada makanan Belanda yang saya sukai; boerenkool! Ah ya, saat itu agaknya saya menegak wine lebih banyak dari biasanya, bonus kepala pening pula. Di hari lain, Papa memasak masakan asia. Mie dengan sayur mayur dan potongan ayam. Lezat! Percakapan malam itu dibuka dengan pertanyaan, “Mengapa kalian menerima kami di rumah ini?” Papa sudah pensiun. Mereka telah melewati masa-masa bekerja keras, memenuhi kebutuhan hidup, jalan-jalan dan banyak hal lain. “Kami sudah tidak memikirkan hal-hal bersifat meteri. Hal yang penting bagi kami saat ini adalah menikmati apa yang kami punya dengan keluarga dan teman-teman kami,” jelas Papa. Tak lama Mama melanjutkan, “Kami pun ingin belajar dengan kalian.” Saat hari terakhir kami di rumah ini, Mama dan Papa merencanakan dinner khusus. Mama menyebut ini makan a la gourmet. Ada dua buah pemanggang yang tersambung listrik. Lalu daging sapi mentah, udang, ikan, ayam, jamur, dan bumbu-bumbu pendukung lainnya sudah tersaji di atas meja. Begitu pulang dari Utrecht, kami sudah melihat meja makan tertata dengan rapi. Kami akan memasak sendiri dinner kami. Dengan begitu, kata Mama, kita memiliki durasi dinner yang lebih panjang daripada dinner sebelumnya. Hal-hal yang kami bicarakan tak jauh berbeda dengan malam sebelumnya. Hanya, karena kami sudah merasa begitu dekat, kian hari kian mengalir. Kami menuturkan ibu, ayah dan bagaimana kami dibesarkan dan dibentuk bersama lingkungan kami dibesarkan. Memang kadang aneh bagi saya. Bagaimana bisa dua pihak membicarakan hal sejauh dan se-personal ini? Kadang-kadang bahkan tanpa berpikir. Saya pikir karena rasa nyaman. Tuh kan, saya bertanya dan menjawab sendiri! Setiap kali saya menceritakan ini, secara bersamaan saya teringat mereka; keluarga, teman-teman, lingkungan tempat saya dibentuk itu. Mereka yang membuat Diana hari ini. Bercerita membuat kita ingat. Di sela hal-hal yang saya nikmati selama di Belanda, saya mengingat kembali orang-orang yang turut bersama saya mewujudkan ini. Khususnya pihak-pihak sponsor yang turut mendukung saya; Japfa Foundation, Waskita, PT Bukit Asam, PT Garam (Persero) dan JNE Express. Sungguh benar, bercerita bisa jadi pengingat. Terima kasih, Mama-Papa! Hal-hal yang juga akan saya rindukan adalah waktu mempersiapkan makanan untuk dinner. Dulu saya pikir, ketika dikatakan dinner dimulai pukul 19.00, maka kita makan pukul 19.00. Tinggal di sini sebulan, saya mengamati bahwa dinner pukul 19.00 tidak berarti kita langsung makan saat itu juga. Bisa jadi kita mempersiapkan makanan bersama terlebih dahulu. Atau memasak makanan-makanan pendukung sambil menegak minuman sesuai cuaca kala itu. Kegiatan ini juga menambah waktu kebersamaan. Biasanya kita bisa berbincang ringan atau sekedar berbagi cerita prihal pengalaman yang kita dapat di hari itu. Sungguh akan saya rindukan. Pembelaan: Penggunaan kata dinner digunakan karena saya masih belum menemukan kata yang tepat untuk menggantikannya. Saya pribadi merasa tidak pas penggunaan makan malam untuk dinner dalam konteks ini. Kadek Diana Pramesti Peserta GMB Youth Leadership Homestay Program - Belanda 2018 Reuni. Apa yang terlintas di kepalamu saat mendengar kata reuni? Temu kangen untuk beberapa jam dan menanyakan kabar dengan cara yang menyenangkan dan menghilangkan canggung setelah berapa lama tak bertemu? Untuk pertama kalinya, kami merasakan reuni dengan cara berbeda di Gerakan Mari Berbagi. Semua berkat jasa para panitia yang secara volunteerism bersedia arrange acara di tengah kesibukannya dalam menjalankan prioritas pribadi dan tanggung jawab di GMB juga, tentunya. Youth Adventure yang pernah kami lakukan saat baru terpilih menjadi anggota GMB, kami rasakan kembali melalui acara bertajuk GMB Kangen Kamu. Cara ini kami percaya selalu ampuh dan efektif untuk membuat kami saling mengenal dengan teman sesama GMBer dan membuat kami lebih akrab dan bermanfat untuk lingkungan. Perjalanan itu harus berakhir di titik lokasi yang sudah ditentukan, di waktu yang sudah disepakati. Dilaksanakan di villa kawasan Sentul, Bogor selama tiga hari ternyata belum juga cukup untuk mengobati rindu yang membuncah dada. Semua angkatan berkumpul 2012, 2014, 2015, 2016 hingga board members. Rangkaian acara seperti games makan kerupuk, mencari koin di kolam lumpur, tanding futsal dengan memakai karung, pertunjukan seni persembahan tiap angkatan, dan acara-acara lainnya seperti begadang bermain kartu Werewolf. Ada banyak, terlalu banyak agenda yang tidak dapat disebutkan satu per satu hingga akan terasa lebih nyata rasanya kalau kamu ikut merasakan langsung atmosfernya. Kami semua setuju, sepulang dari GMB Kangen Kamu, kangen itu tidak terobati dan malah makin menjadi-jadi. Melalui acara-acara seperti ini energi positif kami selalu recharged lagi dan lagi. Ya, GMB selalu mampu menjadi pulang bagi semua yang membutuhkan. Biarlah ketika Kamu Kangen GMB, video ini yang selalu mengingatkan kamu untuk pulang dan bertemu GMB. Gerakan Mari Berbagi, A home for everyone. Fatin Dinni Inayah, alumni YA & YLF 2014. "Ingin lebih dekat"
"Kangen" "Ingin lebih kenal antar angkatan" "Sebisa mungkin gak absen di kegiatan-kegiatan GMB." Berbagai motivasi mendorong 22 orang GMBer termasuk board di dalamnya untuk ikut serta dalam kegiatan FunVenture 2016 Sabtu dan Minggu kemarin. Ada yang datang jauh-jauh dari Solo, Bali, bahkan Kak Aya (salah satu board member GMB) terbang langsung dari Aceh demi menemani keseruan para GMBer. FunVenture kali ini kami adakan di Kepulauan Seribu, berangkat melalui Pelabuhan Kali Adem dan menginap di Pulau Pramuka. Setelah membagikan "shadow support" di penginapan, kegiatan dilanjutkan dengan outbond di Pulau Karya. Di sinilah momment-momment berkesan mulai tercipta. Para GMBer termasuk board member diberikan misi untuk mengumpulkan puluru air sebanyak-banyaknya dengan berbagai games yang dirangkai oleh panitia di setiap pos. Games yang paling berkesan menurut Bang Azwar dan para GMBer adalah Volley Pantai, yang dimodifikasi dengan balon air dan sarung. Aura kompetitif terlihat di sini, masing-masing tim saling berusaha mengalahkan satu sama lain. Games ini menjadi lebih seru karena tidak ada peraturan baku yang ditentukan oleh panitia. Ada satu hal yang paling membekas bagi para peserta FunVenture tahun ini. Sesi tukar kado yang dirangkai sedemikan rupa dengan request-request unik dari si pemberi kado. Banyak hal-hal baru terkuak pada sesi ini dan membuat kami semua semakin dekat secara personal. Rindu yang dipupuk pun mulai terurai dengan curahan hati beberapa GMBer. Sesi ini diharapkan terus dipertahankan untuk FunVenture berikutnya. Meskipun sesi snorkeling terbilang gagal karena kami tidak mendapati ikan atau terumbu hidup, tetapi kebersamaan di air laut turut serta menyalurkan rasa rindu dan mendekatkan satu sama lain. Perjalanan FunVenture kali ini ditutup dengan pengakuan dari para "shadow support" dengan memberi tahu siapa yang disupport dan apa yang telah dilakukan untuk orang tersebut. Seperti itulah pada akhirnya FunVenture ini menutup tahun kami para GMBer dengan penuh kebahagiaan. Terima kasih GMBer dan Board Member untuk partisipasinya. Veska Dinda Alumni Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2015 |
|